>> Rabu, 11 November 2009


Memang sulit untuk menentukan seberapa besarkah anggaran pendidikan yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Asumsi yang sering dipakai oleh pemerintah dan masyarakat awam kebanyak adalah semakin besar anggaran pendidikan, maka otomatis kualitas pendidikan juga akan semakin baik. Akan tetapi, fenomena seperti itu merupakan fenomena yang tidak berdasar karena dari prasangka saja, dan justru menunjukkan bagaimana sudah “sakitnya” pola pikir masyarakat kita karena uang atau materi lah yang digunakan sebagai tolak ukur kemajuan pendidikan (dan ini memang sebenarnya “selaras” dengan tujuan “materialis” para orang tua menyekolahkan anak agar setelah lulus mereka mendapatkan pekerjaan yang bagus dan bergaji tinggi). Memang tidak dapat dipungkir bahwa system pendidikan memerlukan dukungan finasial yang tidak sedikit, tetapi hal tersebut bukanlah berarti bahwa minimnya dana akan menghambat system pendidikan, karena masih banyak factor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Akan tetapi, salah satu fenomena yang semakin “menyakitkan” adalah dengan semakin menurunnya kualitas pendidikan apabila dibandingkan dengan besarnya biaya pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat (dari pemerintah pusat saja sebesar 20% dari total APBN atau sekitar 200 trilliun rupiah). Di jaman dahulu kala, ketika gaji guru, terutama yang berstatus PNS masih “pas-pasan”
atau rendah bila dibandingkan dengan profesi yang lain, alasan rendahnya gaji guru sering dijadikan sebagai alasan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah memang sudah menaikkan gaji guru, terutama yang berstatus PNS secara signifikan, dan bahkan memberikan tunjangan yang sangat-sangat signifikan bagi guru yang sudah lulus sertifikasi. Akan tetapi, fakta yang ada bertolak belakang dengan besarnya dana yang sudah dikucurkan.
Rendahnya kualitas pendidikan ini, dapat diukur dengan dua indicator sederhana, yaitu indicator makro dan mikro. Untuk indicator makro, kita bias melihat pada human development index dan bermacam hasil penelitian dari lembaga internasional mengenai kualitas pendidikan di berbagai Negara, dan seperti yang sudah sering dipublikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia biasanya berada di urutan “underdog” atau juru kunci.
Adapun untuk indicator mikro, ada beberapa hal atau fenomena yang dapat kita gunakan sebagai patokan. Contoh fenomena yang dapat digunakan sebagai indicator secara kasar antara lain, maraknya budaya tawuran antar pelajar, kebiasaan coret-coret baju dan konvoi untuk merayakan kelulusan anak-anak di sekolah menengah, dan banyaknya pengangguran yang berpendidikan tinggi. Tanpa perlu mengadakan atau bahkan membaca berbagai macam hasil penelitian yang rumit dan detail, masyarakat awam pun sebenarnya dapat menilai sendiri kualitas dunia pendidikan Indonesia, karena jelas bahwa maraknya budaya tawuran antar pelajar, kebiasaan coret-coret baju dan konvoi untuk merayakan kelulusan anak-anak di sekolah menengah, dan banyaknya pengangguran yang berpendidikan tinggi mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan, karena siswa yang berkualitas yang berasal dari system yang sehat mustahil akan merayakan kelulusannya dengan cara-cara yang “tidak beradab” seperti corat-coret baju, konvoi, bahkan sampai keblabasan ke perbuatan yang anarkis dan melanggar norma agama (free sex di kalangan siswa SMP dan SMA sudah nyata terjadi, paling tidak sudah sampai di tahap pre-marital sex yang dibuktikan dengan maraknya cd atau rekaman yang sudah tersebar luas di masyarakat).
Mungkin akan ada banyak ahli pendidikan atau pejabat yang tidak sepakat dengan pernyataan seperti diatas, tetapi bukankah fakta telah berbicara bahwa “semanis” apapun kata-kata para ahli dan pejabat mengenai “majunya” dunia pendidikan kita, tetapi secara umum fakta telah menampik secara terang-terangan hal tersebut. Sebagai contoh, walapun setiap tahun murid-murid dari Indonesia mendapatkan piala penghargaan dari berbagai event international, seperti olimpiade matematika dan fisika, tetapi jumlah siswa yang mendapatkan penghargaan seperti itu jelas tidak merepresentasikan kualitas jutaan siswa-siswa yang lain.
Indicator lain yang dapat digunakan adalah kepuasan masyarakat dan pandangan mereka terhadap kondisi para siswa secara umum, bukan secara personal. Apakah para orang tua sudah puas dengan kualitas dunia pendidikan (atau industri pendidikan) dan produknya? Apakah anggota masyarakat sudah puas dan gembira dengan sikap dan perilaku para siswa dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tempat umum? Apakah dunia usaha sudah menganggap bahwa para lulusan dunia pendidikan sudah siap kerja dan mempunyai cukup pengetahuan dan ketrampilan ketika mereka bekerja pertama kali? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut sudah kita ketahui bersama jawabannya bukan.
Siapakah yang akan disalahkan pertama kali dengan kondisi dari dunia pendidikan yang “tidak mengenakkan seperti ini”. Yang sering menjadi tertuduh pertama kali biasanya adalah para guru, meskipun sebenarnya hal tersebut tidak seratus persen benar. Guru memang pelaksana teknis kurikulum di lapangan pendidikan karena merekalah yang bersentuhan secara langsung dengan peserta didik, tetapi sebenarnya pemerintahlah, yang dalam hal ini diwakili oleh Depdiknas, yang bertanggung jawab dengan kurikulum itu sendiri, dan system pendidikan nasional secara keseluruhan tentunya. Sekolah sebagai institusi dan masyarakat umum, termasuk di dalamnya para orang tua atau wali murid juga tetap berpengaruh terhadap kualitas pendidikan, meski dengan dosis yang lebih kecil.
Meski hanya berperan sebagai pelaksana teknis di lapangan, tetapi gurulah yang sebenarnya benar-benar mengendalikan proses belajar-mengajar di kelas. Seandainya kurikulum yang digunakan di dunia pendidikan sudah berkualitas dan sesuai, dan para gurunya pun kreatif dan inovatif (mampu mengajar dengan baik), maka probabilitas untuk terjadinya peningkatan kualitas dunia pendidikan beserta alumninya semakin tinggi. Adapun sebaliknya, kemungkinan turunnya kualitas dunia pendidikan beserta produknya akan semakin tinggi apabila kurikulum dan pelaksana teknis kurikulum itu sendiri sudah tidak berkualitas. Akan tetapi, apabila kemungkinan terbaik sulit diraih, sedangkan kemungkinan terburuk pun harus dihindari, maka harus ada salah satu dari dua factor, yaitu guru dan kurikulum yang berada dalam kondisi yang bagus, seandainya kedua-keduanya tidak mungkin berada pada kondisi yang qualified, sebagaimana terjadi saat ini di Indonesia. Apabila kurikulum yang ada belum dapat memenuhi harapan yang ada, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkannya, maka langkah strategis dan tercepat yang dapat diambil untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas guru dengan membuat program-program upgrading kualitas, seperti pelatihan, seminar, dan lain-lain.
Sampai batas tertentu, kualitas guru tidak terbatasi dengan tinggi rendahnya.gaji, meskipun sampai batas tertentu pula gaji guru pun akan mempengaruhi kualitas kerjanya. Apabila batas tertentu, kualitas guru tidak terbatasi dengan tinggi rendahnya.gaji, dan sampai batas tertentu pula gaji guru pun akan mempengaruhi kualitas kerjanya, maka otomatis kualitas sekolah-sekolah dan institusi pendidikan yang lain pun sampai batas tidak terbatasi oleh minimnya dana, meskipun sampai batas tertentu kekuatan finansial memang mempengaruhi kualitas sekolah dan lembaga penyelenggara pendidikan; apabila apabila sampai batas tertentu kualitas sekolah dan penyelengara pendidikan tidak terbatasi oleh kekurangan kemampuan financial, maka secara umum dapat dikatakan bahwa kualitas system pendidikan nasional tidak terpengaruh oleh minimnya anggaran, meskipun sampai batas tertentu jumlah anggaran pendidikan dapat mempengaruhi kualitas pendidikan. Akan tetapi, jumlah anggaran pendidikan memang relatif, karena apabila penyelenggara pendidikan, mulai dari departemen pendidikan nasional hingga guru-guru ditawari kebebasan untuk menyebutkan jumlah anggaran yang ideal, “pasti” mereka akan meminta sebanyak mungkin, bahkan “kalau perlu” bukan saja 20% dari APBN, tapi semua uang negara alias 100% APBN untuk pendidikan saja. Karena kata “cukup” memilik bias interpretasi yang sangat luas, maka yang penting adalah “cukup”.


Read more...

Kembar nama

>> Jumat, 06 November 2009

cerita ini terjadi ketika sekolah al azhar syifa budi solo akan mengadakan acara field trip ke pt gunung subur and apta tirta. Cerita, pada waktu acar pemberangkatan, ada dua kelompok dari kelas dua yang memiliki nama ketua yang sama yaitu daffa. Akan tetapi mereka berasal dari kelas yang berbeda.
Pada waktu acara pemberangkatan, koordinatort pemberangkatan memanggil kelompok daffa untuk segera menuju bis. Karena lupa menyebut nama kelasnya, maka otomatis kedua kelompok daffa pun maju ke depan untuk menuju bis. Wah, ternyata nama sama bikin susah. Untungnya bisnya sama untuk kedua kelompok dafa tersebut.

Read more...

Senja merah

>> Rabu, 04 November 2009


merah yang selalu setia
mengakhiri dan mengawali masa
milik semua manusia

adakah yang tersisa,
atau yang membuat tersiksa
awan dan angan menjadi satu
dalam lautan luas

meski aku tahu,
tapi tidak mau tahu
kelemahanku adalah aku tidak mengaku aku punya kelemahan

meski terlanjur sudah,
tak apa
semoga masih ada obatnya

Read more...

Perda Pendidikan: Wujud Kepedulian Pemerintah Daerah?

>> Rabu, 28 Oktober 2009

Salah satu kewajiban pemerintah, baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten adalah mengusahakan dan menyelenggarakan system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang, dan yang berhak mendapatkan pengajaran tersebut adalah tiapt-tiap warga Negara, sebagimana dengan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2).

Sesuai dengan sususnan dan kedudukan (susduk) yang berlaku di Indonesia, pemerintah daerah selaku penyelenggara pemerintahan di daerah, bersama dengan DPRD setempat bias menyusun peratuaran daerah (perda) untuk melaksanakan pendidikan di daerah. Sekarang ini kebutuhan akan adanya perda pendidikan sudah sngat mendesak untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di daerah menjadi efektif dan optimal, dan terjangkau bagi semua kalangan masyarakat, serta transparan dan dapat dan layak dipertanggungjawabkan dalam distribusi dana dalam penggunaannya. Pemerintah daerah tidak boleh bermain-main dengan pendidikan di daerah karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang turut menentukan masa depan bangsa Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya jumlah anggaran pendidikan pendidikan, baik dari APBN maupun APBD sekarang ini, kebutuhan akan perda pendidikan yang mendukung keberadaan system pendidikan yang berkualitas dan terjangkau semua kalangan sudah tidak bias dipungkiri lagi. Besarnya dana alokasi untuk pendidikan benar-benar harus diawasi penggunaannya agar tidak terjadi upaya-upaya “mengakali” peraturan yang ada dengan membuat mark up anggaran untuk mendapatkan keuntungan materi atau sekedar menghabiskan sisa anggaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Dengan besarnya jumlah anggaran pendidikan, maka tingkat kerawanan terhadap korupsi structural pun semakin besar pula, sehingga kalau penggunaan anggaran pendidikan tidak diawasi dengan cermat, akan muncul “ladang” korupsi baru yang subur dan tidak terkendali. Besarnya anggaran pendidikan yang ada akan menjadi sia-sia apabila tidak sampai kepada sasaran yang tepat dan benar-benar membutuhkan. Terlebih lagi jika anggaran tersebut justru habis untuk membiayai proyek-proyek fiktif yang sering muncul takterduga. Padahal, uang untuk alokasi pendidikan, baik itu dari APBN maupun APBD adalah uang milik rakyat, sehinga sudah seharusnya memang apabila uang tersebut dikembalikan lagi kepada rakyat. Setiap bentuk penyimpangan anggaran pendidikan merupakan pengkhiatan terhadap amanat rakyat. Anggaran pendidikan tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan. Kasus buku ajar yang melibatkan banyak pejabat di daerah merupakan salah satu contoh betapa besarnya kenaikan anggaran pendidikan justru menjadi ladang subur korupsi oleh pembuat perda pendidikan itu sendiri.
Perda pendidikan harus dapat menjadi alat penjamin bahwa pendidikan di daerah sudah terselenggara dengan baik dan benar. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tepat sasaran, baik pada sector formal, informal maupun non-formal dan tepat guna, yaitu sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang benar adalah penyelenggaraannya sesuai dengan aturan hokum dan undang-undang yang ada (konstitusional). Sebaik apapun penyelenggaraan pendidikan, kalau tidak didukung oleh peraturan daerah atau undang-undang yang mengatur dan menjaminnya, maka tingkat keberlangsungannya rendah karena dapat dianggap inkonstitusional.
Pemerintah Daerah dan DPRD tidak boleh setengah hati dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan dan dalam menyusun perda pendidikan. Apabila Pemerintah Daerah dan DPRD menyusun Perda Pendidikan dengan setengah hati, hanya karena mengikuti “tren” dan agar dianggap peduli dengan dunia pendidikan, tanpa adanya kesadaran dan melakukan kajian yang mendalam mengenai urgensi perda pendidikan sehingga anggaran pendidikan dapat digunakan semaksimal mungkin, supaya perda pendidikan akan menjadi sia-sia belaka. Pekerjaan yang dilandasi niat yang sungguh-sungguh dan sepenuh hati saja terkadang tidak mencapai hasil yang maksimal, apalagi pekerjaan yang diniati dengan setengah hati dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh, tentu lebih sulit lagi mencapai hasil yang memuaskan.
Kualitas isi dan aplikasi Perda Pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana keseriusan dan komitmen pemerintah daerah dan DPRD terhadap dunia pendidikan di dearah mereka pada khususnya dan bagaimana mereka menjaga amanah rakyat yang telah dititipkan di pundak mereka pada umumnya. Akan sulit memperbaiki kualitas pendidikan apabila perda- perdanya berkualitas atau bagus secara meteri, tetapi aplikasinya asal-asalan, dan tentu lebih sulit lagi apabila baik perda maupun aplikasinya asal-asalan semuanya. Secara sepintas, sulit mengatakan bahwa perda pendidikan, termasuk dengan aplikasinya di berbagai daerah, telah mencapai hasil yang memuaskan semua pihak. Meskipun begitu, memang sudah ada satu atau dua daerah yang sudah menunjukkan kemajuan yang signifkan, yaitu salah satu kabupaten di Bali dan di Kalimantan timur, meskipun bukan berarti tanpa kekurangan.
Sikap terbuka pemerintah daerah dan DPRD selaku pemegang otoritas di daerah untuk mendengarkan suara masyarakat atau kritik dari masyarakat pendidikan seperti LSM pendidikan, guru, ahli, yang bersifat membangun sangat dibutuhan untuk mewujudkan perda pendidikan yang ideal, karena mustahil mereka memberi saran atau kritik yang akan menghancurkan pendidikan. Pemerintah daerah dan DPRD harus sellau peka terhadap perubahan di masyarakat karena perubahan kebutuhan dan keinginan masyarakat adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi yang lazim terjadi adalah, pemerintah dan legislative sudah merasa sangat peduli terhadap duia pendidikan ketika mereka memiliki perda pendidikan, padahal semua kritik dan saran dari masyarakat dunia pendidikan tidak mereka hiraukan.


Read more...

Terima kasih kodok

>> Senin, 26 Oktober 2009

Atik jadi tidak bisa tidur gara-gara suara mereka setiap malam,” tanya Atik kepada ayahnya. Atik merasa terganggu dengan suara kodok yang bersahut-sahutan setiap malam.
“Atik sayang, mereka itu sebenarnya sedang bernyanyi bersama-sama,” jawab Ayah Atik dengan pendek sambil membaca majalah olahraga kesukaannya.
“Tapi kalau mereka bernyanyi, kok suaranya jelek begitu. Masak lagunya cuma kwok...kwok...kwok. Tidak ada lagu yang lainnya. Tidak ada alat musiknya?” tanya Atik.
Sambil meletakkan majalah di atas meja. Ayah menjawab, “Mereka itu bernyanyi dengan bahasa mereka sendiri. Coba bayangkan, kalau ada penyanyi yang menyanyikan lagu dengan bahasa Inggris, Atik paham tidak?” tanya ayah sambil tersenyum kepada Atik.
“Tidak paham, Yah,” jawab Atik sambil menggelengkan kepala perlahan.
“Karena kodok mempunyai bahasa yang berlainan dengan Atik, jadi Atik tidak paham lagunya kodok. Coba Atik paham bahasanya kodok, pasti Atik seneng denger lagunya kodok setiap malam,” kata Ayah sambil meminum wedang jahe yang tadi Atik suguhkan. Setiap sore Atik memang selalu membuatkan wedang jahe untuk ayah. Meski masih kelas tiga SD, tapi Atik sudah rajin membantu ibu di rumah, meski sekadar menyapu, menyiapkan makanan di meja, dan membuatkan minuman untuk ayah dan susu buat adik.
“Ogah ah, Atik tidak mau belajar bahasa kodok, nanti Atik jadi seperti kodok. Pokoknya Atik minta sama Ayah agar buat menyuruh kodok-kodok itu diam, tidak boleh nyanyi kalau Atik mau tidur, berisik sekali mereka,” pinta Atik kepada ayah.
“Tidak boleh begitu Atik. Mereka itu juga ciptaan Tuhan. Mungkin Atik menganggap kodok itu cuma binatang kecil dan jorok karena suka tinggal di selokan belakang rumah. Tapi mereka itu sebenarnya sangat bermanfaat bagi manusia, bagi ayah, ibu, Atik, adik, dan semua tetangga kita,” kata Ayah mencoba menjelaskan kepada Atik.
“Ah Ayah. Pokoknya Atik tidak suka sama kodok, kalau mereka nanti malam berisik lagi, Atik akan pukul mereka,” jawab Atik sambil masuk ke dalam rumah.
***
“Atik hari Minggu besok mau ke rumah Paman Arip tidak?” tanya ayah kepada Atik sepulang sekolah. Biasanya setiap akhir pekan Atik berada di rumah membantu orangtua, kemudian berjalan-jalan ke taman atau bermain bersama teman-temannya. Tapi kali ini ayah mengajak Atik ke rumah Paman Arip di desa. Atik pun senang sekali.
“Mau Yah, mau. Asyik, besok kita bisa mancing ikan di kolamnya Paman Arip,” kata Atik kegirangan. Mereka pun kemudian berangkat ke rumah Paman Arip di desa pada hari Minggu pagi.
Sesampainya di rumah paman, Atik langsung lari mengambil pancing dan menuju ke kolam di belakang rumah. Paman Arip mempunyai beberapa kolam ikan. Atik senang sekali. Ada ikan lele, mujahir, bawal, nila, kakap. Eit-eit, tiba-tiba mata Atik kaget melihat ada makhluk hitam kecil yang jumlahnya lumayan banyak. Bentuknya mirip ikan, tapi kok Atik tidak tahu namanya.
“Paman, ikan peliharaan paman itu namanya apa? Yang hitam-hitam kecil itu lho. Enak tidak dimakan?” tanya Atik penuh keheranan sambil menunjukkan ke arah kerumunan kecebong.
“Itu bukan ikan Atik, itu namanya kecebong. Paman tidak memeliharanya, tapi mereka datang sendiri. Wah, mereka itu tidak enak dimakan,” kata paman.
“Datang sendiri? Kok bisa Paman, bagaimana caranya Paman? Kalau tidak enak dimakan, kenapa Paman membiarkan mereka di sini? Kenapa tidak dibuang saja?” Rasa keheranan Atik pun semakin bertambah karena mendengarkan penjelasan paman.
“Mereka itu nanti kalau besar nanti akan jadi kodok. Coba kamu perhatikan. Itu ada kecebong yang hanya punya ekor, kemudian itu ada yang sudah mempunyai dua kaki di belakang, kemudian ada yang sudah punya empat kaki, tapi masih punya ekor kecil. Kemudian lihat di pinggir kolam itu, mereka sudah menjadi kodok kecil, bagus kan? Terus di sana itu lihat, yang seperti lendir berbintik hitam itu adalah telur kodok, merekalah cikal bakal kecebong. Makanan mereka adalah nyamuk, sehingga mereka sangat membantu manusia. Nyamuk kan sangat berbahaya, dapat menyebabkan banyak penyakit,” kata Paman sambil menujukkan jarinya ke arah kodok-kodok kecil yang asyik berenang.
“Wah, ternyata menarik sekali Paman. Memang benar Paman, nyamuk dapat menyebabkan banyak penyakit, seperti demam berdarah dan malaria. Malah teman di sekolah Atik ada yang masuk rumah sakit gara-gara demam berdarah. Atik kira kodok kecil itu dilahirkan langsung oleh kodok besar, ternyata mereka bisa berubah-ubah sejak telur hingga besar ya. Mereka juga sangat membantu manusia agar tidak digigit nyamuk,” kata Atik sambil tersenyum.
Dia pun lantas ingat kodok yang sering dia anggap berisik di belakang rumahnya. Dia merasa bersalah karena sudah memusuhi kodok yang dia anggap mengganggu, padahal Atiklah yang berhutang budi kepada kodok. Seandainya tidak ada kodok yang bernyanyi di malam hari, pasti Atik akan tidur ditemani oleh nyamuk-nyamuk nakal setiap hari.


Read more...

PENGALAMAN HARUSLAH DICARI

>> Sabtu, 24 Oktober 2009

Pada tahun 2004, aku lulus dari SMA 3 Salatiga Jurusan Bahasa. Karena berasal dari Jurusan Bahasa, maka akupun mendaftar Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, dengan pilihan pertama adalah Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan pilihan kedua adalah Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo (UNS). Selain mendaftar SPMB, aku juga mendaftar di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN) di Yogyakarta.
Tak satu pun pilihanku yang diterima. Pada saat itu sepertinya dunia sudah berakhir. Aku bingung tak tahu apa yang harus kulakukan kalau senandainya aku tidak kuliah, maklum, aku kan anak SMA, bukan anak SMK atau STM yang punya skill.
Pada akhirnya aku mendaftar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), salah satu perguruan tinggi terbesar milik Muhammadiyah yang terletak di Surakarta, Jawa Tengah. Aku pun di sini masuk Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Pada awalnya aku tidak begitu yakin bahwa aku bisa bertahan kuliah di swasta, selain karena biayanya yang mahal, "konon" kata teman-teman SMA-ku, pergaulan para mahasiswa di unviversitas swasta juga tidak baik dan agak bebas. Setahun pertama kulalui dengan biasa saja, dan indeks prestasi kumulatif (IPK) juga biasa saja, yang penting minimal 3.
Kebetulan aku kos di Pesantren Mahasiswa Istiqomah yang letaknya tak jauh dari Kampus 1 UMS. Karena aku ikut ekstrakurikuler kerohanian Islam (rohis) semasa SMA, maka aku lebih suka untuk tinggal di tempat yang yang islami dan tidak membolehkan pergaulan bebas. Lingkungan kosku memang cukup kondusif dan aman dari pergaulan bebas, bahkan mempunyai mushala sendiri dan ada kajian rutinnya. Bahkan belakangan ini, aktivitas keagamaan dan olahraga semakin intensif diselenggarakan di kosku.
Pada tahun pertama aku bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Inggris. Pada tahun kedua aku bergabung dengan Korps Mentoring Al Islam dan Kemuhammadiyahan FKIP UMS (lembaga ini juga ada di kampus lain, meski mempunyai nama yang berbeda, seperi Asistensi di UNS dan Tutorial di Unnes). Pada tahun ketiga aku menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa FKIP UMS mewakili HMJ-ku. Pada tahun ketiga aku mulai sibuk dalam organisasi, sehingga IPK merosot menjadi dua koma, karena selain di Dewan Perwakilan Mahasiswa, aku juga makin sibuk di mentoring.
Tak terasa kini aku sudah semester tujuh dan mungkin segera lulus dari UMS. IPK-ku pun sudah kembali menjadi tiga koma. Sekarang aku masih aktif menjabat sebagai koordinator Mentoring Al Islam dan Kemuhammadiyahan FKIP UMS.
Pada mulanya aku tidak yakin akan mampu bertahan karena mendengar berita miring mengenai pergaulan yang tidak sehat di universitas swasta. Tetapi, setelah aku masuk di dalamnya, barulah aku sadari bahwa kitalah yang harus menjaga diri kita sendiri agar tidak terjebak dalam pergaulan bebas, bahkan kalau perlu kita bergabung bersama teman-teman yang lain untuk menciptakan masyarakat kampus yang islami dan edukatif.
Dibutuhkan usaha keras agar tidak terjebak kehidupan bebas di kalangan mahasiswa, karena masalah pergaulan bebas sudah tidak mengenal mana perguruan tinggi swasta mana perguruan tinggi negeri, semuanya menghadapi masalah yang sama. Jadi, masalahnya adalah bukan bagaimana kita menghindari masalah di sekitar kita, tetapi bagaimana kita ikut menyelesaikan masalah yang ada.
Dan sekarang ini, alhamdulilah aku dikarunia 23 anak yang manis-manis dan lucu-lucum meski ada yang manja dan sedikit nakal, tanpa menunggu lama. Karena aku adalah seorang guru.

Read more...

GENERASI MUDA, SIMBOL KESUKSESAN, DAN PENGGERAK PERUBAHAN GLOBAL

Mengenang 81 sumpah pemuda, 28 Oktober 1928


Menjadi pribadi sukses adalah harapan setiap setiap pemuda. Akan tetapi, apabila setiap pemuda ditanyakan tentang apa itu sukses, pasti akan didapatkan jawaban yang sangat bervariasi.tergantung dari pengalaman pribadi masing-masing. memang pengalaman pribadi atau latar belakang seseorang sangat menentukan pola pikir masing-masing individu, termasuk dalam merumuskan apa itu sukses.

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwaa sukses itu adalah ketika diterima sebagai pegaawai negeri sipil. ada pula yang menganggap bahwa suksess itu adalah ketika menjadi dokter, artis, penyanyi, model, dan sebagainya. Karena kesuksesan lebih sering dikaitkan dengan banyaknya materi atau harta, akibtanya profesi-profesi yang kurang menghasilkan secara materi pun dianggap berlawanan dengan kata sukses. Profesi guru, pedagang, petani, nelayan, peternak, merupakan jenis-jenis profesi yang sering disimbolkan dengan tidak sukses karena kurang menghasilkan secara materi meski sebenarnya banyak juga orang yang kaya dari bidang-bidang pertanian, perikanan, dan perdagangan.

Banyak juga orang yang berusaha mati-matian dan berani membayar sejumlah uang agar diterima sebagai pegawai negeri sipil. Dengan menjadi pegawai negeri sipil, maka akan mendapatkana gaji bulanan dan di kemudian hari juga akan mendapatkan dana pensiun sehingga bisa menghabiskan masa tua dengan tenang. Itulaah arti kata sukses bagi yang menganggap bahwa menjadi PNS adalah simbol kesuksesan.

Akan tetapi, menurut saya sukses seharusnya lebih mengaitkan antara profesi dan perubahan terhadap masyarakat atau manfaat yang dibisa diambil. Dengan demikian, sebuah profesi hanya akan menjadi alat untuk mencapai kesuksesan, karena profsi itu bukanlah kesuksean itu sendiri. Sebagai contoh kecil, dokter yang mau mengabdikan dirinya kepada kemanusian jelas lebih sukses daripada dokter yang hanya mengejar materi belaka. Guru yang mengabdi kepada masyarakat dengan sebenarnya dalam artian luas kepada anak didik dan masyarakat jelas lebih sukses daripada guru yang lulus sertifikasi tetapi tidak melakukan perubahan apa-apa selain hanya mengajar atau mentransfer materi pelajaran kepada anak didikya di sekolah saja.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, atau 81 tahun yang lalu, sekumpulan pemuda terbaik bangsa Indonesia telah merintis kesuksesan mereka dengan melakukan sumpah pemuda, yang manfaatnya masih bisa kita rasakan hingga hari ini, yaitu semangat kebangsaan dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita. Langkah sukses tersebut segera diteruskan dengan kesuksesan beberapa tokoh lain, seperti choiril anwar, salah satu sastrawan muda terhebat di era Indonesia modern, bung karno dan bung hatta yang menjadi pemimpin bangsa di usia yang cukup muda, bung sutan syahrir yang menjadi perdana menteri termuda di sepanjang sejarah dunia (28 tahun). Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa generasi muda adalah generasi yang membawa perubahan di Indonesia, seperti generasi angkatan 1966 dan generasi reformasi 1998.

Meskipun demikian, kiprah generasi Indonesia selalu mengalami fase pasang surut, dan sekarang ini, mau tidak kita harus mengakui bahwa secara umum generasi muda bangsa kita sedang mengalami fase surut, meski tidak genreasi muda bngsa Indonesia juga sedang mengalami fase serupa. Hal tersebut dapat dilihat dari masih rendahnya kreatifitas generasi muda untuk turut menyelesaikan beragam persoalan yang tengah melilit bangsa kita, terutama persoalan ekonomi, social, budaya dan pendiidkan. Dalam bidang ekonomi, para pemuda banyak yang dihingapi rasa tidak percaya diri untuk kreatif menciptakan lapngan usaha, tetapi justru mencari kerja, sehingga ajang CPNS dan job fair adalah hal yang sering mereka tunggu-tunggu. Dalam bidang social budaya, para pemuda juga mulai diliputi masalah kehilangan identitas keindonesiaan(follower), digantikan dengan identitas impor dari barat (life-style setter) yang lebih sering bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.

Di sisi lain, kita dapat melihat bahwa perubahan global terutama yang berkaitan dengan teknologi informasi sekarang ini lebih banyak banyak yang diinisiasi oleh generasi muda. Sebagai contoh, Bill Gates, pendiri Microsoft, Larry Page dan Sergey Brin, pendiri mesin cari raksasa Google, Larry Ellison, Pendiri Oracle, Jeff Bezos, pendiri situs Amazon, dan jerry yang, pendiri Yahoo pada usia yang relatif muda. Bahkan Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Facebook, jejaring sosial yang paling digemari di seluruh dunia masih sangat muda, 25 tahun pada tahun ini. Forbes mencatatnya sebagai milyarder termuda, atas usaha sendiri dan bukan karena warisan yang pernah tercatat dalam sejarah. Kekayaannya ditaksir sekitar satu setengah miliar dolar Amerika. Pada awal tahun 2009 Mark Zuckerberg kiga mendapat penghargaan Young Global Leaders. Masih banyak contoh lain yang menunjukkkan bahwa generasi mudalah yang sekarang ini aktif menyumbngkan gagasan dan aksi perubahan kepada dunia.

Dengan bercermin pada semakin mengglobalnya dunia dan fenomena global pada zaman digital sekarang ini, sudah seharusnya apabila generasi muda Indonesia tetap melakukan aksi perubahan monumental yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh generasi muda, tetapi juga menggetarkan masyarakat Indonesia dan dunia, seperti yang telah dilakukan di sumpah pemuda 81 tahun lalu.


Read more...

qualified teacher vs. certified teacher (guru lulus sertifikasi vs guru berkualitas)

>> Minggu, 11 Oktober 2009


Sertifikasi guru merupakan salah satu kebijakan yang patut mendapatkan evaluasi, karena selain memerlukan banyak biaya, manfaat jangka pendek dan jangka panjangnya belum jelas. Sepertinyaq program sertifikasi guru ini berangkat dari suatu asumsi bahwa semakin tingi gaji guru, maka kinerja mereka akan semakin baik dan akibatnya kualitas pendidikan pun akan membaik dalam waktu singkat. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah guru yang sudah lulus sertifikasi berarti memang sudah jauh berkualitas daripada guru yang belum bersertifikasi? Apakah guru yang belum bersertifikasi berarti tidak layak mendapatkan gaji yang layak?

Setiap guru memang berhak untuk mendapatkan gaji yang layak, tetapi kebijakan sertifikasi yang melalui system portofolio malah menjerumuskan dunia pendidikan dan menjebak para guru ke dalam proses formalisme semu, yang mana akibatnya adalah banyak para guru yang mengikuti seminar atau pelatihan, atau menjadi pembimbing pada bermacam kegiatan, tetapi bukan tujuan yang tulus dan murni untuk meningkatkan kualitaas keilmuan dan pengalaman mereka, tetapi hanya agar mendapatkan sertifikat atau surat keterangan agar mereka mendapatkan tambahan poin agar lulus sertifikasi dengan mudah. Bahkan banyak terjadi kasus pemalsuan sertifikat dengan tujuan agar dapat menaikkan poin untuk lulus sertifikasi. Sangat disayangkan sekali apabila para guru sampai mengorbankan prinsip dan idealisme sebagai guru hanya karena ingin agar lulus sertifikasi.

Melihat fenomena seperti diatas, para guru tidak salah seratus persen apabila mereka sampai melakukan hal-hal di atas, karena mereka sebenarnya terjebak dan terpaksa melakukan hal-hal di atas untuk menaikkan kesejahteraan mereka. Yang patut disalahkan adalah orang-orang membuat kebijakan yang tidak adil ini. Apabila gaji guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil yang sudah lulus sertifikasi bisa mencapai 4-5 juta rupiah, sedangkan guru swasta masih banyak yang mendapatkan gaji dibawah 500 ribu, maka ada kesenjangan social yang luar biasa yang bisa menciptakan kecemburuan intern-profesi. Kenapa para guru yang sama-sama mengajar putra-putri Indonesia (dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri ataupun swasta, mereka adalah tetap putra-putri Indonesia) dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap masa depan bangsa Indonesia, harus menerima kenyataan yang berbeda. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah menganggap kenaikan gaji sebagian guru PNS sebagai sebuah prestasi yang patut mereka banggakan, sedang mereka menutup mata terhadap sebagian guru yang lain, terutama guru swasta di daerah-daerah yang telah terbukti benar-benar mendedikasikan diri mereka untuk masa depan putra-putri bangsa. Yang lebih mengerikan lagi, pemerintah telah menetapkan jatah 75%-85% alokasi sertifikasi untuk guru berstatus PNS, dan 15%-25% untuk guru berstatus swasta (www.radarbanten.com dan www.kompas.com). Hal ini jelas sangat konyol, sangat tidak beralasan, dan sangat tidak adil, dan yang jelas; semakin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan struktural terencana di dunia pendidikan. Pemerintah telah “sengaja” menghambat guru swasta untuk mengembangkan kualitas mereka dengan mengadakan program diskriminasi seperti.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pendidikan, termasuk kenaikan gaji guru, haruslah melalui proses politik dan disahkan oleh lembaga politik terlebih dahulu, akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kenyataan bahwa kenaikan gaji guru ternyata dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, tanpa menimbangkan rasa keadilan dan perasaan bagi para guru non-PNS. Betapa perih hati para guru yang mendengar kenaikan gaji saudara-saudara PNS seprofesinya yang hampir rutin setiap tahun, dan belum lagi masih ditambah dengan fasilitas-fasilitas lain, seperti asuransi, dana pensiun, dan lain-lain, sedangkan para guru swasta harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan kenaikan harga barang-barang, padahal mereka memiliki pengabdian yang sama pentingnya terhadap negara, sedang yang berbeda hanya bajunya semata; guru swasta dapat diandaikan sebagai anak tiri negara, sedang guru PNS adalah anak emas kesayangan pemerintah.

Apabila guru yang sudah lulus sertifikasi saja kualitasnya masih dapat diragukan, apakah guru yang belum lulus sertifikasi dan bukan lulusan S1 berarti kualitasnya dibawah yang sudah lulus? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak factor yang mempengaruhi kualitas guru dan tentu saja tidak ada satu factor yang berlaku mutlak tanpa pengaruh factor lainnya. Beberapa factor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain jenjang pendidikan, lama pengalaman mengajar, dan “bakat dan minat mengajar”, komitmen, dan faktor-faktor lainnya, karena factor-faktor tersebut sifatnya tidak abadi dan relative, bahkan proporsinya berbeda-beda pada tiap-tiap individu guru tergantung pada kondisi personal masing-masing dan perbedaan tersebut memang sudah manusiawi karena pada dasarnya tidak ada manusia yang dilahirkan dengan bakat, minat, dan kemamuan yang sama persis dengan orang lain.

Semakin lama mengajar seorang guru, maka seharusnya pengalamannya semakin banyak dan kualitasnya pun lebih baik daripada guru baru yang miskin pengalaman, misal guru yang sudah mengajar berpuluh tahun dibandingkan guru yang baru mengajar satu atau dua tahun. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka idealnya semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya, apabila dibandingkan dengan guru yang jenjang pendidikannya lebih rendah, seperti lulusan S2 dibandingkan dengan lulusan S1 atau D4. Orang yang menjadi guru dengan sukarela selayaknya lebih baik kinerjanya daripada yang menjadi guru karena terpaksa, seperti karena kesulitan mencari pekerjaan dan pada saat yang sama lowongan yang tersedia hanya guru. Guru dengan komitmen yang tinggi akan mengajar dengan penuh dedikasi karena dia tahu bahwa mengajar adalah sama membangun peradaban manusia, tetapi guru yang tidak memiliki komitmen akan menganggap sebagai profesi guru seperti profesi lain, untuk sekedar mendapatkan penghargaan material semata, tanpa ada kesadaran terhadap misi kemanusiaan dan membangun peradaban umat manusia.

Begitu juga dengan guru yang berstatus PNS dan swasta atau non-PNS, tidak dapat langsung diklaim bahwa guru berstatus PNS adalah lebih baik kualitasnya daripada guru non-PNS, karena memang banyak factor yang mempengaruhi kualitas seorang guru, sebagai mana pada guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum lulus sertifikasi. Terlebih lagi sudah rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS, sering dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikti karena jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, meski hal tersebut sudah diminimalisir oleh pemerintah, tapi fakta di lapangan memang sering berbeda dengan idealisme dan harapan kita semua, dan fakta seperti itu justru membuat pertanyaan baru lagi tentang kualitas guru PNS, karena logikanya, jika memang mereka berkarakter kuat dan berkualitas tinggi, tentu mereka tidak akan “menjual diri” mereka dengan hanya beberapa puluh juta kepada oknum tertentu agar diangkat menjadi PNS dan mengorbankan prinsip-psinsip dan idealisme mereka; tentual jenis yang seperti itu adalah jenis yang tidak berkualitas yang miskin kepribadian. Tidak heran jika lebih dari 50% PNS Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak efektif, bahkan dapt dibilang setengah menganggur (www.okezone.com).


Read more...

BOS: Bantuan Operasional Sekolah atau Bom Ofensif di Sekolah?


Bantuan operasional sekolah, atau yang disingkat dengan nama BOS, yang pada awalnya merupakan kompensasi atas dinaikkannya harga BBM, merupakan berkah yang ditunggu oleh masyarakat pada awalnya, karena daa yang cukup besar ini akan diberikan “cuma-cuma” kepada sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta untuk pengembangan kualitas mereka. Bahkan di kelanjutan program dana BOS ini akhirnya beralih menjadi sekolah gratis pada jenjang sekolah dasar dan menengah terutama sekolah negeri, dengan perkecualian sekolah RSBI dan SSN. Banyak sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah dasar dan MI swasta di lingkungan marjinal pun ikut-ikutan melakukan penggratisan dengan terpaksa, karena khawatir kehilangan murid karena para orang tua murid, terutama dari kalangan menengah ke bawah memang maunya menyekolahkan sekolah di tempat yang gratis (terutama seperti di sekolah negeri). Padahal dana bos tersebut jumlahnya nominalnya dihitung berdasarkan jumlah anak, dan setiap anak SD atau MI di perkotaan “hanya” dijatah Rp 33.000,00 per bulannya mulai tahun 2009 (sedang jumlah pada tahun sebelumnya hanya Rp. 21.000,00 per anak per bulan), sehingga semakin banyak jumlah murid, maka dana bos yang akan diterima sekolah tersebut akan semakin “banyak”. Kata banyak di konteks ini sangat layak diberi catatan, karena kata banyak di sini tidak berkonotasi dengan kata “layak” apalagi “cukup” apabila mengac pada Upah Minimum Regional sebagai standar penggajian.

Karena terpaksa melakukan penggratisan, akibatnya adalah sekolas swasta menjadi tidak punya sumber pemasukan untuk menggaji guru maupun biaya operasional selain dari dana BOS. Apabila suatu sekolah dasar atau MI swasta hanya mempunyai 150 murid, maka sekolah tersebut akan hanya mendapatkan jatah dana BOS bulanan sebesar Rp.4.950.000,00 yang akan diberikan setiap tiga bulan sekali. Apabila sekolah tersebut mempunyai 6 orang guru kelas, satu guru olahraga, satu guru agama, satu pegawai TU, satu pegawai kebersihan, dan satu kepala sekolah, maka ada sebelas orang yang harus mendapatkan gaji setiap bulannya, padahal sekolah sendiri juga pasti membutuhkan dana operasional yang cukup besar untuk menjamin kenyamanan keberlangsungan proses belajar mengajar (seperti biaya membeli alat tulis, buku, kebersihan, listrik, air, dan lain-lain), dapat dibayangkan berapa berapa gaji yang akan diterima oleh para guru (guru hanya akan menerima tidak lebih dari 400 ribu per bulan), dan itupun harus dikelola dengan cermat sekali, mengingat dana BOS hanya cair tiga bulan sekali. Seadainya jumlah murid yang ada kurang dari itu, maka otomatis jumlah dana BOS yang akan diterima pun akan berkurang, sehingga dapat kita bayangkan sendiri berapa jumlah gaji yang akan mereka terima, sungguh jauh dari kata layak, terlebih apabila kita memperhatikan tingginya harga barang dan jasa saat ini. Bahkan sampai saat ini masih ada guru yang gajinya tidak lebih dari Rp.200.000. Memang benar bahwa sampai batas tertentu jumlah gaji tidak akan mempengaruhi kualitas guru, akan tetapi apabila jumlah gaji yang diterima sudah sangat keterlaluan seperti ini, bagaimana mungkin mereka mempertahankan kualitas kerja mereka, sementara mereka sulit berkosentrasi dan harus mencari sumber tambahan penghasilan lain yang juga menuntut pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit karena kebutuhan hidup sehari-hari sulit terpenuhi dengan layak apabila hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar semata.

Secara sekilas, dana BOS memang meringankan beban para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka, tetapi di sisi yang lain kualitas pendidikan justru menjadi taruhannya, apalagi sebagian besar sekolah di Indonesia masih menitikberatkan pada pengetahuan kognitif. Kegiatan-kegiatan yang sebenarnya sangat menunjang perkembangan kepribadian anak memang belum menjadi prioritas utama system pendidikan di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi apabila anak yang dianggap pandai adalah adalah anak yang pintar dalam mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan lain-lain yang membutuhkan daya ingat yang bagus, sedang anak-anak yang terampil dalam berbagai bidang yang tidak membutuhkan memory yang kuat, tetapi imajinasi, terutama yang di masukkan dalam ekstrakurikuler seperti musik, olahraga, menggambar tidak mendapatan penghargaan dan tanggapan yang semestinya.

Penggunaan dana BOS memang masih belum diarahkan untuk kegiatan yang bersifat pengembangan diri, tetapi masih diarahkan ke pembangunan fisik dan subsidi biaya operasional pendidikan (peringanan atau penggratisan SPP, yang muaranya adalah juga sumber penggajian guru). Kalau sekolah tidak boleh menarik sumbangan dana dari para orang tua, maka nasib kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pengembangan dirilah yang terancam, karena pembiayaannya menjadi terbatas atau bahkan tidak mendapatkan biaya sama sekali. Pendidikan yang hanya bersifat kognitif bukanlah pendidikan yang ideal, meskipun hal tersebut merupakan salah satu yang harus ada.

Program pengembangan diri, terutama program ekstrakurikuler, seperti bela diri, musik, robot, teater, English, math club, seni, pecinta alam, dan lain-lain, merupakan salah satu wahana untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang sering kali belum tertampung di ruang-ruang kelas kognitif. Program-program pengembangan diri tersebut erat kaitannya dengan pengembangan kompetensi kecakapan hidup life skill, soft skill, dan social skill anak-anak, yang mana pada akhirnya pada banyak kasus ternyata life skill, soft skill, dan social skill lah yang lebih banyak berperan dalam kesuksesan di dunia kerja dan masyarakat, bukan hard skill yang didapatkan dari kelas-kelas kognitif (Muchlas Samani. Menggagas Pendidikan Bermakna: 17). Bahkan apabila life skill, soft skill, dan dan social skill ini apabila dikaitkan lebih dalam dengan multiple intelligence-nya Howard Gardner, akan ditemukan peta bagaimana luasnya potensi, bahkan, dan minat anak-anak yang belum dimaksimalkan, malah memory hard disk mereka lebih banyak “dijejali” dengan hal-hal yang tidak mereka sukai dan bahkan mungkin sekali tidak akan banyak berguna ketika mereka berada di lingkungan kerja atau masyarakat nanti, padahal salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan para peserta didik agar siap berkarya di lingkungan kerja dan masyarakat.

Konon katanya, sebagaimana yang tertulis dalam pedoman mengenai KTSP (secara teoritis):

“pengembangan diri dalam KTSP bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi (dibimbing dan dinilai) oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang diberi tugas.

Kegiatan pengembangan diri dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik serta kegiatan pengembangan kreativitas peserta didik baik melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk aktivitas seperti kepramukaan, KIR, keolahragaan, kesehatan, dll.

Aspek yang dinilai dalam kegiatan pengembangan diri lebih dominan pada aspek apektif peserta didik, yang difokuskan pada pencapaian prestasi dan perubahan sikap atau perilaku peserta didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh sekolah.”

Akan tetapi fakta memang seringkali lain dengan idealisme, terlebih lain jika idealisme yang dibuat sekedar untuk idealisme-idealismean, tidak berdasarkan itikad baik, tetapi sebagai basa-basi semata, agar pantas dibaca.

Apabila dengan adanya dana bos, yang notabene adalah penggratisan pendidikan, malah mengancam kualitas dunia pendidikan itu sendiri, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan dengan masak-masak setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pelaksanaan program BOS dan sekolah gratis tidaklah semudah dan sesederhana yang seperti diiklankan di TV oleh depdiknas, masih banyak kendala social budaya yang menghalanginya, sebagai contoh masih adanya pungutan sukarela tapi wajib bagi para orang tua murid.

Jangan sampai masyarakat terlena dalam jangka pendek dengan adanya pendidikan gratis, tetapi dalam jangka panjang ternyata anak-anaklah yang menjadi korbannya. Konsep pendidikan “gratis” dengan adanya dana bos yang sepertinya hanya “mengejar” dana pendidikan yang luar biasa besarnya itu segera habis tak bersisa dalam satu tahun anggaran, sepertinya belum saatnya dilaksanakan sekarang ini, meski pemerintahlah yang memutuskan. Paling tidak, konsep pendidikan murah atau paling tidak masih melibatkan orang tua dalam pertanggungan dana operasional sekolah dan melalukna penurunan jumlahnya setiap tahun meskipun dalam jumlah yang terbatas akan mempunyai efek yang lebih baik daripada proses penggratisan yang terlalu cepat, karena masyarakat belum siapa secara mental dan psikologis untuk menerimnya, meskipun nampaknya mereka menyambutnya dengan gembira karena keterbatasan informasi dan pengetahuan.


Read more...

LEARNING FOR THE TEST, NOT LEARNING FOR THE LIVING


Kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ternyata luput dari sasaran dunia pendidikan, karena pendidikan di Indonesia tidak ditujukan untuk menyempurnakan kualitas hidup dan mengatasi masalah-masalah yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan mengolah dan memanfaatkan kekayaannya sumber daya alamnya, akan tetapi malah ditujukan untuk mengejar tuntutan yang berwujud nilai minimal sebagai standar kelulusan.

Memang menetapkan suatu angka sebagai standar minimal untuk kelulusan bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi yang paling buruk apabila proses pendidikan sudah ditujukan untuk menghadapi ujian semata, bukan lagi untuk menghadapi kehidupan nyata (learning for the test, not learning for the living). Empat pilar belajar yang direkomendasikan oleh komisi internasional UNESCO merupakan pilar yang ideal bagi Negara yang system pendidikannya belum mantap dan didera dengan beragam masalah seperti Indonesia. Keempat pilar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. learning to know (belajar untuk mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu pengetahuan)

  2. learning to do (belajar bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan)

  3. learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan

  4. learning to be (belajar menjadi manusia seutuhnya yang ilmiah dan mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari)

Fenomena melencengnya system pendidikan nasional dari arah yang seharusnya (sebagai problem solver and knowledge facilitator) bisa dilihat dengan semakin maraknya lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai macam strategi dan solusi belajar untuk menjawab soal ujian secara cepat dan praktis. Terlepas dari nilai positif yang dibawa oleh lembaga bimbingan belajar, tetapi yang tidak bisa dipungkiri adalah, pertama, system pengajaran di sekolah tidak menerapkan system belajar yang tuntas, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja. Apabila para pengajar di sekolah sudah menerapkan pengajaran yang benar-benar tuntas, tentunya para murid tidak perlu lagi harus mengiktui jam pelajaran tambahan di luar sekolah sepulang sekolah. Kedua, system pendidikan formal (sekolah) belum mampu untuk memenuhi tuntutan konsumen pendidikan (orang tua, dunia kerja, dan para pelajar) dan terjebak dalam perlombaan untuk mencari status, seperti akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional. Memang di satu sisi, akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional menunjukkan kualitas sekolah tersebut, tetapi di sisi yang lain malah menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, secara sekilas, sekolah yang berstandar internasional justru malah menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar berstandar internasional? Siapakah yang menyatakan atau mensertifikasi staandar internasional mereka? Apakah yang mensertifikasi sekolah dengan standar internasional adalah lembaga yang bonafid atau lembaga penjamin mutu pendidikan yang terpercaya atau sekedar tempelan semata karena pesanan pihak tertentu?

Contoh kasus rumah sakit di Indonesia patut menjadi referensi kasus. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang berani menempelkan embel-embel internasional di belakang nama rumah sakit mereka (ingat kasus ibu prita dan rumah sakit OMNI internasional), tetapi ternyata hanya satu atau dua rumah sakit saja di seluruh Indonesia yang benar-benar sudah disertifikasi oleh lembaga internasional yang bonafid di bidang kesehatan, sedangkan selebihnya hanya menempelkan embel-emebel internasional karena pesanan dari pemilik saham dan dengan tujuan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Mengingat buruknya ranking human development index-nya Indonesia, adalah sangat ironis apabila kita melihat banyak sekolah di Indonesia yang merasa sudah berkualitas internasional hanya karena sudah mampu membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Padahal sekolah yang membuka kelas akselerasi atau kelas internasional belum lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah yang tidak membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Di negara-negara yang system pendidikannya sudah maju dan mapan, Singapore misalnya, mereka tidak mengenal variasi standarisasi kualitas sekolah seperti di Indonesia.

Memang benar bahwa standarisasi kualitas itu perlu, karena tanpa adanya proses standarisasi, maka kualiats pendidikan kita menjadi sulit diukur yang mana akibatnya usaha pengembangan kualitas menjadi tidak terarah, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah proses standarisasi pendidikan yang mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah ketimpangan kualitas sekolah yang sangat mencolok. Ketimpangan kualitas sekolah di Indonesia yang paling nyata adalah kualitas sekolah swasta. Sebagian besar sekolah yang terletak di daerah pinggiran dan benar-benar terpinggirkan adalah sekolah milik swasta. Kualitas bangunan fisik hingga pengajar dan alat belajar masih jauh dari layak atau memadai. Akan tetapi, sekolah-sekolah yang mewah dan unggul secara prestasi akademik dan non akamedik di kota-kota besar pun sebagian besar di dominasi oleh sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri yang menerapkan biaya yang cukup mahal.

Apakah layak jika ada perbedaan kualitas sekolah di mana anak-anak dari daerah pinggiran yang miskin dan sekolah-sekolah elit bersekolah? Bukankah mereka sama-sama putra-putri bangsa Indonesia yang sama-sama berhak untuk mencicipi pendidikan yang berkualitas. Memang perbedaan kualitas sekolah memang sesuatu yang perlu, bahkan mungkin harus ada, tetapi perbedaan tersebut haruslah melalui proses yang alami, yaitu berdasarkan pemanfaatan sumber daya dan potensi yang ada, bukan melalui proses yang sudah dipaksakan sejak awal dengan sengaja. Tanpa adanya perbedaan kualitas sekolah, maka hal tersebut justru akan mematikan banyak potensi peserta didik, karena yang perlu diingat adalah bahwa meskipun setiap anak memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi setiap anak dibekali oleh Tuhan dengan beragam bakat dan minat yang berbeda-beda.

Konsep multi-intelligence oleh Howard Gardner patut direkomendasikan sebagai acuan dalam pengembangan kualitas personal anak berdasarkan potensinya masing-masing, dan sampai tahap tertentu juga dapat diterapkan untuk mengembangkan kualitas sekolah atau lembaga yang memiliki spesifikasi pada bidang tertentu, seperti sekolah-sekolah kejuruan, pusat latihan olahraga (training center), dan lembaga pengembangan bakat dan minat seperti sanggar seni. Pada lembaga yang sudah bersifat kejuruan, spesifik pada minat bakat tertentu, adalah sia-sia apabila anak-anak masih harus mempelajari semua hal; lebih baik anak-anak difokuskan pada 1 kecerdasan utama dan 2 atau 3 kecerdasan lain sebagai pemberi nilai atau skill lebih. Berikut adalah kedelapan multi-intelligence yang dirumuskan oleh Howard Gardner.


Linguistic intelligence ("word smart"):

Logical-mathematical intelligence ("number/reasoning smart")

Spatial intelligence ("picture smart")

Bodily-Kinesthetic intelligence ("body smart")

Musical intelligence ("music smart")

Interpersonal intelligence ("people smart")

Intrapersonal intelligence ("self smart")

Naturalist intelligence ("nature smart")


Read more...

education for today

>> Kamis, 01 Oktober 2009

When we think about education, we often view school in a traditional, formal sense. Many people believe that true learning can only take place in a formal classroom setting. Others feel education occurs in many different forms and environments. There may not be a definitive answer to the question of, ‘What is Education?’ However, we can start thinking about the purpose of education. Is it to educate youth to be responsible citizens? Is it to develop individuals, as well as society, in order to ensure a society’s economic success? Or is the purpose of education to simply focus on developing individual talents and intelligence? Perhaps it is the balance of all three that defines education? While our answers may differ, we can perhaps agree that education is a basic human right. When that right is granted growth and development, the society as a whole is more likely to improve in areas such as health, nutrition, general income and living standards and population fertility rates.

The information in this section will prompt you to think about some very important issues surrounding the topic of education. As global citizens of the world it is our responsibility to critically think about these issues and attempt to come up with solutions to the problems plaguing education. In 1990 UNESCO launched EFA, the movement to provide quality education for all children, youth, and adults by the year 2015. Seventeen years later much progress still needs to be made if we are to achieve the goal for 2015. The unfortunate reality is that for many countries, larger issues precede improving the quality of education. How can we achieve the goals of EFA when numerous countries around the world are faced with challenges that seem far too impossible to overcome?

The answer lies in attempting to bridge some of the gaps that prevent developing nations to compete with developed nations. One example is that of providing greater access to technology and narrowing the ever widening digital divide. In many ways the most basic access to technology can serve as a valuable educational tool. Individuals who are not afforded this access are at a disadvantage when trying to grasp opportunities to make life better for themselves, their families, and their community.

Another issue that poses a barrier to widespread development is that of literacy. There still remains a rather larger percentage of illiterate youth and adults in many nations around the world. Economic difficulty and lack of education get in the way of decreasing illiteracy rates. As you will learn in the following sections, literacy is no longer simply limited to reading and writing.

There are many different capacities in which an individual living in the twenty-first century can be literate. Helping to strengthen skills in other areas, can still help to make progress on sustaining the development of a nation, as well as achieve gender equality. The gender gap in education points to the fact that females are still not afforded the same opportunities as males. In many parts of the world cultures see no value in educating females. Two of the eight Millennium Development Goals, achieving universal primary education and promoting gender equality, seek to close the gaps that exist in the education around the world. If we can make some advancement on achieving these goals, we can further the progress on the remaining six. Education is the foundation for the success of any given society. Numerous studies have shown the correlation between education and lower birth rates, lower infant mortality rates and fewer maternal deaths. Furthermore, a more educated population will also result in higher personal incomes as we all expand access to financial opportunities.

In summary therefore, education does not only encourage personal development but also provides a place for people to interact, socialize, and unify their societies. (

Read more...

HAWA NAFSU DAN ALIRAN SESAT: SUMBER KEJAHATAN

Di negara Indonesia ini hampir setiap tahun muncul berita yang menghebohkan masyarakat, terutama umat Islam. Sudah sejak beberapa tahun belakangan ini sering muncul orang-orang yang mengaku-aku sebagai orang yang mendapat wahyu dan pemimpin agama (nabi dan rasul). Ironisnya dari mereka yang mengaku-aku sebagai orang yang mendapat wahyu, ternyata tidak sedikit orang yang mempercayainya. Mereka mempunyai pengikut dalam jumlah yang tidak sedikit di berbagai daerah. Ironisnya lagi, terdapat kelompok di Indonesia dan mempunyai jaringan yang cukup luas (baik di dalam dan di luar negeri) yang mengaku sebagai ‘pembaharu’ Islam modern yang ‘mendukung’ munculnya kelompok-kelompok yang secara umum dapat dikatakan menyimpang dari ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Padahal sudah jelas yang dibawa oleh orang-orang yang mengaku-aku mendapat wahyu tersebut bertentangan dengan Al quran dan as sunnah.
Setiap kali muncul kelompok yang menyimpang dan dikecam secara luas di Indonesia (seperti munculnya Sholat dua bahasa, Jemaat Ahmadiyah, Lia Aminudin, Al Qiyadah Al Islamiayah, dll) baik oleh para ulama dan umat Islam, justru mucul pula pendapat-pendapat yang bernada membela kelompok sesat tersebut, paling tidak mereka tidak mengecam, bahkan menyalahkan dan mengecam (baca: mengejek) ulama. Yang perlu dicermati dari pernyataan orang-orang liberal atau organisasi mereka adalah berdalih dengan kebebasan beragama, mereka mendukung, atau paling tidak enggan mengingkari kesesatan kelompok-kelompok di atas ( Apabila mereka mendukung dan membela setiap kelompok atau orang yang mengaku mendapat wahyu, lantas sebenarnya berapa jumlah rasul menurut mereka. Apabila setiap ‘rasul’ baru tersebut dibela keberadaanya, lantas siapa yang sebenarnya ‘rasul’. Tentu yang sebenarnya rosul terakhir dan syariatnya wajib diikuti oleh umat Islam di dunia adalah Nabi Muhammad Saw).
Sebagian ulama mengatakan:’Hati-hatilah kamu sekalian dengan dua golongan manusia, yaitu:’orang yang mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsunya akan menimublkan fitnah (bencana) baginya, dan orang yang mencintai dunia, karena dunia akan memperdayainya’. Mereka juga mengatakan:’ Hati-hatilah kamu sekalian dengan orang yang pandai yang jahat dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh, karena bencana (fitnah) keduanya adalah bencana bagi kamu semua orang yang terkena bencana’. Hal ini serupa dengan orang-orang yang dimurkai oleh Allah yang mengerjakan kebenaran tetapi juga mengerjakan hal-hal yang sebaliknya (kejahatan), dan juga serupa dengan orang-orang sesat yang melakukan perbuatan tanpa berdasarkan pengetahuan. (I’lamul Muwaqi’in. Panduan Hukum Islam. Ibnul Qayyim Al Jauziah, Hal.127)
Kita bisa membaca dari karya ulama kenamaan diatas, bahwa yang harus kita waspadai adalah orang pandai yang jahat dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh.
Orang pandai yang jahat bisa menyebabkan banyak orang awam yang tergelincir. Bagi orang yang suka takjub dengan kepintaran atau panjangnya gelar-gelar, entah itu, professor, doktor, syekh, atau kyai, maka mereka akan mudah tunduk dan mengikuti ucapan orang-orang pandai tersebut. Celakanya, apabila orang yang awam dan tidak tahu apa-apa hanya taqlid dengan orang yang semacam itu dan mengikuti ucapan mereka tanpa reserve, padahal yang diucapkan oleh orang-orang pandai tersebut belum tentu kebenaran, tetapi juga kebatilan yang muncul berdasarkan bisikan syaithon dan nafsu. Karena orang yang pandai itu biasanya bicaranya mengesankan, pandai berkilah, dan pandai mempertahankan argumennya dalam perdebatan meskipun lemah dan batil argumen mereka, maka orang-orang pun akan mengikuti langkah-langkahnya.
Kebodohan ahli ibadah yang tekun dan khusyuk juga bisa menipu banyak orang. Meskipun kelihatannya islami,sholeh, dan khusyuk dalam beribadah, tetapi apabila tidak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah sebagai acuannya, maka akan mencelakakan umat. Syarat sahnya ibadah hanya ada dua, yaitu niat ikhlas karena Allah swt dan ittiba’ (mengikuti cara nabi). Apabila seseorang beribadah hanya ikhlas tetapi tidak sesuai cara Nabi, maka akan menjadi bid’ah.
Umat Islam yang hanya terfokus pada formalisme ritual agama dan penampilan luar (fisik ) seseorang akan mudah “tersandung” ketika mereka melihat ahli ibadah yang bodoh karena mereka hanya akan menilai mereka dari penampilan luar ibadahnya (yang penting kelihatan khusyuk dan rajin mengamalkan bermacam amalan, seperti wirid-wirid terntentu, meskipun tidak mempunyai landasan yang shohih dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Dalam Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 105-106, Allah swt berfirman:
” Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (105) yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram, adapun orang-orang yang hitam muram wajahnya dikatakan” Mengapa kamu kafir setelah beriman? Maka rasakanlah azab itu disebabkan
Kekafiranmu (106)”.
Mufassir Ibnu Katsir menafsirkan ayat Allah “…Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (105) yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram…”adalah hari kiamat pada saat wajah Ahli Sunnah Wal Jama’ah memutih dan wajah Ahli Bid’ah dan perselisihan menghitam. Demikian menurut penafsiran Ibnu Abbas. Adapun “…kafir setelah beriman…” mereka adalah kaum munafik “…Maka rasakanlah azab itu disebabkan kekafiranmu”. Gambaran ini meliputi pula kepada kaum kafir. (Kemudahan Dari Allah. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Hal. 563).
Yang harus diperhatikan dari bermacam munculnya bid’ah dan aliran sesat di Indonesia adalah akibat yang bisa muncul karena murka Allah swt, karena Allah swt telah berfirman “Dan Rabbmu lagi Maha Kaya, lagi mempunyai rohmat. Jika dia menghendaki niscaya dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana dia menjadikan kamu dari keturunan orang-orang
Lain” (al am’am:133).
Dalam ayat-Nya yang lain Allah swt juga telah memperingatkan:
” Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (Hai orang kafir Makkah) seorang Rosul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rosul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai Rosul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (Al Muzammil: 15-16).
Tentu kita, semua umat Islam, tidak mengharapkan murka Allah dan azabnya di dunia. Oleh karena itu kita harus melawan bid’ah dan hawa nafsu yang jahat dan menyesatkan.
Kita harus memanfaatkan kemampuan intelektual yang telah Allah swt berikan kepada kita untuk memahami syariat Islam dengan benar, yaitu dengan menjadikan generasi Salaf, terdahulu, sebagai panutan, karena merekalah sebaik-baik generasi umat Islam.“Sesungguhnya Allah mencintai pandangan yang dapat menahan diri ketika muncul hawa nafsu dan Dia juga mencintai akal yang sempurna ketika menghadapi hawa nafsu”. (I’lamul Muwaqi’in. Panduan Hukum Islam. Ibnul Qayyim Al Jauziah, Hal.128).
Aksi kekerasan terhadap penganut suatu kepercayaan atau aliran memang tidak dibenarkan oleh hukum, akan tetapi, penyimpangan terhadap ajaran asli suatu agama merupakan suatu pelecehan yang tidak dapat ditolerir. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak tegas terhadap semua aliran atau kepercayaan yang menyimpang dari agama Islam yang benar yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, karena apabila pemerintah tidak membubarkan semua kelompok yang melecehkan suatu ajaran agama dengan dalih kebebasan atau hak asasi manusia, maka kasus penyerangan terhadap suatu aliran agama yang menyimpang pun dapat dibenarkan dengan dalih yang sama.

Read more...

ANTI DE-SAKRALISASI AL QURAN

Salah satu wacana yang dikembangkan oleh para penganut Islam liberal dewasa ini adalah tentang desakralisasi Al Qur’an. Banyak tokoh Islam liberal, yang sering menganggap dirinya sebagai Islam modern, bahwa sebagian hukum syariat Islam dan Al Qur’an bersifat teksual’ sebagai misal, hukum Islam yang sudah masyhur mengenai kewajiban menutup aurot bagi wanita, hijab, dan hukuman had dalam Islam (Al Qur’an dan Sunnah) adalah bersifat kearaban atau terpengaruh oleh tradisi Arab. Hal tersebut karena disebabkan (dalam pandangan Liberalis, Sekuleris, dan Pluralis) bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diturunkan di Jazirah Arab, sehingga konteksnya pun kearab-araban. Karena Islam diturunkan di Arab dan bersifat kearab-araban, maka, Islam yang berada di luar jazirah arab tidak perlu mengikuti ‘kebiasaan’ tersebut, padahal Islam adalah agama yang bersifat universal (rahmatan lil ‘alamin), maka, segala perkara yang ‘dianggap’ bersifat temporal dan kedaerahan, harus disingkirkan atau di’revisi’, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat universalitas Islam itu sendiri. Demikian adalah logikanya bagi orang yang hendak merubah syariat Islam yang sudah qoth’i ini.
Bagi orang-orang yang berpikir ala orientalis dan beranggapan bahwa orang-orang Islam saat ini adalah kaku dan tidak kreatif dalam menafsirkan ayat Al Qur’an, sehingga mereka berani menafsirkan ayat Allah sesuai dengan hawa nafsu mereka sendiri, Islam yang sekarang sudah tidak representative dan tidak bisa mengikuti perkembangan jaman (ala barat) dan memberi solusi terhdap kehidupan (ala barat).
Di dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 3 Allah ta’ala berfirman:
“…pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu”…. Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir II terkait dengan ayat ini dikatakan“…maka ridhailah Islam untuk untuk dirimu karena ia merupakan agama yang diridhai Allah dan dibawa oleh rasul yang paling utama dan dikandung oleh kitab-Nya yang paling mulia. Setelah turun ayat ini, kaum mukmin yang muslim tidak memerlukan tambahan apa pun. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan Islam maka jangan pernah kamu menguranginya. Sesungguhnya Dia telah meridhainya maka jangan pernah kamu membencinya. Ayat ini diturunkan pada Hari Arafah. Setelah ayat itu, tidak ditrunkan lagi ayat yang menyangkut hokum halal dan haram…” (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya Muhamad Nasib Ar Rifai, Hal 36-37). Apabila ada orang Islam yang berani mengubah syariat Islam atau mengatakan bahwa syariat Islam sudah tidak sesuai, maka ada satu ungkapan untuk menjawab pernyataan tersebut, yaitu apakah manusia yang menuruti hukum (agama) atau hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Dengan melihat kecenderungan tokoh-tokoh yang berani mengubah Islam atau mengatakan bahwa Islam sudah tidak sesuai dan harus direvisi, maka ungkapan yang tepat bagi mereka adalah hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Apabila diruntut mengenai adanya pengaruh tradisi Arab dalam syariat Islam, seperti masalah menutup aurot (jilbab dan cadar), maupun hukum had seperti rajam dan potong tangan sebagai pengaruh dari ‘Arab”, akan muncul pertanyaan, apakah sebelum Islam datang, ‘tradisi’ tersebut sudah ada sebelumnya?
Sebelum Islam datang, bukan rahasia umum apabila dulu, di jaman Jahiliah, para wanita bertelanjang ketika berthawaf di Baitullah, bahkan mereka pun dalam kesehariannya tidak mengenakan jilbab. Sesudah Islam datang, maka kebiasaan yang jahil itu pun dirubah dengan tuntutan syri’at Islam, tidak ada lagi wanita yang thawaf dengan telanjang dan mereka pun menjulurkan jilbabnya hingga menutupi dada mereka.
Orientalis mungkin menganggap bahwa Tuhan mungkin terlalu subjektif dengan menjadikan kiblat sholat orang Islam adalah berada di Jazirah Arab (Makkah) atau kenapa kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab, atau nabi dan rasul terakhir dari kalangan Arab, sehingga menghasilkan rumusan bahwa Islam adalah berbau Arab, kelihatannya sangat logis. Tetapi, pertanyaan yang kelihatannya logis ini sebenarnya mengandung kelemahan yang fatal, karena nantinya akan muncul pula pertanyaan lain yang menggelitik akal manusia, seperti kenapa Yesus harus dilahirkan dari wanita yang bernama maria, lalu kenapa harus hidup dan besar dengan cara orang-orang Yahudi, berbicara dalam bahasa orang Yahudi, lalu kemudian mempunyai murid (12 orang) yang “bertugas” di kalangan Yahudi saja. Bukankah semua itu juga subjektif. Kemudian orang Yahudi berkeyakinan bahwa mereka merupakan ras yang terunggul dan berhak atas tanah Palestina, bukankah keyakinan seperti itu juga bersifat subjektif. Apabila pertanyaan seperti diatas diterapkan pada semua perkara, maka akan muncul pertanyaan kenapa air harus mendidih pada suhu 100 derajat celcius, atau kenapa satu hari adalah 24 jam, kenapa gula adalah manis, kenapa udara tersusun 79% Nitrogen dan 20% Oksigen.
Apakah Tuhan juga subjektif ketika menentukan itu semua?
Kepuasan akal manusia dalam bertanya tidak akan pernah tercapai sampai ia menemui kematiannya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan akal manusia tidak akan cukup untuk memahami rahasia firman Tuhan.. Apabila dipertanyakan kenapa Al Qur’an turun di Arab dan berbahasa Arab, maka, seandainya Al Quran diturunkan dalam bahasa Inggris dan di Tanah Inggris pun (padahal tidak mungkin), bagi orang-orang yang tidak memilki hakikat keimanan, tetap saja akan mempertanyakannya.
Orang liberal adalah orang yang menganggap dirinya obejkitf dalam memandang hukum Islam, padahal, kalau mereka mau memperhatikan diri mereka sendiri, mereka sebenarnya juga termasuk orang yang sangat subjektif.. Apabila mereka menganggap bahwa sebagian syariat islam dan konteks Al Quran adalan bersifat Arab, sehingga mereka yang tinggal di masa yang berbeda dengan masa dahulu dan berada di luar Arab, bisa mengambil Islam yang tidak berbau Arab, maka pertanyaanya adalah, metode apa yang mereka gunakan untuk mengatakan bahwa bagian syariat ‘ini’ bersifat kearab-araban, sedangkan syariat yang ‘itu’ bersifat universal. Tidak ada bedanya mereka dengan orang Arab jahiliah dulu yang menetapkan atau mengharamkan unta-unta tertentu karena untuk Allah, atau mengatakan bahwa bagi mereka adalah anak laki-laki, sedang bagi Allah adalah anak perempuan.
Apabila mereka sekarang sudah berani mengatakan jilbab atau rajam bersifat Arab, jangan-jangan mereka nanti berani mengatakan bahwa sholat, puasa, zakat, dan juga haji juga bersifat kearab-araban. Apakah mereka mempunyai otoritas untuk mengubah syariat? Tentu saja tidak. Mungkin mereka berargumen bahwa dahulu, Nabi Muhammad datng untuk membawa perubahan, sehingga kita sebagai umatnya juga harus melakukan perubahan, tidak boleh hanya terikat pada ajaran atau teks-teks al qur’an, tidak kreatif dalam beritjihad, taklid kepada ulama terdahulu yang hidup dalam kondisi yang berebeda dengan kondisi sekarang. Ironisnya lagi, mereka sering memuji nabi Muhammad sebagai revolusioner sejati. Sebenarnya yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar mencari topeng (jusitfikasi) saja, karena apabila mereka “merasa” dengan merubah syariat yang sudah baku ini sebagi suatu terobosan yang luar biasa, maka, sebenarnya mereka telah menghina Nabi Muhamad Saw, karena mereka berarti mengingkari ajaran yang sudah disampaikannya.
Renungan terhadap pernyataan seperti diatas haruslah ditimbang dengan pikiran yang masak. Mungkin mereka mengira bahwa dengan belajar Islam ke Barat, maka mereka akan mempelajari Islam dengan objektif, karena ilmuwan barat mempelajari islam dalam kapasitasnya sebagai ilmu pengetahuan saja. Padahal, apabila disimak lebih lanjut, mereka, orang Barat orientalis yang mempelajari Islam dan mengajarkan islam kepada orang Islam di unversitas-universitas Barat terkemuka, mempunyai masalah yang serius dengan keimanan. Mereka mempelajari Islam bukan atas dasar keimanan, tetapi atas dasar ingin tahu atau keilmuan saja. Misal, mereka membicarakan masalah junub, tetapi apakah mereka pernah mandi junub, bahkan mungkin tidak menyakini kewajiban mandi junub. Mereka membicarakan, mengajarkan, dan bahkan mungkin berusaha menyakinkan seseorang dengan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut sebenarnya tidak pernah mereka menyakininya.
Dan bagi orang Islam yang belajar Islam kepada orang semacam mereka, apakah mereka akan menjadi objektif dalam mempelajri hukum Islam. Tentu saja tidak, kenapa, karena hukum Islam itu bukan sekedar masalah penilaian subjektif atau objektif, tetapi adalah masalah keimanan (perintah Tuhan). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, buat apa seseorang mempelajari Islam apabila tidak digunakan untuk menambah keimanan dalam menjalankan syariat. Apabila mengatakan dengan alasan objektifitas, objektifitas itu tidaklah diukur dengan cara belajar kepada orang yang tidak menyakini islam. objektifitas seharusya diukur dengan sebuah patokan, dan kemudian ketika muncul masalah dan berbagai pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat yang paling mendekati kepada patokan. Dan yang pantas untuk dijadikan sebagai patokan dalam Islam adalah Nabi Muhammad saw, para Shahabat, kemudia para Tabi’in (Generasi Salaf). Tidak logis kalau Islam munculnya di Timur Tengah, tetapi kita mencarinya di Barat.
Contoh orang yang objektif dalam berislam adalah, misal, seorang yang bermadhab Syafii, terbuka terhadap pemirikran madhab lain, sehingga ketika mendapai suatu hujjah yang digunakan madhab lain ternyata lebih kuat (rojih)dan lebih mendekati kepada rasul daripada yang digunakan Madhab Syafii, maka diapun menerimanya, karena, pada dasarnya, tak seorang ulama madhab pun yang berniat menyelisihi Rasulullah, sebagai patokan utama dalam Islam.

Read more...

ISLAM ABU-ABU

Perdebatan apakah Islam hanya mengurusi masalah akhirat saja atau juga mengurusi masalah dunia telah menjadi wacana yang serius untuk dicermati, karena dalam sejarah Islam sebenarnya tidak ada pemisahan antara agama dan Negara. Istilah theokrasi yang diartikan sebagai Negara agama di barat hanya tepat jika untuk menjelaskan Negara agama dalam terminology barat saja, seperti Negara gereja vatikan. Bentuk daulah atau khilafah Islamiyah tidak bisa disebut dengan nama Negara agama atau theokrasi dalam pengertian barat, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara konsep Negara gereja dan daulah atau khilafah Islamiyah.
Dalam Negara gereja, agama menjadi senjata untuk menjustifikasi keputusan-keputusan yang dibuat oleh gereja dan dianggap sebagai hukum, padahal gereja sebenarnya tidak punya referansi atau landasan jurisprudensi dari alkitab mengenai masalah tersebut, sebut saja masalah selibat. Semua keputusan gereja adalah atas nama agama; gereja adalah otoritas tunggal dalam menentukan benar atau salah terhadap sesuatu, sehingga gereja bisa bersifat semena (arbitrary) dalam menentukan suatu masalah.
Dalam Islam, konsep pembuatan hukum seperti di Negara gereja tidak dikenal, meski hukum yang dibuat diatasnamakan agama, tetapi dalam proses penentuannya harus berlandaskan suatu referensi utama yang disepakati bersama oleh umat Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah, sehingga hasil keputusan pemerintah Islam bisa dipertanggungjawabkan secara theologies.
Menurut Dr.Emad Eldin Shahin dalam disertasinya yang berjudul “Through Muslim Eyes: M Rashid Rida and The West” (1993) ada tiga golongan umat Islam, yaitu kelompok orthodox yang hanya membanggakan masa lalu umat Islam dan menolak apapun dari barat, yang kedua kelompok sekular yang menolak hukum Islam karena dianggap menghambat kemajuan dan berusaha mengadopsi nilai-nilai barat tanpa kritik, dan ketiga, kelompok reformis yang berusaha menghidupkan kembali kejayaan umat Islam dan bersedia mengadopsi nilai-nilai dari barat yang positif.
Untuk masyarakat muslim di Indonesia, perlu dibuat entitas baru lagi, yaitu kelompok tradisional dan progressif sekuler. Kedua kelompok ini berasal dari kultur yang berbeda, tetapi mempunyai pandangan yang sama mengenai formalisasi syariah Islam di Indonesia. Mereka menolak formalisasi syariah Islam dan hanya menginginkan agar umat Islam hanya mengadopsi nilai-nilai positif dari hokum Islam saja, seperti kasih sayang, persamaan dan keadilan. Meksipun mereka menolak formalisasi syariah Islam, tetapi mereka tetap menekankan pelaksanaan ritual Islam, bahkan sampai menjurus kepada bid’ah, meski tetap dilakukan dengan alasan budaya warisan. Biasanya yang berpandangan seperti ini adalah kalangan tradisional secular yang berasal dari organisasi dengan basis utama pesantren tradisional. Mereka pun tidak segan mendirikan partai dengan basis pendukung utamanya adalah masyarakat Islam meski mereka sendiri tidak memperjuangkan syariah Islam. Bahkan slogan dan symbol-simbol Islam pun sering diusung untuk meningkatkan daya tarik masyarakat.
Kelompok kedua adalah kelompok progressif sekuler. Mereka berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi dan cendekiawan. Phobia terhadap syariat Islam oleh kalangan ini disebabkan karena adanya sintesis terhadap pola pemikiran barat yang menganggap bahwa agama hanya akan menghambat kemajuan, yang mana pemikiran tersebut masuk melalui proses pendidikan. Menurut Peter School Latour, wartawan dan juga penulis kenamaan Jerman (Syafiq Basri, 1987), dengan menilik sejarah umat Islam pada masa lalu, adalah sangat mungkin bagi umat Islam untuk meraih kejayaannya lagi dengan manjadikan syariat Islam sebagai dasar Negara; barat tidak bisa mencerna pemikiran bahwa agama Islam dapat menjadi landasan kemajuan negara Islam karena tata cara dan tata nilainya sangat berbeda. Apabila peradaban Islam dapat unggul tanpa peraaban barat di masa lalu, kenapa tidak mungkin umat Islam mengulangi kejayaannya lagi tanpa kehadiran barat di masa kini.
Kejayaan umat Islam tidak boleh diukur dari kemajuan fisik semata, sebagaiman kejayaan barat sekarang ini. Nilai-nilai moral haruslah menjadi patokan utama, karena sekaya dan semodern apapun suatu bangsa dan Negara, apabila moralnya telah runtuh, seperti free sex, maka kehancurannya sudah dapat diperkirakan kapan terjadi, sebagaimana revolusi sex di amerika pada decade 60’an telah memberikan gambaran dengan jelas kehancuran masyarakat amerika, yang mana sekarang ini beragam penyakit telah terjadi di amerika, bahkan para pastor pelayan tuhan pun banyak yang terlibat pedophilia, bahkan incest pun banyak terjadi di keluarga di amerika. Bahkan di bidang ekonomi, inflansi di amerika telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, karena amerika semakin terdesak oleh produk Negara-negara industri dari Asia, seperti Korea, China, dan Jepang.
Proses sintesis terhadap pemikiran barat akan menjalar sampai bidang gaya hidup dan semua yang bersifat barat akan ditiru oleh para pemuja materialisme, padahal kemajuan barat bukanlah prestasi barat sendiri, tetapi juga sumbangsih peradaban-peradaban sebelumnya, termasuk peradaban Islam. Di Indonesia, yang terlibat dalam proses sintesis terhadap pemikiran barat bukan hanya dari kalangan yang berpendidikan barat saja, tetapi telah melebar sampai institusi pendidikan Islam. Apabila bebarapa decade silam yang terjadi hanya sintesis terhadap pemikiran dan ideology barat saja, sekarang bisa disaksikan bahwa umat Islam juga sudah mulai mengadopsi kemerosotan moral barat.
Salah satu bukti betapa gagalnya paham materialisme barat adalah meskipun banyak lulusan barat di Indonesia, bahkan banyak pula para pejabat atau ekonom lulusan barat di Indonesia, tetapi mereka tetap saja gagal memakmurkan Indonesia dan membebaskan dari kemiskinan dan hutang internasional. Paham materialisme memang mendorong manusia untuk leboh produktif dan kreatif, tetapi semua itu hanya ditujuakan untuk mencari keuntungan duniawi semata, bahkan bukan untuk kemaslahatan semua umat manusia, tetapi hanya untuk kelompok tertentu saja; meskipun barat mengagungkan persamaan hak dan kebebasan, eksploitasi ekonomi terhadap masyarakat tetap terjadi, terutama kepada para buruh.
Peradaban bersifat linier; suatu saat dapat mencapai puncak kejayaan, sedangkan di masa yang lain dapat mencapai titik terendah. Apabila sekarang ini peradaban barat sedang di puncak kejayaan dan peradaban Islam sedang berada di titik terendah, sangat mungkin apabila kondisi tersebut segera berubah 180 derajat. Apabila sekarang banyak cendekiawan muslim yang ragu-ragu terhadap Islam itu sendiri dan cenderung untuk mengadopsi pemikiran barat, yang mana hal tersebut berarti bahwa mereka tidak pernah belajar dari sejarah bahwa dulu peradaban barat, di era kegelapan (age of darkness) sebelum masa renaissance, mereka justru tanpa ragu-ragu berkiblat kepada peradaban Islam.
Para tokoh dan cendekiawan umat Islam bersifat tidak tegas dan setengah-setengah; di satu sisi mereka berusaha mempertahankan identitas keIslaman mereka dan mengangkat isu-isu keIslaman, tetapi mereka juga takut terhadap aplikasi syariah Islam secara komprehensif. Sudah tiba saatnya bagi semua umat Islam agar kembali menghidupkan kejayaan peradaban Islam dengan fondasi Islam, sedang untuk masalah sarana untuk meraih kejayaan, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada salahnya untuk mengadopsinya dari barat, sebagaimana barat dulu juga mengadopsi teknologi dan ilmu pengetahuan dari Islam. Syariat Islam dan teknologi dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, tetapi dapat menjadi sinergi untuk mewujudkan masyarakat madani (civilized society).

Read more...

JAM TANGAN AJAIB

>> Selasa, 29 September 2009

Kang Karjo memukul-mukul jam tangannya. Sepertinya jam tangannya tidak cocok. Ketika melihat jam dinding di mushola tadi, dia melihat ada selisih 12 menit, jam tangannya menunjukkan jam 12.10, tetapi jam dinding di mushola tempat dia biasa soal jamaah menunjuk pukul 12.22.

“Wah, gawat nih, kayaknya perlu ke reparasi untuk betulin jam. Besok ke pasar lah, cari tukang reparasi jam”, pikir Kang Karjo. Kang Karjo pun lantas mencocokkan kembali jam tangannya sesuai jam yang menempel di mushola.

Esok harinya, waktu subuh hari, jam tangannya semakin bertambah selisihnya dengan jam dinding yang ada di Mushola Al Ihsan yang terletak tak seberapa jauh dari rumahnya, cuma berselang 3 rumah saja. Jam dinding mushola menunjukkan jam 04.32. tetapi jam tangannya kembali menunjukkan pukul 04.28.

“Selisih enam menit lagi nih. Kok aneh, padahal kemarin suah tak cocokin”, bingung Kang Karjo memikirkan jam tangannya.

Akhirnya Kang Karjo memutuskan akan ke pasar mencari tukang reparasi jam tangan untuk membetulkan jam tangannya, sekalian jalan-jalan melihat-lihat pasar karena sudah lama tidak ke Pasar Pagi. Kang Karjo pun pulang selepas sembahyang subuh ke rumah buat mengganti sarungnya dengan celana panjang. Kang Karjo lantas mengeluarkan sepeda onthelnya buat pergi ke pasar pagi. Hari itu meruPakan hari pasaran, sehingga pasar akan ramai dikunjungi masyarakat yang hendak berbelanja kebuTuhan sehari-hari.

Tak berapa lama setelah mengayuh sepeda onthel kesayangannya, Kang Karjo sampai juga di pasar pagi. Setelah mencari tempat parkir buat sepedanya, Kang Karjo bergegas beranjak pergi mencari tukang reparasi jam. Pasar sudah semakin ramai sekarang. Dia ingat ketika masih kecil sering diajak maknya berbelanja ke pasar, jumlah pedagang yang berjualan mungkin masih hanya puluhan saja, itu mereka berjalan di pinggir jalan, karena jumlah bangunan toko dan kios saat itu tidak lebih dari sepuluh buah saja. Sekarang jumlahnya telah bertambah berlipat ganda. Ratusan kios yang berjajar selalu sesak dipenuhi pengunjung setiap pagi, padahal dulu pasar pagi ini hanya ramai pada hari pasaran Kliwon yang datang lima hari sekali saja.

Begitu sampai di sebuah kios reparasi jam, Kang Karjo melepas jam tangannya dan menyerahkannya kepada seorang tukang reparasi yang sudah uzur dan berkacamata tebal. Diberitahukannya perihal jam tangannya yang sudah mulai melambat gerak jarumnya sehingga tidak cocok lagi dengan jam yang lain.

“Wah, jam tangan ini sepertinya sudah berumur ya”, tukas tukang reparasi jam pada Kang Karjo.

“Ya begitulah Pak, jam warisan suwargi bapak”, Jawab Kang Karjo.

“Sebenarnya sih lebih baik beli yang baru saja. Kalo jam seperti ini yang pantas kalo tidak cocok lagi waktunya. Beli saja jam yang baru, murah, ini ada yang harganya Rp.20.000. atau ini, lebih bagus lagi, harganya Rp.60.000. Kalo jam ini sih, paling nanti lekas rusak lagi” ujar bapak tukang reparasi pada Kang Karjo.

“Wah masih sayang sama jam itu, peninggalan bapak saya dulu” Jawab Kang Karjo. Memang jam tersebut merupakan wArisan bapaknya, dia sayang buat menggantinya dengan jam tangan baru, apalagi yang modelnya baru, dia suka dengan jam tangan kuno seperti peninggalan bapaknya.

“Ya baiklah, tak usahakan”, bapak tukang reparasi jam pun mulai mengutak-utik jam tangan Kang Karjo. Tak berapa lama, sekitar 15 menit berselang selesai sudah jam tangan tadi diperbaiki. Bapak tukang reparasi pul melihat ke jam tangannya, dan kemudian mencocokkan jam tangan Kang Karjo dengan jam tangannya. Jam tangan pun diserahkan kembali kepada Kang Karjo.

“Berapa Pak”, Tanya Kang Karjo.

“Sepuluh ribu”.

“Terima kasih Pak, permisi, Assalamualaikum”.

Kang Karjo pun lekas pulang ke rumahnya dengan naik sepeda onthelnya dengan tergesan. Di lihatnya jam menunjuk pukul 7 pagi. Biasanya jam segitu dia sudah berangkat ke sawah dan Nanang, anaknya yang duduk di bangku kelas 5 SD sudah berangkat ke sekolah.

Ketika dalam perjalanan pulang ke rumah dan melintasi Mushola Al Ihsan, dilihatanya jam tangannya dan jam dinding di mushola. Terdapat selisih sekitar tiga menit. Jam tangannya menunjuk jam 07.20. Sedang jam dinding mushola menunjuk jam 07.23. Akhirnya dia pun mencocokkan kembali jam tangannya dengan jam dinding mushola.

“Mungkin bapak tadi kurang pas waktu menyetel jarumnya”, pikir Kang Karjo.

Setelah selesai mencocokkan jam tangannya, Kang Karjo pun bergegas pulang ke rumah, kemudian berganti baju dan membawa sabit pergi ke sawah. Banyak rumput yang tumbuh di sawah dan itu dapat mempengaruhi tanaman padinya, jadi harus dibersihkan.

Biasanya Kang Karjo pulang ke rumah sebelum Dhuhur. Setelah selesai memotong rumput hama di sawah, Kang Karjo melirik ke jam tangannya, jarum jamnya menunjuk pukul 10.30. Biasanya Kang Karjo pulang dari sawah jam 11.00, sehingga masih sempat buat melepas lelah sebentar sebelum Sholah Dhuhur. Tetapi karena pekerjaanya sudah selesai dan panas yang mulai menyengat, Kang Karjo pun memutuskan pulang lebih awal dari biasanya. Kang Karjo pun kemudian mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Memang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bagi warga di kampung Kang Karjo menggunakan sepeda ketika mereka bepergian, terutama ke sawah.

Ketika Kang Karjo pulang dan melintasi mushola al ihsan, dia menengok tak sengaja ke arah mushola dan melihat ke arah jam dinding yang di atas tempat imam sehingga terlihat siap saja dari luar mushola karena pintu mushola memang searah dengan tempat imam. Dia pun lantas melihat jam tangannya. Dia pun kaget, karena ternyata jam tangannya tidak sesuai lagi dengan jam dinding di mushola. Jam dinding di mushola sudah menunjuk pukul 10. 50 siang, sedang jam tangannya masih menunjuk jam 11.02. Selisih dua belas menit lagi, tetapi jam tangannya yang lebih dari jam dinding mushola sekarang.

Dia pun berpikir sejenak. Jam ini kan baru tadi pagi dibetulkan ke reparasi di pasar, apa mungkin rusak lagi, atau apa jam dinding itu yang rusak.

“Coba nanti lihat jam dinding rumah, apa jam tanganku juga tidak cocok dengan jam di ruang tamu”, pikir Kang Karjo.

Begitu sampai di rumah, yang pertama kali dituju adalah ruang tamu, karena hendak melihat jam dinding di rumahnya. Kang Karjo pun kaget, karena jam dinding d rumahnya menunjuk pukul 11. 00, sedang jam tangannya sudah menunjuk angka 11.08. Jadi selisih 6 menit, tetapi jam tangannya yang lebih. Kang Karjo pun heran, kenapa jam tangannya tidak cocok dengan jam dinding di rumah maupun di mushola.

Tak berapa lama dilihatnya Lek Parman melintasi depan rumahnya sepulang dari sawah, Kang Karjo melihat lek parman mempunyai jam tangan juga.

“Lek Parman, jam pinten sakniki”, Tanya Kang Karjo buat mengecek kecocokan jam tangannya lagi.

Saiki jam 11 luwih 10 menit” Jawab Lek Parman yang kemudian meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya yang hanya berjaran beberapa puluh meter saja.

“Jam 11.10 menit” kata Kang Karjo dalam hati, lalu dilihatnya jam tangannya lagi. Ternyata jam tangannya sudah menunjuk angka 11. 13, jadi terdapat selisih tiga menit lebih cepat dari jam tangan lek parman.

Kang Karjo pun heran, kenapa jam tangannya tidak cocok dengan jam dinding di rumahnya, di mushola, dan jam tangan tang lek parman.

“Assalamualaikum” ternyata si nanang, anak sulungnya sudah pulah dari sekolah.

Kok wis bali Nang” Tanya Kang Karjo, karena biasanya anaknya pulang selepas Dhuhur.

“Bu Guru katanya mau melayat Pak” Jawab nanang sambil melelatakkan tasnya di kursi di ruang tamu. Kang Karjo pun melihat nanang memiliki jam tang di tangannya.

“Jam berapa sekarang Nang” tanya Kang Karjo. Dia bertanya dalam hati apa jam tangannya akan berbeda dengan jam milik Nanang.

“Sekarang jam 11.15 Pak”, Jawabnya, lantas pergi ke belaKang. Kang Karjo pun melihat jam tangannya, jarum jam sudah menunjuk angka 11.16 lebih, tetapi belum 11.17. Selisih sekitar 1, 5 menit. Lalu di lihatnya jam dinding yang tergantung tak jauh dari tempatnya berdiri ternyata menunjuk ke angka 11.13 menit lebih sekian detik. Ternyata masih selisih 3 menit. Kang Karjo pun tambah heran, karena jam tangannya juga tidak cocok dengan jam tangan nanang, anaknya.

Kang Karjo pun bingung, jam tangannya mau dicocokkan dengan jam yang mana, karena tidak cocok dengan jam dinding mushola, jam dinding di rumahnya, jam tangan Lek Parman, dan jam tangan anaknya. Karena tidak mau ambil pusing, Kang Karjo pun lantas melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja. Dia pun pergi ke belakang buat mandi, karena badannya masih basah berkeringat, karena hari memang sedang panas-panasnnya.


Azhan Dhuhur sudah berkumandang. Kang Karjo yang sudah segar setelah mandi pun bergesa pergi ke mushola untuk sholat Dhuhur. Jam tangannya pun dipakainya kembali.

Sholat Dhuhur pun dilakukan dengan berjamaah, meski tak lebih dari sepuluh orang yang datang buat sholat hanya orang-orang yang sudah uzur dan Kang Karjo adalah jamaah tetap di Mushola Al Ihsan yang termuda. Padahal umurnya sudah mendekati 35 tahun. Sungguh sayang banyak yang mengaku Islam, tapi ke mushola saja jarang. Pergi ke mushola menunggu kalau sudah tua atau pensiun, sedang ketika masih sehat enggan untuk beribadah.

Selesai sholat, Kang Karjo pun berzikir, tetapi sebenarnya tidak khusyuk, karena dia sedang kepikiran terus dengan masalah jam tangannya yang tidak cocok dengan jam manapun. Bahkan sambil berzikir, masih sempat Kang Karjo melirik ke arah jam tangannya dan jam dinding yang tergantung di atasnya.

“Wah, kok sekarang tambah aneh saja”, bisik Kang Karjo dalam hati. Ternyata jam tangannya menunjukkan jam 12.30, sedang jam dinding sudah menunjuk jam 12.42. Terdapat selisih 12 menit lagi, seperti kemarin.

Sudah satu hari ini Kang Karjo mengalami beberapa kali peristiwa yang cukup aneh terkait dengan jam tangannya. Dipikirkannya berulang kali, bagaimana mungkin setiap dia melihat jam tangannya dan kemudian membandingkannya dengan jam lain tidak pernah menunjuk waktu yang sama persis.

Dilihatnya masih beberapa jamaah Sholat Dhuhur masih berzikir dengan tenangnya. Beberapa diantara mereka terlihat mengenakan jam tangan. Kang Karjo pun berniat bertanya kepada mereka menunjuk jam berapa jam tangan yang mereka kenakan.

“Jam berapa sekarang Kang”, Tanya Kang Karjo kepada Kang Sukri yang sudah selesai berzikir.

“Jam 12.39 sekarang” Jawab Kang Sukri singkat. Kang Karjo pun lantas melihat melihat jam tangannya.

“Selisih 9 menit dengan jam tanganku, coba kutanya yang lainnya” pikir Kang Karjo.

“Jam berapa sekarang Lek Sarjito”, Tanya Kang Karjo kepada Lek Sarjito yang duduk tepat di sebelah kanannya. Lek Sarjito pun lantas melihat jam tangannya.

“Jam 12.37” Jawab Lek Sarjito. Kang Karjo pun melihat jam tangannya yang ternyata menunjuk jam 12.31, sehingga berselisih 6 menit dengan jam Lek Sarjito. Kang Karjo pun semakin heran dengan bukan hanya jam tangannya, tetapi juga dengan jam tangan orang lain dan juga jam dinding yang ada di mushola dan di rumahnya.

Dilihatnya Pak Imam Ahmad juga mengenakan jam tangan. Diliriknya dengan serius. Ternyata menunjuk jam 12.34, sehingga terdapat selisih 3 menit dengan jam tangannya. Dia pun lantas berpikir serius, apabila jam tangannya tidak cocok dengan jam siapapun, berarti semua jam yang ada pun tidak ada yang sama.

“Lantas, sebenarnya jam punya siapa yang benar?” bingung Kang Karjo sendirian memikirkan jam tangannya dan juga jam yang lainnnya.

Kang Karjo pun berpikir lebih jauh lagi, kalau jam saja tidak cocok dengan jam yang ada di rumahnya, jam anaknya, jam tetangganya, dan jam milik jamaah mushola, lantas, bagaimana dengan jam milik orang sekampungnya, se Jawa, atau se Indonesia, atau bahkan sedunia.


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP