>> Rabu, 11 November 2009


Memang sulit untuk menentukan seberapa besarkah anggaran pendidikan yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Asumsi yang sering dipakai oleh pemerintah dan masyarakat awam kebanyak adalah semakin besar anggaran pendidikan, maka otomatis kualitas pendidikan juga akan semakin baik. Akan tetapi, fenomena seperti itu merupakan fenomena yang tidak berdasar karena dari prasangka saja, dan justru menunjukkan bagaimana sudah “sakitnya” pola pikir masyarakat kita karena uang atau materi lah yang digunakan sebagai tolak ukur kemajuan pendidikan (dan ini memang sebenarnya “selaras” dengan tujuan “materialis” para orang tua menyekolahkan anak agar setelah lulus mereka mendapatkan pekerjaan yang bagus dan bergaji tinggi). Memang tidak dapat dipungkir bahwa system pendidikan memerlukan dukungan finasial yang tidak sedikit, tetapi hal tersebut bukanlah berarti bahwa minimnya dana akan menghambat system pendidikan, karena masih banyak factor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Akan tetapi, salah satu fenomena yang semakin “menyakitkan” adalah dengan semakin menurunnya kualitas pendidikan apabila dibandingkan dengan besarnya biaya pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat (dari pemerintah pusat saja sebesar 20% dari total APBN atau sekitar 200 trilliun rupiah). Di jaman dahulu kala, ketika gaji guru, terutama yang berstatus PNS masih “pas-pasan”
atau rendah bila dibandingkan dengan profesi yang lain, alasan rendahnya gaji guru sering dijadikan sebagai alasan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah memang sudah menaikkan gaji guru, terutama yang berstatus PNS secara signifikan, dan bahkan memberikan tunjangan yang sangat-sangat signifikan bagi guru yang sudah lulus sertifikasi. Akan tetapi, fakta yang ada bertolak belakang dengan besarnya dana yang sudah dikucurkan.
Rendahnya kualitas pendidikan ini, dapat diukur dengan dua indicator sederhana, yaitu indicator makro dan mikro. Untuk indicator makro, kita bias melihat pada human development index dan bermacam hasil penelitian dari lembaga internasional mengenai kualitas pendidikan di berbagai Negara, dan seperti yang sudah sering dipublikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia biasanya berada di urutan “underdog” atau juru kunci.
Adapun untuk indicator mikro, ada beberapa hal atau fenomena yang dapat kita gunakan sebagai patokan. Contoh fenomena yang dapat digunakan sebagai indicator secara kasar antara lain, maraknya budaya tawuran antar pelajar, kebiasaan coret-coret baju dan konvoi untuk merayakan kelulusan anak-anak di sekolah menengah, dan banyaknya pengangguran yang berpendidikan tinggi. Tanpa perlu mengadakan atau bahkan membaca berbagai macam hasil penelitian yang rumit dan detail, masyarakat awam pun sebenarnya dapat menilai sendiri kualitas dunia pendidikan Indonesia, karena jelas bahwa maraknya budaya tawuran antar pelajar, kebiasaan coret-coret baju dan konvoi untuk merayakan kelulusan anak-anak di sekolah menengah, dan banyaknya pengangguran yang berpendidikan tinggi mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan, karena siswa yang berkualitas yang berasal dari system yang sehat mustahil akan merayakan kelulusannya dengan cara-cara yang “tidak beradab” seperti corat-coret baju, konvoi, bahkan sampai keblabasan ke perbuatan yang anarkis dan melanggar norma agama (free sex di kalangan siswa SMP dan SMA sudah nyata terjadi, paling tidak sudah sampai di tahap pre-marital sex yang dibuktikan dengan maraknya cd atau rekaman yang sudah tersebar luas di masyarakat).
Mungkin akan ada banyak ahli pendidikan atau pejabat yang tidak sepakat dengan pernyataan seperti diatas, tetapi bukankah fakta telah berbicara bahwa “semanis” apapun kata-kata para ahli dan pejabat mengenai “majunya” dunia pendidikan kita, tetapi secara umum fakta telah menampik secara terang-terangan hal tersebut. Sebagai contoh, walapun setiap tahun murid-murid dari Indonesia mendapatkan piala penghargaan dari berbagai event international, seperti olimpiade matematika dan fisika, tetapi jumlah siswa yang mendapatkan penghargaan seperti itu jelas tidak merepresentasikan kualitas jutaan siswa-siswa yang lain.
Indicator lain yang dapat digunakan adalah kepuasan masyarakat dan pandangan mereka terhadap kondisi para siswa secara umum, bukan secara personal. Apakah para orang tua sudah puas dengan kualitas dunia pendidikan (atau industri pendidikan) dan produknya? Apakah anggota masyarakat sudah puas dan gembira dengan sikap dan perilaku para siswa dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tempat umum? Apakah dunia usaha sudah menganggap bahwa para lulusan dunia pendidikan sudah siap kerja dan mempunyai cukup pengetahuan dan ketrampilan ketika mereka bekerja pertama kali? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut sudah kita ketahui bersama jawabannya bukan.
Siapakah yang akan disalahkan pertama kali dengan kondisi dari dunia pendidikan yang “tidak mengenakkan seperti ini”. Yang sering menjadi tertuduh pertama kali biasanya adalah para guru, meskipun sebenarnya hal tersebut tidak seratus persen benar. Guru memang pelaksana teknis kurikulum di lapangan pendidikan karena merekalah yang bersentuhan secara langsung dengan peserta didik, tetapi sebenarnya pemerintahlah, yang dalam hal ini diwakili oleh Depdiknas, yang bertanggung jawab dengan kurikulum itu sendiri, dan system pendidikan nasional secara keseluruhan tentunya. Sekolah sebagai institusi dan masyarakat umum, termasuk di dalamnya para orang tua atau wali murid juga tetap berpengaruh terhadap kualitas pendidikan, meski dengan dosis yang lebih kecil.
Meski hanya berperan sebagai pelaksana teknis di lapangan, tetapi gurulah yang sebenarnya benar-benar mengendalikan proses belajar-mengajar di kelas. Seandainya kurikulum yang digunakan di dunia pendidikan sudah berkualitas dan sesuai, dan para gurunya pun kreatif dan inovatif (mampu mengajar dengan baik), maka probabilitas untuk terjadinya peningkatan kualitas dunia pendidikan beserta alumninya semakin tinggi. Adapun sebaliknya, kemungkinan turunnya kualitas dunia pendidikan beserta produknya akan semakin tinggi apabila kurikulum dan pelaksana teknis kurikulum itu sendiri sudah tidak berkualitas. Akan tetapi, apabila kemungkinan terbaik sulit diraih, sedangkan kemungkinan terburuk pun harus dihindari, maka harus ada salah satu dari dua factor, yaitu guru dan kurikulum yang berada dalam kondisi yang bagus, seandainya kedua-keduanya tidak mungkin berada pada kondisi yang qualified, sebagaimana terjadi saat ini di Indonesia. Apabila kurikulum yang ada belum dapat memenuhi harapan yang ada, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkannya, maka langkah strategis dan tercepat yang dapat diambil untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas guru dengan membuat program-program upgrading kualitas, seperti pelatihan, seminar, dan lain-lain.
Sampai batas tertentu, kualitas guru tidak terbatasi dengan tinggi rendahnya.gaji, meskipun sampai batas tertentu pula gaji guru pun akan mempengaruhi kualitas kerjanya. Apabila batas tertentu, kualitas guru tidak terbatasi dengan tinggi rendahnya.gaji, dan sampai batas tertentu pula gaji guru pun akan mempengaruhi kualitas kerjanya, maka otomatis kualitas sekolah-sekolah dan institusi pendidikan yang lain pun sampai batas tidak terbatasi oleh minimnya dana, meskipun sampai batas tertentu kekuatan finansial memang mempengaruhi kualitas sekolah dan lembaga penyelenggara pendidikan; apabila apabila sampai batas tertentu kualitas sekolah dan penyelengara pendidikan tidak terbatasi oleh kekurangan kemampuan financial, maka secara umum dapat dikatakan bahwa kualitas system pendidikan nasional tidak terpengaruh oleh minimnya anggaran, meskipun sampai batas tertentu jumlah anggaran pendidikan dapat mempengaruhi kualitas pendidikan. Akan tetapi, jumlah anggaran pendidikan memang relatif, karena apabila penyelenggara pendidikan, mulai dari departemen pendidikan nasional hingga guru-guru ditawari kebebasan untuk menyebutkan jumlah anggaran yang ideal, “pasti” mereka akan meminta sebanyak mungkin, bahkan “kalau perlu” bukan saja 20% dari APBN, tapi semua uang negara alias 100% APBN untuk pendidikan saja. Karena kata “cukup” memilik bias interpretasi yang sangat luas, maka yang penting adalah “cukup”.


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP