BOS: Bantuan Operasional Sekolah atau Bom Ofensif di Sekolah?

>> Minggu, 11 Oktober 2009


Bantuan operasional sekolah, atau yang disingkat dengan nama BOS, yang pada awalnya merupakan kompensasi atas dinaikkannya harga BBM, merupakan berkah yang ditunggu oleh masyarakat pada awalnya, karena daa yang cukup besar ini akan diberikan “cuma-cuma” kepada sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta untuk pengembangan kualitas mereka. Bahkan di kelanjutan program dana BOS ini akhirnya beralih menjadi sekolah gratis pada jenjang sekolah dasar dan menengah terutama sekolah negeri, dengan perkecualian sekolah RSBI dan SSN. Banyak sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah dasar dan MI swasta di lingkungan marjinal pun ikut-ikutan melakukan penggratisan dengan terpaksa, karena khawatir kehilangan murid karena para orang tua murid, terutama dari kalangan menengah ke bawah memang maunya menyekolahkan sekolah di tempat yang gratis (terutama seperti di sekolah negeri). Padahal dana bos tersebut jumlahnya nominalnya dihitung berdasarkan jumlah anak, dan setiap anak SD atau MI di perkotaan “hanya” dijatah Rp 33.000,00 per bulannya mulai tahun 2009 (sedang jumlah pada tahun sebelumnya hanya Rp. 21.000,00 per anak per bulan), sehingga semakin banyak jumlah murid, maka dana bos yang akan diterima sekolah tersebut akan semakin “banyak”. Kata banyak di konteks ini sangat layak diberi catatan, karena kata banyak di sini tidak berkonotasi dengan kata “layak” apalagi “cukup” apabila mengac pada Upah Minimum Regional sebagai standar penggajian.

Karena terpaksa melakukan penggratisan, akibatnya adalah sekolas swasta menjadi tidak punya sumber pemasukan untuk menggaji guru maupun biaya operasional selain dari dana BOS. Apabila suatu sekolah dasar atau MI swasta hanya mempunyai 150 murid, maka sekolah tersebut akan hanya mendapatkan jatah dana BOS bulanan sebesar Rp.4.950.000,00 yang akan diberikan setiap tiga bulan sekali. Apabila sekolah tersebut mempunyai 6 orang guru kelas, satu guru olahraga, satu guru agama, satu pegawai TU, satu pegawai kebersihan, dan satu kepala sekolah, maka ada sebelas orang yang harus mendapatkan gaji setiap bulannya, padahal sekolah sendiri juga pasti membutuhkan dana operasional yang cukup besar untuk menjamin kenyamanan keberlangsungan proses belajar mengajar (seperti biaya membeli alat tulis, buku, kebersihan, listrik, air, dan lain-lain), dapat dibayangkan berapa berapa gaji yang akan diterima oleh para guru (guru hanya akan menerima tidak lebih dari 400 ribu per bulan), dan itupun harus dikelola dengan cermat sekali, mengingat dana BOS hanya cair tiga bulan sekali. Seadainya jumlah murid yang ada kurang dari itu, maka otomatis jumlah dana BOS yang akan diterima pun akan berkurang, sehingga dapat kita bayangkan sendiri berapa jumlah gaji yang akan mereka terima, sungguh jauh dari kata layak, terlebih apabila kita memperhatikan tingginya harga barang dan jasa saat ini. Bahkan sampai saat ini masih ada guru yang gajinya tidak lebih dari Rp.200.000. Memang benar bahwa sampai batas tertentu jumlah gaji tidak akan mempengaruhi kualitas guru, akan tetapi apabila jumlah gaji yang diterima sudah sangat keterlaluan seperti ini, bagaimana mungkin mereka mempertahankan kualitas kerja mereka, sementara mereka sulit berkosentrasi dan harus mencari sumber tambahan penghasilan lain yang juga menuntut pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit karena kebutuhan hidup sehari-hari sulit terpenuhi dengan layak apabila hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar semata.

Secara sekilas, dana BOS memang meringankan beban para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka, tetapi di sisi yang lain kualitas pendidikan justru menjadi taruhannya, apalagi sebagian besar sekolah di Indonesia masih menitikberatkan pada pengetahuan kognitif. Kegiatan-kegiatan yang sebenarnya sangat menunjang perkembangan kepribadian anak memang belum menjadi prioritas utama system pendidikan di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi apabila anak yang dianggap pandai adalah adalah anak yang pintar dalam mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan lain-lain yang membutuhkan daya ingat yang bagus, sedang anak-anak yang terampil dalam berbagai bidang yang tidak membutuhkan memory yang kuat, tetapi imajinasi, terutama yang di masukkan dalam ekstrakurikuler seperti musik, olahraga, menggambar tidak mendapatan penghargaan dan tanggapan yang semestinya.

Penggunaan dana BOS memang masih belum diarahkan untuk kegiatan yang bersifat pengembangan diri, tetapi masih diarahkan ke pembangunan fisik dan subsidi biaya operasional pendidikan (peringanan atau penggratisan SPP, yang muaranya adalah juga sumber penggajian guru). Kalau sekolah tidak boleh menarik sumbangan dana dari para orang tua, maka nasib kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pengembangan dirilah yang terancam, karena pembiayaannya menjadi terbatas atau bahkan tidak mendapatkan biaya sama sekali. Pendidikan yang hanya bersifat kognitif bukanlah pendidikan yang ideal, meskipun hal tersebut merupakan salah satu yang harus ada.

Program pengembangan diri, terutama program ekstrakurikuler, seperti bela diri, musik, robot, teater, English, math club, seni, pecinta alam, dan lain-lain, merupakan salah satu wahana untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang sering kali belum tertampung di ruang-ruang kelas kognitif. Program-program pengembangan diri tersebut erat kaitannya dengan pengembangan kompetensi kecakapan hidup life skill, soft skill, dan social skill anak-anak, yang mana pada akhirnya pada banyak kasus ternyata life skill, soft skill, dan social skill lah yang lebih banyak berperan dalam kesuksesan di dunia kerja dan masyarakat, bukan hard skill yang didapatkan dari kelas-kelas kognitif (Muchlas Samani. Menggagas Pendidikan Bermakna: 17). Bahkan apabila life skill, soft skill, dan dan social skill ini apabila dikaitkan lebih dalam dengan multiple intelligence-nya Howard Gardner, akan ditemukan peta bagaimana luasnya potensi, bahkan, dan minat anak-anak yang belum dimaksimalkan, malah memory hard disk mereka lebih banyak “dijejali” dengan hal-hal yang tidak mereka sukai dan bahkan mungkin sekali tidak akan banyak berguna ketika mereka berada di lingkungan kerja atau masyarakat nanti, padahal salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan para peserta didik agar siap berkarya di lingkungan kerja dan masyarakat.

Konon katanya, sebagaimana yang tertulis dalam pedoman mengenai KTSP (secara teoritis):

“pengembangan diri dalam KTSP bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi (dibimbing dan dinilai) oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang diberi tugas.

Kegiatan pengembangan diri dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik serta kegiatan pengembangan kreativitas peserta didik baik melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk aktivitas seperti kepramukaan, KIR, keolahragaan, kesehatan, dll.

Aspek yang dinilai dalam kegiatan pengembangan diri lebih dominan pada aspek apektif peserta didik, yang difokuskan pada pencapaian prestasi dan perubahan sikap atau perilaku peserta didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh sekolah.”

Akan tetapi fakta memang seringkali lain dengan idealisme, terlebih lain jika idealisme yang dibuat sekedar untuk idealisme-idealismean, tidak berdasarkan itikad baik, tetapi sebagai basa-basi semata, agar pantas dibaca.

Apabila dengan adanya dana bos, yang notabene adalah penggratisan pendidikan, malah mengancam kualitas dunia pendidikan itu sendiri, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan dengan masak-masak setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pelaksanaan program BOS dan sekolah gratis tidaklah semudah dan sesederhana yang seperti diiklankan di TV oleh depdiknas, masih banyak kendala social budaya yang menghalanginya, sebagai contoh masih adanya pungutan sukarela tapi wajib bagi para orang tua murid.

Jangan sampai masyarakat terlena dalam jangka pendek dengan adanya pendidikan gratis, tetapi dalam jangka panjang ternyata anak-anaklah yang menjadi korbannya. Konsep pendidikan “gratis” dengan adanya dana bos yang sepertinya hanya “mengejar” dana pendidikan yang luar biasa besarnya itu segera habis tak bersisa dalam satu tahun anggaran, sepertinya belum saatnya dilaksanakan sekarang ini, meski pemerintahlah yang memutuskan. Paling tidak, konsep pendidikan murah atau paling tidak masih melibatkan orang tua dalam pertanggungan dana operasional sekolah dan melalukna penurunan jumlahnya setiap tahun meskipun dalam jumlah yang terbatas akan mempunyai efek yang lebih baik daripada proses penggratisan yang terlalu cepat, karena masyarakat belum siapa secara mental dan psikologis untuk menerimnya, meskipun nampaknya mereka menyambutnya dengan gembira karena keterbatasan informasi dan pengetahuan.



Bantuan operasional sekolah, atau yang disingkat dengan nama BOS, yang pada awalnya merupakan kompensasi atas dinaikkannya harga BBM, merupakan berkah yang ditunggu oleh masyarakat pada awalnya, karena daa yang cukup besar ini akan diberikan “cuma-cuma” kepada sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta untuk pengembangan kualitas mereka. Bahkan di kelanjutan program dana BOS ini akhirnya beralih menjadi sekolah gratis pada jenjang sekolah dasar dan menengah terutama sekolah negeri, dengan perkecualian sekolah RSBI dan SSN. Banyak sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah dasar dan MI swasta di lingkungan marjinal pun ikut-ikutan melakukan penggratisan dengan terpaksa, karena khawatir kehilangan murid karena para orang tua murid, terutama dari kalangan menengah ke bawah memang maunya menyekolahkan sekolah di tempat yang gratis (terutama seperti di sekolah negeri). Padahal dana bos tersebut jumlahnya nominalnya dihitung berdasarkan jumlah anak, dan setiap anak SD atau MI di perkotaan “hanya” dijatah Rp 33.000,00 per bulannya mulai tahun 2009 (sedang jumlah pada tahun sebelumnya hanya Rp. 21.000,00 per anak per bulan), sehingga semakin banyak jumlah murid, maka dana bos yang akan diterima sekolah tersebut akan semakin “banyak”. Kata banyak di konteks ini sangat layak diberi catatan, karena kata banyak di sini tidak berkonotasi dengan kata “layak” apalagi “cukup” apabila mengac pada Upah Minimum Regional sebagai standar penggajian.

Karena terpaksa melakukan penggratisan, akibatnya adalah sekolas swasta menjadi tidak punya sumber pemasukan untuk menggaji guru maupun biaya operasional selain dari dana BOS. Apabila suatu sekolah dasar atau MI swasta hanya mempunyai 150 murid, maka sekolah tersebut akan hanya mendapatkan jatah dana BOS bulanan sebesar Rp.4.950.000,00 yang akan diberikan setiap tiga bulan sekali. Apabila sekolah tersebut mempunyai 6 orang guru kelas, satu guru olahraga, satu guru agama, satu pegawai TU, satu pegawai kebersihan, dan satu kepala sekolah, maka ada sebelas orang yang harus mendapatkan gaji setiap bulannya, padahal sekolah sendiri juga pasti membutuhkan dana operasional yang cukup besar untuk menjamin kenyamanan keberlangsungan proses belajar mengajar (seperti biaya membeli alat tulis, buku, kebersihan, listrik, air, dan lain-lain), dapat dibayangkan berapa berapa gaji yang akan diterima oleh para guru (guru hanya akan menerima tidak lebih dari 400 ribu per bulan), dan itupun harus dikelola dengan cermat sekali, mengingat dana BOS hanya cair tiga bulan sekali. Seadainya jumlah murid yang ada kurang dari itu, maka otomatis jumlah dana BOS yang akan diterima pun akan berkurang, sehingga dapat kita bayangkan sendiri berapa jumlah gaji yang akan mereka terima, sungguh jauh dari kata layak, terlebih apabila kita memperhatikan tingginya harga barang dan jasa saat ini. Bahkan sampai saat ini masih ada guru yang gajinya tidak lebih dari Rp.200.000. Memang benar bahwa sampai batas tertentu jumlah gaji tidak akan mempengaruhi kualitas guru, akan tetapi apabila jumlah gaji yang diterima sudah sangat keterlaluan seperti ini, bagaimana mungkin mereka mempertahankan kualitas kerja mereka, sementara mereka sulit berkosentrasi dan harus mencari sumber tambahan penghasilan lain yang juga menuntut pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit karena kebutuhan hidup sehari-hari sulit terpenuhi dengan layak apabila hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar semata.

Secara sekilas, dana BOS memang meringankan beban para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka, tetapi di sisi yang lain kualitas pendidikan justru menjadi taruhannya, apalagi sebagian besar sekolah di Indonesia masih menitikberatkan pada pengetahuan kognitif. Kegiatan-kegiatan yang sebenarnya sangat menunjang perkembangan kepribadian anak memang belum menjadi prioritas utama system pendidikan di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi apabila anak yang dianggap pandai adalah adalah anak yang pintar dalam mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan lain-lain yang membutuhkan daya ingat yang bagus, sedang anak-anak yang terampil dalam berbagai bidang yang tidak membutuhkan memory yang kuat, tetapi imajinasi, terutama yang di masukkan dalam ekstrakurikuler seperti musik, olahraga, menggambar tidak mendapatan penghargaan dan tanggapan yang semestinya.

Penggunaan dana BOS memang masih belum diarahkan untuk kegiatan yang bersifat pengembangan diri, tetapi masih diarahkan ke pembangunan fisik dan subsidi biaya operasional pendidikan (peringanan atau penggratisan SPP, yang muaranya adalah juga sumber penggajian guru). Kalau sekolah tidak boleh menarik sumbangan dana dari para orang tua, maka nasib kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pengembangan dirilah yang terancam, karena pembiayaannya menjadi terbatas atau bahkan tidak mendapatkan biaya sama sekali. Pendidikan yang hanya bersifat kognitif bukanlah pendidikan yang ideal, meskipun hal tersebut merupakan salah satu yang harus ada.

Program pengembangan diri, terutama program ekstrakurikuler, seperti bela diri, musik, robot, teater, English, math club, seni, pecinta alam, dan lain-lain, merupakan salah satu wahana untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang sering kali belum tertampung di ruang-ruang kelas kognitif. Program-program pengembangan diri tersebut erat kaitannya dengan pengembangan kompetensi kecakapan hidup life skill, soft skill, dan social skill anak-anak, yang mana pada akhirnya pada banyak kasus ternyata life skill, soft skill, dan social skill lah yang lebih banyak berperan dalam kesuksesan di dunia kerja dan masyarakat, bukan hard skill yang didapatkan dari kelas-kelas kognitif (Muchlas Samani. Menggagas Pendidikan Bermakna: 17). Bahkan apabila life skill, soft skill, dan dan social skill ini apabila dikaitkan lebih dalam dengan multiple intelligence-nya Howard Gardner, akan ditemukan peta bagaimana luasnya potensi, bahkan, dan minat anak-anak yang belum dimaksimalkan, malah memory hard disk mereka lebih banyak “dijejali” dengan hal-hal yang tidak mereka sukai dan bahkan mungkin sekali tidak akan banyak berguna ketika mereka berada di lingkungan kerja atau masyarakat nanti, padahal salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan para peserta didik agar siap berkarya di lingkungan kerja dan masyarakat.

Konon katanya, sebagaimana yang tertulis dalam pedoman mengenai KTSP (secara teoritis):

“pengembangan diri dalam KTSP bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi (dibimbing dan dinilai) oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang diberi tugas.

Kegiatan pengembangan diri dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik serta kegiatan pengembangan kreativitas peserta didik baik melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk aktivitas seperti kepramukaan, KIR, keolahragaan, kesehatan, dll.

Aspek yang dinilai dalam kegiatan pengembangan diri lebih dominan pada aspek apektif peserta didik, yang difokuskan pada pencapaian prestasi dan perubahan sikap atau perilaku peserta didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh sekolah.”

Akan tetapi fakta memang seringkali lain dengan idealisme, terlebih lain jika idealisme yang dibuat sekedar untuk idealisme-idealismean, tidak berdasarkan itikad baik, tetapi sebagai basa-basi semata, agar pantas dibaca.

Apabila dengan adanya dana bos, yang notabene adalah penggratisan pendidikan, malah mengancam kualitas dunia pendidikan itu sendiri, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan dengan masak-masak setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pelaksanaan program BOS dan sekolah gratis tidaklah semudah dan sesederhana yang seperti diiklankan di TV oleh depdiknas, masih banyak kendala social budaya yang menghalanginya, sebagai contoh masih adanya pungutan sukarela tapi wajib bagi para orang tua murid.

Jangan sampai masyarakat terlena dalam jangka pendek dengan adanya pendidikan gratis, tetapi dalam jangka panjang ternyata anak-anaklah yang menjadi korbannya. Konsep pendidikan “gratis” dengan adanya dana bos yang sepertinya hanya “mengejar” dana pendidikan yang luar biasa besarnya itu segera habis tak bersisa dalam satu tahun anggaran, sepertinya belum saatnya dilaksanakan sekarang ini, meski pemerintahlah yang memutuskan. Paling tidak, konsep pendidikan murah atau paling tidak masih melibatkan orang tua dalam pertanggungan dana operasional sekolah dan melalukna penurunan jumlahnya setiap tahun meskipun dalam jumlah yang terbatas akan mempunyai efek yang lebih baik daripada proses penggratisan yang terlalu cepat, karena masyarakat belum siapa secara mental dan psikologis untuk menerimnya, meskipun nampaknya mereka menyambutnya dengan gembira karena keterbatasan informasi dan pengetahuan.


2 komentar:

Anonim 14 Oktober 2009 pukul 07.28  

setahu aku dana BOS tidak boleh untuk penggajian tetapi untuk kegiatan operasional,pembelian buku,pengadaan sarana,dan pembayaran rekening yang rutin spt telp,listrik air,jadi tidak langsung untuk kesejahteraan guru,arahnya lebih ke pemerataan kesempatan didik dan membantu biaya pendidikan bagi anak yang (menganggap dirinya)kurang mampu.Intinya MEMANG dana BOS tidak bisa diharapkan dapat menngkatkan kesejahteraan pendidik.Bagi pendidik ada jalur lain yaitu sertifikasi....saya kira begitu....

munirmisbakhul 23 Oktober 2009 pukul 06.32  

memang seharusnya begitu, tetapi kan fakta lapangan lain sekali.banyak sekolah yang langsung kehilangan sumber gaji guru. emang teori and fakta sering lain

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP