LEARNING FOR THE TEST, NOT LEARNING FOR THE LIVING

>> Minggu, 11 Oktober 2009


Kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ternyata luput dari sasaran dunia pendidikan, karena pendidikan di Indonesia tidak ditujukan untuk menyempurnakan kualitas hidup dan mengatasi masalah-masalah yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan mengolah dan memanfaatkan kekayaannya sumber daya alamnya, akan tetapi malah ditujukan untuk mengejar tuntutan yang berwujud nilai minimal sebagai standar kelulusan.

Memang menetapkan suatu angka sebagai standar minimal untuk kelulusan bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi yang paling buruk apabila proses pendidikan sudah ditujukan untuk menghadapi ujian semata, bukan lagi untuk menghadapi kehidupan nyata (learning for the test, not learning for the living). Empat pilar belajar yang direkomendasikan oleh komisi internasional UNESCO merupakan pilar yang ideal bagi Negara yang system pendidikannya belum mantap dan didera dengan beragam masalah seperti Indonesia. Keempat pilar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. learning to know (belajar untuk mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu pengetahuan)

  2. learning to do (belajar bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan)

  3. learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan

  4. learning to be (belajar menjadi manusia seutuhnya yang ilmiah dan mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari)

Fenomena melencengnya system pendidikan nasional dari arah yang seharusnya (sebagai problem solver and knowledge facilitator) bisa dilihat dengan semakin maraknya lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai macam strategi dan solusi belajar untuk menjawab soal ujian secara cepat dan praktis. Terlepas dari nilai positif yang dibawa oleh lembaga bimbingan belajar, tetapi yang tidak bisa dipungkiri adalah, pertama, system pengajaran di sekolah tidak menerapkan system belajar yang tuntas, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja. Apabila para pengajar di sekolah sudah menerapkan pengajaran yang benar-benar tuntas, tentunya para murid tidak perlu lagi harus mengiktui jam pelajaran tambahan di luar sekolah sepulang sekolah. Kedua, system pendidikan formal (sekolah) belum mampu untuk memenuhi tuntutan konsumen pendidikan (orang tua, dunia kerja, dan para pelajar) dan terjebak dalam perlombaan untuk mencari status, seperti akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional. Memang di satu sisi, akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional menunjukkan kualitas sekolah tersebut, tetapi di sisi yang lain malah menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, secara sekilas, sekolah yang berstandar internasional justru malah menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar berstandar internasional? Siapakah yang menyatakan atau mensertifikasi staandar internasional mereka? Apakah yang mensertifikasi sekolah dengan standar internasional adalah lembaga yang bonafid atau lembaga penjamin mutu pendidikan yang terpercaya atau sekedar tempelan semata karena pesanan pihak tertentu?

Contoh kasus rumah sakit di Indonesia patut menjadi referensi kasus. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang berani menempelkan embel-embel internasional di belakang nama rumah sakit mereka (ingat kasus ibu prita dan rumah sakit OMNI internasional), tetapi ternyata hanya satu atau dua rumah sakit saja di seluruh Indonesia yang benar-benar sudah disertifikasi oleh lembaga internasional yang bonafid di bidang kesehatan, sedangkan selebihnya hanya menempelkan embel-emebel internasional karena pesanan dari pemilik saham dan dengan tujuan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Mengingat buruknya ranking human development index-nya Indonesia, adalah sangat ironis apabila kita melihat banyak sekolah di Indonesia yang merasa sudah berkualitas internasional hanya karena sudah mampu membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Padahal sekolah yang membuka kelas akselerasi atau kelas internasional belum lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah yang tidak membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Di negara-negara yang system pendidikannya sudah maju dan mapan, Singapore misalnya, mereka tidak mengenal variasi standarisasi kualitas sekolah seperti di Indonesia.

Memang benar bahwa standarisasi kualitas itu perlu, karena tanpa adanya proses standarisasi, maka kualiats pendidikan kita menjadi sulit diukur yang mana akibatnya usaha pengembangan kualitas menjadi tidak terarah, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah proses standarisasi pendidikan yang mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah ketimpangan kualitas sekolah yang sangat mencolok. Ketimpangan kualitas sekolah di Indonesia yang paling nyata adalah kualitas sekolah swasta. Sebagian besar sekolah yang terletak di daerah pinggiran dan benar-benar terpinggirkan adalah sekolah milik swasta. Kualitas bangunan fisik hingga pengajar dan alat belajar masih jauh dari layak atau memadai. Akan tetapi, sekolah-sekolah yang mewah dan unggul secara prestasi akademik dan non akamedik di kota-kota besar pun sebagian besar di dominasi oleh sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri yang menerapkan biaya yang cukup mahal.

Apakah layak jika ada perbedaan kualitas sekolah di mana anak-anak dari daerah pinggiran yang miskin dan sekolah-sekolah elit bersekolah? Bukankah mereka sama-sama putra-putri bangsa Indonesia yang sama-sama berhak untuk mencicipi pendidikan yang berkualitas. Memang perbedaan kualitas sekolah memang sesuatu yang perlu, bahkan mungkin harus ada, tetapi perbedaan tersebut haruslah melalui proses yang alami, yaitu berdasarkan pemanfaatan sumber daya dan potensi yang ada, bukan melalui proses yang sudah dipaksakan sejak awal dengan sengaja. Tanpa adanya perbedaan kualitas sekolah, maka hal tersebut justru akan mematikan banyak potensi peserta didik, karena yang perlu diingat adalah bahwa meskipun setiap anak memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi setiap anak dibekali oleh Tuhan dengan beragam bakat dan minat yang berbeda-beda.

Konsep multi-intelligence oleh Howard Gardner patut direkomendasikan sebagai acuan dalam pengembangan kualitas personal anak berdasarkan potensinya masing-masing, dan sampai tahap tertentu juga dapat diterapkan untuk mengembangkan kualitas sekolah atau lembaga yang memiliki spesifikasi pada bidang tertentu, seperti sekolah-sekolah kejuruan, pusat latihan olahraga (training center), dan lembaga pengembangan bakat dan minat seperti sanggar seni. Pada lembaga yang sudah bersifat kejuruan, spesifik pada minat bakat tertentu, adalah sia-sia apabila anak-anak masih harus mempelajari semua hal; lebih baik anak-anak difokuskan pada 1 kecerdasan utama dan 2 atau 3 kecerdasan lain sebagai pemberi nilai atau skill lebih. Berikut adalah kedelapan multi-intelligence yang dirumuskan oleh Howard Gardner.


Linguistic intelligence ("word smart"):

Logical-mathematical intelligence ("number/reasoning smart")

Spatial intelligence ("picture smart")

Bodily-Kinesthetic intelligence ("body smart")

Musical intelligence ("music smart")

Interpersonal intelligence ("people smart")

Intrapersonal intelligence ("self smart")

Naturalist intelligence ("nature smart")



Kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ternyata luput dari sasaran dunia pendidikan, karena pendidikan di Indonesia tidak ditujukan untuk menyempurnakan kualitas hidup dan mengatasi masalah-masalah yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan mengolah dan memanfaatkan kekayaannya sumber daya alamnya, akan tetapi malah ditujukan untuk mengejar tuntutan yang berwujud nilai minimal sebagai standar kelulusan.

Memang menetapkan suatu angka sebagai standar minimal untuk kelulusan bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi yang paling buruk apabila proses pendidikan sudah ditujukan untuk menghadapi ujian semata, bukan lagi untuk menghadapi kehidupan nyata (learning for the test, not learning for the living). Empat pilar belajar yang direkomendasikan oleh komisi internasional UNESCO merupakan pilar yang ideal bagi Negara yang system pendidikannya belum mantap dan didera dengan beragam masalah seperti Indonesia. Keempat pilar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. learning to know (belajar untuk mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu pengetahuan)

  2. learning to do (belajar bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan)

  3. learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan

  4. learning to be (belajar menjadi manusia seutuhnya yang ilmiah dan mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari)

Fenomena melencengnya system pendidikan nasional dari arah yang seharusnya (sebagai problem solver and knowledge facilitator) bisa dilihat dengan semakin maraknya lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai macam strategi dan solusi belajar untuk menjawab soal ujian secara cepat dan praktis. Terlepas dari nilai positif yang dibawa oleh lembaga bimbingan belajar, tetapi yang tidak bisa dipungkiri adalah, pertama, system pengajaran di sekolah tidak menerapkan system belajar yang tuntas, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja. Apabila para pengajar di sekolah sudah menerapkan pengajaran yang benar-benar tuntas, tentunya para murid tidak perlu lagi harus mengiktui jam pelajaran tambahan di luar sekolah sepulang sekolah. Kedua, system pendidikan formal (sekolah) belum mampu untuk memenuhi tuntutan konsumen pendidikan (orang tua, dunia kerja, dan para pelajar) dan terjebak dalam perlombaan untuk mencari status, seperti akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional. Memang di satu sisi, akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional menunjukkan kualitas sekolah tersebut, tetapi di sisi yang lain malah menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, secara sekilas, sekolah yang berstandar internasional justru malah menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar berstandar internasional? Siapakah yang menyatakan atau mensertifikasi staandar internasional mereka? Apakah yang mensertifikasi sekolah dengan standar internasional adalah lembaga yang bonafid atau lembaga penjamin mutu pendidikan yang terpercaya atau sekedar tempelan semata karena pesanan pihak tertentu?

Contoh kasus rumah sakit di Indonesia patut menjadi referensi kasus. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang berani menempelkan embel-embel internasional di belakang nama rumah sakit mereka (ingat kasus ibu prita dan rumah sakit OMNI internasional), tetapi ternyata hanya satu atau dua rumah sakit saja di seluruh Indonesia yang benar-benar sudah disertifikasi oleh lembaga internasional yang bonafid di bidang kesehatan, sedangkan selebihnya hanya menempelkan embel-emebel internasional karena pesanan dari pemilik saham dan dengan tujuan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Mengingat buruknya ranking human development index-nya Indonesia, adalah sangat ironis apabila kita melihat banyak sekolah di Indonesia yang merasa sudah berkualitas internasional hanya karena sudah mampu membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Padahal sekolah yang membuka kelas akselerasi atau kelas internasional belum lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah yang tidak membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Di negara-negara yang system pendidikannya sudah maju dan mapan, Singapore misalnya, mereka tidak mengenal variasi standarisasi kualitas sekolah seperti di Indonesia.

Memang benar bahwa standarisasi kualitas itu perlu, karena tanpa adanya proses standarisasi, maka kualiats pendidikan kita menjadi sulit diukur yang mana akibatnya usaha pengembangan kualitas menjadi tidak terarah, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah proses standarisasi pendidikan yang mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah ketimpangan kualitas sekolah yang sangat mencolok. Ketimpangan kualitas sekolah di Indonesia yang paling nyata adalah kualitas sekolah swasta. Sebagian besar sekolah yang terletak di daerah pinggiran dan benar-benar terpinggirkan adalah sekolah milik swasta. Kualitas bangunan fisik hingga pengajar dan alat belajar masih jauh dari layak atau memadai. Akan tetapi, sekolah-sekolah yang mewah dan unggul secara prestasi akademik dan non akamedik di kota-kota besar pun sebagian besar di dominasi oleh sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri yang menerapkan biaya yang cukup mahal.

Apakah layak jika ada perbedaan kualitas sekolah di mana anak-anak dari daerah pinggiran yang miskin dan sekolah-sekolah elit bersekolah? Bukankah mereka sama-sama putra-putri bangsa Indonesia yang sama-sama berhak untuk mencicipi pendidikan yang berkualitas. Memang perbedaan kualitas sekolah memang sesuatu yang perlu, bahkan mungkin harus ada, tetapi perbedaan tersebut haruslah melalui proses yang alami, yaitu berdasarkan pemanfaatan sumber daya dan potensi yang ada, bukan melalui proses yang sudah dipaksakan sejak awal dengan sengaja. Tanpa adanya perbedaan kualitas sekolah, maka hal tersebut justru akan mematikan banyak potensi peserta didik, karena yang perlu diingat adalah bahwa meskipun setiap anak memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi setiap anak dibekali oleh Tuhan dengan beragam bakat dan minat yang berbeda-beda.

Konsep multi-intelligence oleh Howard Gardner patut direkomendasikan sebagai acuan dalam pengembangan kualitas personal anak berdasarkan potensinya masing-masing, dan sampai tahap tertentu juga dapat diterapkan untuk mengembangkan kualitas sekolah atau lembaga yang memiliki spesifikasi pada bidang tertentu, seperti sekolah-sekolah kejuruan, pusat latihan olahraga (training center), dan lembaga pengembangan bakat dan minat seperti sanggar seni. Pada lembaga yang sudah bersifat kejuruan, spesifik pada minat bakat tertentu, adalah sia-sia apabila anak-anak masih harus mempelajari semua hal; lebih baik anak-anak difokuskan pada 1 kecerdasan utama dan 2 atau 3 kecerdasan lain sebagai pemberi nilai atau skill lebih. Berikut adalah kedelapan multi-intelligence yang dirumuskan oleh Howard Gardner.


Linguistic intelligence ("word smart"):

Logical-mathematical intelligence ("number/reasoning smart")

Spatial intelligence ("picture smart")

Bodily-Kinesthetic intelligence ("body smart")

Musical intelligence ("music smart")

Interpersonal intelligence ("people smart")

Intrapersonal intelligence ("self smart")

Naturalist intelligence ("nature smart")


0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP