qualified teacher vs. certified teacher (guru lulus sertifikasi vs guru berkualitas)

>> Minggu, 11 Oktober 2009


Sertifikasi guru merupakan salah satu kebijakan yang patut mendapatkan evaluasi, karena selain memerlukan banyak biaya, manfaat jangka pendek dan jangka panjangnya belum jelas. Sepertinyaq program sertifikasi guru ini berangkat dari suatu asumsi bahwa semakin tingi gaji guru, maka kinerja mereka akan semakin baik dan akibatnya kualitas pendidikan pun akan membaik dalam waktu singkat. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah guru yang sudah lulus sertifikasi berarti memang sudah jauh berkualitas daripada guru yang belum bersertifikasi? Apakah guru yang belum bersertifikasi berarti tidak layak mendapatkan gaji yang layak?

Setiap guru memang berhak untuk mendapatkan gaji yang layak, tetapi kebijakan sertifikasi yang melalui system portofolio malah menjerumuskan dunia pendidikan dan menjebak para guru ke dalam proses formalisme semu, yang mana akibatnya adalah banyak para guru yang mengikuti seminar atau pelatihan, atau menjadi pembimbing pada bermacam kegiatan, tetapi bukan tujuan yang tulus dan murni untuk meningkatkan kualitaas keilmuan dan pengalaman mereka, tetapi hanya agar mendapatkan sertifikat atau surat keterangan agar mereka mendapatkan tambahan poin agar lulus sertifikasi dengan mudah. Bahkan banyak terjadi kasus pemalsuan sertifikat dengan tujuan agar dapat menaikkan poin untuk lulus sertifikasi. Sangat disayangkan sekali apabila para guru sampai mengorbankan prinsip dan idealisme sebagai guru hanya karena ingin agar lulus sertifikasi.

Melihat fenomena seperti diatas, para guru tidak salah seratus persen apabila mereka sampai melakukan hal-hal di atas, karena mereka sebenarnya terjebak dan terpaksa melakukan hal-hal di atas untuk menaikkan kesejahteraan mereka. Yang patut disalahkan adalah orang-orang membuat kebijakan yang tidak adil ini. Apabila gaji guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil yang sudah lulus sertifikasi bisa mencapai 4-5 juta rupiah, sedangkan guru swasta masih banyak yang mendapatkan gaji dibawah 500 ribu, maka ada kesenjangan social yang luar biasa yang bisa menciptakan kecemburuan intern-profesi. Kenapa para guru yang sama-sama mengajar putra-putri Indonesia (dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri ataupun swasta, mereka adalah tetap putra-putri Indonesia) dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap masa depan bangsa Indonesia, harus menerima kenyataan yang berbeda. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah menganggap kenaikan gaji sebagian guru PNS sebagai sebuah prestasi yang patut mereka banggakan, sedang mereka menutup mata terhadap sebagian guru yang lain, terutama guru swasta di daerah-daerah yang telah terbukti benar-benar mendedikasikan diri mereka untuk masa depan putra-putri bangsa. Yang lebih mengerikan lagi, pemerintah telah menetapkan jatah 75%-85% alokasi sertifikasi untuk guru berstatus PNS, dan 15%-25% untuk guru berstatus swasta (www.radarbanten.com dan www.kompas.com). Hal ini jelas sangat konyol, sangat tidak beralasan, dan sangat tidak adil, dan yang jelas; semakin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan struktural terencana di dunia pendidikan. Pemerintah telah “sengaja” menghambat guru swasta untuk mengembangkan kualitas mereka dengan mengadakan program diskriminasi seperti.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pendidikan, termasuk kenaikan gaji guru, haruslah melalui proses politik dan disahkan oleh lembaga politik terlebih dahulu, akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kenyataan bahwa kenaikan gaji guru ternyata dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, tanpa menimbangkan rasa keadilan dan perasaan bagi para guru non-PNS. Betapa perih hati para guru yang mendengar kenaikan gaji saudara-saudara PNS seprofesinya yang hampir rutin setiap tahun, dan belum lagi masih ditambah dengan fasilitas-fasilitas lain, seperti asuransi, dana pensiun, dan lain-lain, sedangkan para guru swasta harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan kenaikan harga barang-barang, padahal mereka memiliki pengabdian yang sama pentingnya terhadap negara, sedang yang berbeda hanya bajunya semata; guru swasta dapat diandaikan sebagai anak tiri negara, sedang guru PNS adalah anak emas kesayangan pemerintah.

Apabila guru yang sudah lulus sertifikasi saja kualitasnya masih dapat diragukan, apakah guru yang belum lulus sertifikasi dan bukan lulusan S1 berarti kualitasnya dibawah yang sudah lulus? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak factor yang mempengaruhi kualitas guru dan tentu saja tidak ada satu factor yang berlaku mutlak tanpa pengaruh factor lainnya. Beberapa factor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain jenjang pendidikan, lama pengalaman mengajar, dan “bakat dan minat mengajar”, komitmen, dan faktor-faktor lainnya, karena factor-faktor tersebut sifatnya tidak abadi dan relative, bahkan proporsinya berbeda-beda pada tiap-tiap individu guru tergantung pada kondisi personal masing-masing dan perbedaan tersebut memang sudah manusiawi karena pada dasarnya tidak ada manusia yang dilahirkan dengan bakat, minat, dan kemamuan yang sama persis dengan orang lain.

Semakin lama mengajar seorang guru, maka seharusnya pengalamannya semakin banyak dan kualitasnya pun lebih baik daripada guru baru yang miskin pengalaman, misal guru yang sudah mengajar berpuluh tahun dibandingkan guru yang baru mengajar satu atau dua tahun. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka idealnya semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya, apabila dibandingkan dengan guru yang jenjang pendidikannya lebih rendah, seperti lulusan S2 dibandingkan dengan lulusan S1 atau D4. Orang yang menjadi guru dengan sukarela selayaknya lebih baik kinerjanya daripada yang menjadi guru karena terpaksa, seperti karena kesulitan mencari pekerjaan dan pada saat yang sama lowongan yang tersedia hanya guru. Guru dengan komitmen yang tinggi akan mengajar dengan penuh dedikasi karena dia tahu bahwa mengajar adalah sama membangun peradaban manusia, tetapi guru yang tidak memiliki komitmen akan menganggap sebagai profesi guru seperti profesi lain, untuk sekedar mendapatkan penghargaan material semata, tanpa ada kesadaran terhadap misi kemanusiaan dan membangun peradaban umat manusia.

Begitu juga dengan guru yang berstatus PNS dan swasta atau non-PNS, tidak dapat langsung diklaim bahwa guru berstatus PNS adalah lebih baik kualitasnya daripada guru non-PNS, karena memang banyak factor yang mempengaruhi kualitas seorang guru, sebagai mana pada guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum lulus sertifikasi. Terlebih lagi sudah rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS, sering dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikti karena jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, meski hal tersebut sudah diminimalisir oleh pemerintah, tapi fakta di lapangan memang sering berbeda dengan idealisme dan harapan kita semua, dan fakta seperti itu justru membuat pertanyaan baru lagi tentang kualitas guru PNS, karena logikanya, jika memang mereka berkarakter kuat dan berkualitas tinggi, tentu mereka tidak akan “menjual diri” mereka dengan hanya beberapa puluh juta kepada oknum tertentu agar diangkat menjadi PNS dan mengorbankan prinsip-psinsip dan idealisme mereka; tentual jenis yang seperti itu adalah jenis yang tidak berkualitas yang miskin kepribadian. Tidak heran jika lebih dari 50% PNS Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak efektif, bahkan dapt dibilang setengah menganggur (www.okezone.com).



Sertifikasi guru merupakan salah satu kebijakan yang patut mendapatkan evaluasi, karena selain memerlukan banyak biaya, manfaat jangka pendek dan jangka panjangnya belum jelas. Sepertinyaq program sertifikasi guru ini berangkat dari suatu asumsi bahwa semakin tingi gaji guru, maka kinerja mereka akan semakin baik dan akibatnya kualitas pendidikan pun akan membaik dalam waktu singkat. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah guru yang sudah lulus sertifikasi berarti memang sudah jauh berkualitas daripada guru yang belum bersertifikasi? Apakah guru yang belum bersertifikasi berarti tidak layak mendapatkan gaji yang layak?

Setiap guru memang berhak untuk mendapatkan gaji yang layak, tetapi kebijakan sertifikasi yang melalui system portofolio malah menjerumuskan dunia pendidikan dan menjebak para guru ke dalam proses formalisme semu, yang mana akibatnya adalah banyak para guru yang mengikuti seminar atau pelatihan, atau menjadi pembimbing pada bermacam kegiatan, tetapi bukan tujuan yang tulus dan murni untuk meningkatkan kualitaas keilmuan dan pengalaman mereka, tetapi hanya agar mendapatkan sertifikat atau surat keterangan agar mereka mendapatkan tambahan poin agar lulus sertifikasi dengan mudah. Bahkan banyak terjadi kasus pemalsuan sertifikat dengan tujuan agar dapat menaikkan poin untuk lulus sertifikasi. Sangat disayangkan sekali apabila para guru sampai mengorbankan prinsip dan idealisme sebagai guru hanya karena ingin agar lulus sertifikasi.

Melihat fenomena seperti diatas, para guru tidak salah seratus persen apabila mereka sampai melakukan hal-hal di atas, karena mereka sebenarnya terjebak dan terpaksa melakukan hal-hal di atas untuk menaikkan kesejahteraan mereka. Yang patut disalahkan adalah orang-orang membuat kebijakan yang tidak adil ini. Apabila gaji guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil yang sudah lulus sertifikasi bisa mencapai 4-5 juta rupiah, sedangkan guru swasta masih banyak yang mendapatkan gaji dibawah 500 ribu, maka ada kesenjangan social yang luar biasa yang bisa menciptakan kecemburuan intern-profesi. Kenapa para guru yang sama-sama mengajar putra-putri Indonesia (dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri ataupun swasta, mereka adalah tetap putra-putri Indonesia) dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap masa depan bangsa Indonesia, harus menerima kenyataan yang berbeda. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah menganggap kenaikan gaji sebagian guru PNS sebagai sebuah prestasi yang patut mereka banggakan, sedang mereka menutup mata terhadap sebagian guru yang lain, terutama guru swasta di daerah-daerah yang telah terbukti benar-benar mendedikasikan diri mereka untuk masa depan putra-putri bangsa. Yang lebih mengerikan lagi, pemerintah telah menetapkan jatah 75%-85% alokasi sertifikasi untuk guru berstatus PNS, dan 15%-25% untuk guru berstatus swasta (www.radarbanten.com dan www.kompas.com). Hal ini jelas sangat konyol, sangat tidak beralasan, dan sangat tidak adil, dan yang jelas; semakin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan struktural terencana di dunia pendidikan. Pemerintah telah “sengaja” menghambat guru swasta untuk mengembangkan kualitas mereka dengan mengadakan program diskriminasi seperti.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pendidikan, termasuk kenaikan gaji guru, haruslah melalui proses politik dan disahkan oleh lembaga politik terlebih dahulu, akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kenyataan bahwa kenaikan gaji guru ternyata dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, tanpa menimbangkan rasa keadilan dan perasaan bagi para guru non-PNS. Betapa perih hati para guru yang mendengar kenaikan gaji saudara-saudara PNS seprofesinya yang hampir rutin setiap tahun, dan belum lagi masih ditambah dengan fasilitas-fasilitas lain, seperti asuransi, dana pensiun, dan lain-lain, sedangkan para guru swasta harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan kenaikan harga barang-barang, padahal mereka memiliki pengabdian yang sama pentingnya terhadap negara, sedang yang berbeda hanya bajunya semata; guru swasta dapat diandaikan sebagai anak tiri negara, sedang guru PNS adalah anak emas kesayangan pemerintah.

Apabila guru yang sudah lulus sertifikasi saja kualitasnya masih dapat diragukan, apakah guru yang belum lulus sertifikasi dan bukan lulusan S1 berarti kualitasnya dibawah yang sudah lulus? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak factor yang mempengaruhi kualitas guru dan tentu saja tidak ada satu factor yang berlaku mutlak tanpa pengaruh factor lainnya. Beberapa factor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain jenjang pendidikan, lama pengalaman mengajar, dan “bakat dan minat mengajar”, komitmen, dan faktor-faktor lainnya, karena factor-faktor tersebut sifatnya tidak abadi dan relative, bahkan proporsinya berbeda-beda pada tiap-tiap individu guru tergantung pada kondisi personal masing-masing dan perbedaan tersebut memang sudah manusiawi karena pada dasarnya tidak ada manusia yang dilahirkan dengan bakat, minat, dan kemamuan yang sama persis dengan orang lain.

Semakin lama mengajar seorang guru, maka seharusnya pengalamannya semakin banyak dan kualitasnya pun lebih baik daripada guru baru yang miskin pengalaman, misal guru yang sudah mengajar berpuluh tahun dibandingkan guru yang baru mengajar satu atau dua tahun. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka idealnya semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya, apabila dibandingkan dengan guru yang jenjang pendidikannya lebih rendah, seperti lulusan S2 dibandingkan dengan lulusan S1 atau D4. Orang yang menjadi guru dengan sukarela selayaknya lebih baik kinerjanya daripada yang menjadi guru karena terpaksa, seperti karena kesulitan mencari pekerjaan dan pada saat yang sama lowongan yang tersedia hanya guru. Guru dengan komitmen yang tinggi akan mengajar dengan penuh dedikasi karena dia tahu bahwa mengajar adalah sama membangun peradaban manusia, tetapi guru yang tidak memiliki komitmen akan menganggap sebagai profesi guru seperti profesi lain, untuk sekedar mendapatkan penghargaan material semata, tanpa ada kesadaran terhadap misi kemanusiaan dan membangun peradaban umat manusia.

Begitu juga dengan guru yang berstatus PNS dan swasta atau non-PNS, tidak dapat langsung diklaim bahwa guru berstatus PNS adalah lebih baik kualitasnya daripada guru non-PNS, karena memang banyak factor yang mempengaruhi kualitas seorang guru, sebagai mana pada guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum lulus sertifikasi. Terlebih lagi sudah rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS, sering dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikti karena jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, meski hal tersebut sudah diminimalisir oleh pemerintah, tapi fakta di lapangan memang sering berbeda dengan idealisme dan harapan kita semua, dan fakta seperti itu justru membuat pertanyaan baru lagi tentang kualitas guru PNS, karena logikanya, jika memang mereka berkarakter kuat dan berkualitas tinggi, tentu mereka tidak akan “menjual diri” mereka dengan hanya beberapa puluh juta kepada oknum tertentu agar diangkat menjadi PNS dan mengorbankan prinsip-psinsip dan idealisme mereka; tentual jenis yang seperti itu adalah jenis yang tidak berkualitas yang miskin kepribadian. Tidak heran jika lebih dari 50% PNS Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak efektif, bahkan dapt dibilang setengah menganggur (www.okezone.com).


0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP