qualified teacher vs. certified teacher (guru lulus sertifikasi vs guru berkualitas)

>> Minggu, 11 Oktober 2009


Sertifikasi guru merupakan salah satu kebijakan yang patut mendapatkan evaluasi, karena selain memerlukan banyak biaya, manfaat jangka pendek dan jangka panjangnya belum jelas. Sepertinyaq program sertifikasi guru ini berangkat dari suatu asumsi bahwa semakin tingi gaji guru, maka kinerja mereka akan semakin baik dan akibatnya kualitas pendidikan pun akan membaik dalam waktu singkat. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah guru yang sudah lulus sertifikasi berarti memang sudah jauh berkualitas daripada guru yang belum bersertifikasi? Apakah guru yang belum bersertifikasi berarti tidak layak mendapatkan gaji yang layak?

Setiap guru memang berhak untuk mendapatkan gaji yang layak, tetapi kebijakan sertifikasi yang melalui system portofolio malah menjerumuskan dunia pendidikan dan menjebak para guru ke dalam proses formalisme semu, yang mana akibatnya adalah banyak para guru yang mengikuti seminar atau pelatihan, atau menjadi pembimbing pada bermacam kegiatan, tetapi bukan tujuan yang tulus dan murni untuk meningkatkan kualitaas keilmuan dan pengalaman mereka, tetapi hanya agar mendapatkan sertifikat atau surat keterangan agar mereka mendapatkan tambahan poin agar lulus sertifikasi dengan mudah. Bahkan banyak terjadi kasus pemalsuan sertifikat dengan tujuan agar dapat menaikkan poin untuk lulus sertifikasi. Sangat disayangkan sekali apabila para guru sampai mengorbankan prinsip dan idealisme sebagai guru hanya karena ingin agar lulus sertifikasi.

Melihat fenomena seperti diatas, para guru tidak salah seratus persen apabila mereka sampai melakukan hal-hal di atas, karena mereka sebenarnya terjebak dan terpaksa melakukan hal-hal di atas untuk menaikkan kesejahteraan mereka. Yang patut disalahkan adalah orang-orang membuat kebijakan yang tidak adil ini. Apabila gaji guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil yang sudah lulus sertifikasi bisa mencapai 4-5 juta rupiah, sedangkan guru swasta masih banyak yang mendapatkan gaji dibawah 500 ribu, maka ada kesenjangan social yang luar biasa yang bisa menciptakan kecemburuan intern-profesi. Kenapa para guru yang sama-sama mengajar putra-putri Indonesia (dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri ataupun swasta, mereka adalah tetap putra-putri Indonesia) dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap masa depan bangsa Indonesia, harus menerima kenyataan yang berbeda. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah menganggap kenaikan gaji sebagian guru PNS sebagai sebuah prestasi yang patut mereka banggakan, sedang mereka menutup mata terhadap sebagian guru yang lain, terutama guru swasta di daerah-daerah yang telah terbukti benar-benar mendedikasikan diri mereka untuk masa depan putra-putri bangsa. Yang lebih mengerikan lagi, pemerintah telah menetapkan jatah 75%-85% alokasi sertifikasi untuk guru berstatus PNS, dan 15%-25% untuk guru berstatus swasta (www.radarbanten.com dan www.kompas.com). Hal ini jelas sangat konyol, sangat tidak beralasan, dan sangat tidak adil, dan yang jelas; semakin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan struktural terencana di dunia pendidikan. Pemerintah telah “sengaja” menghambat guru swasta untuk mengembangkan kualitas mereka dengan mengadakan program diskriminasi seperti.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pendidikan, termasuk kenaikan gaji guru, haruslah melalui proses politik dan disahkan oleh lembaga politik terlebih dahulu, akan tetapi, yang patut disayangkan adalah kenyataan bahwa kenaikan gaji guru ternyata dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, tanpa menimbangkan rasa keadilan dan perasaan bagi para guru non-PNS. Betapa perih hati para guru yang mendengar kenaikan gaji saudara-saudara PNS seprofesinya yang hampir rutin setiap tahun, dan belum lagi masih ditambah dengan fasilitas-fasilitas lain, seperti asuransi, dana pensiun, dan lain-lain, sedangkan para guru swasta harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan kenaikan harga barang-barang, padahal mereka memiliki pengabdian yang sama pentingnya terhadap negara, sedang yang berbeda hanya bajunya semata; guru swasta dapat diandaikan sebagai anak tiri negara, sedang guru PNS adalah anak emas kesayangan pemerintah.

Apabila guru yang sudah lulus sertifikasi saja kualitasnya masih dapat diragukan, apakah guru yang belum lulus sertifikasi dan bukan lulusan S1 berarti kualitasnya dibawah yang sudah lulus? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak factor yang mempengaruhi kualitas guru dan tentu saja tidak ada satu factor yang berlaku mutlak tanpa pengaruh factor lainnya. Beberapa factor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain jenjang pendidikan, lama pengalaman mengajar, dan “bakat dan minat mengajar”, komitmen, dan faktor-faktor lainnya, karena factor-faktor tersebut sifatnya tidak abadi dan relative, bahkan proporsinya berbeda-beda pada tiap-tiap individu guru tergantung pada kondisi personal masing-masing dan perbedaan tersebut memang sudah manusiawi karena pada dasarnya tidak ada manusia yang dilahirkan dengan bakat, minat, dan kemamuan yang sama persis dengan orang lain.

Semakin lama mengajar seorang guru, maka seharusnya pengalamannya semakin banyak dan kualitasnya pun lebih baik daripada guru baru yang miskin pengalaman, misal guru yang sudah mengajar berpuluh tahun dibandingkan guru yang baru mengajar satu atau dua tahun. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka idealnya semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya, apabila dibandingkan dengan guru yang jenjang pendidikannya lebih rendah, seperti lulusan S2 dibandingkan dengan lulusan S1 atau D4. Orang yang menjadi guru dengan sukarela selayaknya lebih baik kinerjanya daripada yang menjadi guru karena terpaksa, seperti karena kesulitan mencari pekerjaan dan pada saat yang sama lowongan yang tersedia hanya guru. Guru dengan komitmen yang tinggi akan mengajar dengan penuh dedikasi karena dia tahu bahwa mengajar adalah sama membangun peradaban manusia, tetapi guru yang tidak memiliki komitmen akan menganggap sebagai profesi guru seperti profesi lain, untuk sekedar mendapatkan penghargaan material semata, tanpa ada kesadaran terhadap misi kemanusiaan dan membangun peradaban umat manusia.

Begitu juga dengan guru yang berstatus PNS dan swasta atau non-PNS, tidak dapat langsung diklaim bahwa guru berstatus PNS adalah lebih baik kualitasnya daripada guru non-PNS, karena memang banyak factor yang mempengaruhi kualitas seorang guru, sebagai mana pada guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum lulus sertifikasi. Terlebih lagi sudah rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS, sering dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikti karena jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, meski hal tersebut sudah diminimalisir oleh pemerintah, tapi fakta di lapangan memang sering berbeda dengan idealisme dan harapan kita semua, dan fakta seperti itu justru membuat pertanyaan baru lagi tentang kualitas guru PNS, karena logikanya, jika memang mereka berkarakter kuat dan berkualitas tinggi, tentu mereka tidak akan “menjual diri” mereka dengan hanya beberapa puluh juta kepada oknum tertentu agar diangkat menjadi PNS dan mengorbankan prinsip-psinsip dan idealisme mereka; tentual jenis yang seperti itu adalah jenis yang tidak berkualitas yang miskin kepribadian. Tidak heran jika lebih dari 50% PNS Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak efektif, bahkan dapt dibilang setengah menganggur (www.okezone.com).


Read more...

BOS: Bantuan Operasional Sekolah atau Bom Ofensif di Sekolah?


Bantuan operasional sekolah, atau yang disingkat dengan nama BOS, yang pada awalnya merupakan kompensasi atas dinaikkannya harga BBM, merupakan berkah yang ditunggu oleh masyarakat pada awalnya, karena daa yang cukup besar ini akan diberikan “cuma-cuma” kepada sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta untuk pengembangan kualitas mereka. Bahkan di kelanjutan program dana BOS ini akhirnya beralih menjadi sekolah gratis pada jenjang sekolah dasar dan menengah terutama sekolah negeri, dengan perkecualian sekolah RSBI dan SSN. Banyak sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah dasar dan MI swasta di lingkungan marjinal pun ikut-ikutan melakukan penggratisan dengan terpaksa, karena khawatir kehilangan murid karena para orang tua murid, terutama dari kalangan menengah ke bawah memang maunya menyekolahkan sekolah di tempat yang gratis (terutama seperti di sekolah negeri). Padahal dana bos tersebut jumlahnya nominalnya dihitung berdasarkan jumlah anak, dan setiap anak SD atau MI di perkotaan “hanya” dijatah Rp 33.000,00 per bulannya mulai tahun 2009 (sedang jumlah pada tahun sebelumnya hanya Rp. 21.000,00 per anak per bulan), sehingga semakin banyak jumlah murid, maka dana bos yang akan diterima sekolah tersebut akan semakin “banyak”. Kata banyak di konteks ini sangat layak diberi catatan, karena kata banyak di sini tidak berkonotasi dengan kata “layak” apalagi “cukup” apabila mengac pada Upah Minimum Regional sebagai standar penggajian.

Karena terpaksa melakukan penggratisan, akibatnya adalah sekolas swasta menjadi tidak punya sumber pemasukan untuk menggaji guru maupun biaya operasional selain dari dana BOS. Apabila suatu sekolah dasar atau MI swasta hanya mempunyai 150 murid, maka sekolah tersebut akan hanya mendapatkan jatah dana BOS bulanan sebesar Rp.4.950.000,00 yang akan diberikan setiap tiga bulan sekali. Apabila sekolah tersebut mempunyai 6 orang guru kelas, satu guru olahraga, satu guru agama, satu pegawai TU, satu pegawai kebersihan, dan satu kepala sekolah, maka ada sebelas orang yang harus mendapatkan gaji setiap bulannya, padahal sekolah sendiri juga pasti membutuhkan dana operasional yang cukup besar untuk menjamin kenyamanan keberlangsungan proses belajar mengajar (seperti biaya membeli alat tulis, buku, kebersihan, listrik, air, dan lain-lain), dapat dibayangkan berapa berapa gaji yang akan diterima oleh para guru (guru hanya akan menerima tidak lebih dari 400 ribu per bulan), dan itupun harus dikelola dengan cermat sekali, mengingat dana BOS hanya cair tiga bulan sekali. Seadainya jumlah murid yang ada kurang dari itu, maka otomatis jumlah dana BOS yang akan diterima pun akan berkurang, sehingga dapat kita bayangkan sendiri berapa jumlah gaji yang akan mereka terima, sungguh jauh dari kata layak, terlebih apabila kita memperhatikan tingginya harga barang dan jasa saat ini. Bahkan sampai saat ini masih ada guru yang gajinya tidak lebih dari Rp.200.000. Memang benar bahwa sampai batas tertentu jumlah gaji tidak akan mempengaruhi kualitas guru, akan tetapi apabila jumlah gaji yang diterima sudah sangat keterlaluan seperti ini, bagaimana mungkin mereka mempertahankan kualitas kerja mereka, sementara mereka sulit berkosentrasi dan harus mencari sumber tambahan penghasilan lain yang juga menuntut pikiran, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit karena kebutuhan hidup sehari-hari sulit terpenuhi dengan layak apabila hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar semata.

Secara sekilas, dana BOS memang meringankan beban para orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka, tetapi di sisi yang lain kualitas pendidikan justru menjadi taruhannya, apalagi sebagian besar sekolah di Indonesia masih menitikberatkan pada pengetahuan kognitif. Kegiatan-kegiatan yang sebenarnya sangat menunjang perkembangan kepribadian anak memang belum menjadi prioritas utama system pendidikan di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi apabila anak yang dianggap pandai adalah adalah anak yang pintar dalam mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan lain-lain yang membutuhkan daya ingat yang bagus, sedang anak-anak yang terampil dalam berbagai bidang yang tidak membutuhkan memory yang kuat, tetapi imajinasi, terutama yang di masukkan dalam ekstrakurikuler seperti musik, olahraga, menggambar tidak mendapatan penghargaan dan tanggapan yang semestinya.

Penggunaan dana BOS memang masih belum diarahkan untuk kegiatan yang bersifat pengembangan diri, tetapi masih diarahkan ke pembangunan fisik dan subsidi biaya operasional pendidikan (peringanan atau penggratisan SPP, yang muaranya adalah juga sumber penggajian guru). Kalau sekolah tidak boleh menarik sumbangan dana dari para orang tua, maka nasib kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pengembangan dirilah yang terancam, karena pembiayaannya menjadi terbatas atau bahkan tidak mendapatkan biaya sama sekali. Pendidikan yang hanya bersifat kognitif bukanlah pendidikan yang ideal, meskipun hal tersebut merupakan salah satu yang harus ada.

Program pengembangan diri, terutama program ekstrakurikuler, seperti bela diri, musik, robot, teater, English, math club, seni, pecinta alam, dan lain-lain, merupakan salah satu wahana untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang sering kali belum tertampung di ruang-ruang kelas kognitif. Program-program pengembangan diri tersebut erat kaitannya dengan pengembangan kompetensi kecakapan hidup life skill, soft skill, dan social skill anak-anak, yang mana pada akhirnya pada banyak kasus ternyata life skill, soft skill, dan social skill lah yang lebih banyak berperan dalam kesuksesan di dunia kerja dan masyarakat, bukan hard skill yang didapatkan dari kelas-kelas kognitif (Muchlas Samani. Menggagas Pendidikan Bermakna: 17). Bahkan apabila life skill, soft skill, dan dan social skill ini apabila dikaitkan lebih dalam dengan multiple intelligence-nya Howard Gardner, akan ditemukan peta bagaimana luasnya potensi, bahkan, dan minat anak-anak yang belum dimaksimalkan, malah memory hard disk mereka lebih banyak “dijejali” dengan hal-hal yang tidak mereka sukai dan bahkan mungkin sekali tidak akan banyak berguna ketika mereka berada di lingkungan kerja atau masyarakat nanti, padahal salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan para peserta didik agar siap berkarya di lingkungan kerja dan masyarakat.

Konon katanya, sebagaimana yang tertulis dalam pedoman mengenai KTSP (secara teoritis):

“pengembangan diri dalam KTSP bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi (dibimbing dan dinilai) oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang diberi tugas.

Kegiatan pengembangan diri dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik serta kegiatan pengembangan kreativitas peserta didik baik melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk aktivitas seperti kepramukaan, KIR, keolahragaan, kesehatan, dll.

Aspek yang dinilai dalam kegiatan pengembangan diri lebih dominan pada aspek apektif peserta didik, yang difokuskan pada pencapaian prestasi dan perubahan sikap atau perilaku peserta didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri yang diselenggarakan oleh sekolah.”

Akan tetapi fakta memang seringkali lain dengan idealisme, terlebih lain jika idealisme yang dibuat sekedar untuk idealisme-idealismean, tidak berdasarkan itikad baik, tetapi sebagai basa-basi semata, agar pantas dibaca.

Apabila dengan adanya dana bos, yang notabene adalah penggratisan pendidikan, malah mengancam kualitas dunia pendidikan itu sendiri, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan dengan masak-masak setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pelaksanaan program BOS dan sekolah gratis tidaklah semudah dan sesederhana yang seperti diiklankan di TV oleh depdiknas, masih banyak kendala social budaya yang menghalanginya, sebagai contoh masih adanya pungutan sukarela tapi wajib bagi para orang tua murid.

Jangan sampai masyarakat terlena dalam jangka pendek dengan adanya pendidikan gratis, tetapi dalam jangka panjang ternyata anak-anaklah yang menjadi korbannya. Konsep pendidikan “gratis” dengan adanya dana bos yang sepertinya hanya “mengejar” dana pendidikan yang luar biasa besarnya itu segera habis tak bersisa dalam satu tahun anggaran, sepertinya belum saatnya dilaksanakan sekarang ini, meski pemerintahlah yang memutuskan. Paling tidak, konsep pendidikan murah atau paling tidak masih melibatkan orang tua dalam pertanggungan dana operasional sekolah dan melalukna penurunan jumlahnya setiap tahun meskipun dalam jumlah yang terbatas akan mempunyai efek yang lebih baik daripada proses penggratisan yang terlalu cepat, karena masyarakat belum siapa secara mental dan psikologis untuk menerimnya, meskipun nampaknya mereka menyambutnya dengan gembira karena keterbatasan informasi dan pengetahuan.


Read more...

LEARNING FOR THE TEST, NOT LEARNING FOR THE LIVING


Kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ternyata luput dari sasaran dunia pendidikan, karena pendidikan di Indonesia tidak ditujukan untuk menyempurnakan kualitas hidup dan mengatasi masalah-masalah yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan mengolah dan memanfaatkan kekayaannya sumber daya alamnya, akan tetapi malah ditujukan untuk mengejar tuntutan yang berwujud nilai minimal sebagai standar kelulusan.

Memang menetapkan suatu angka sebagai standar minimal untuk kelulusan bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi yang paling buruk apabila proses pendidikan sudah ditujukan untuk menghadapi ujian semata, bukan lagi untuk menghadapi kehidupan nyata (learning for the test, not learning for the living). Empat pilar belajar yang direkomendasikan oleh komisi internasional UNESCO merupakan pilar yang ideal bagi Negara yang system pendidikannya belum mantap dan didera dengan beragam masalah seperti Indonesia. Keempat pilar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. learning to know (belajar untuk mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu pengetahuan)

  2. learning to do (belajar bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan)

  3. learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan

  4. learning to be (belajar menjadi manusia seutuhnya yang ilmiah dan mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari)

Fenomena melencengnya system pendidikan nasional dari arah yang seharusnya (sebagai problem solver and knowledge facilitator) bisa dilihat dengan semakin maraknya lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai macam strategi dan solusi belajar untuk menjawab soal ujian secara cepat dan praktis. Terlepas dari nilai positif yang dibawa oleh lembaga bimbingan belajar, tetapi yang tidak bisa dipungkiri adalah, pertama, system pengajaran di sekolah tidak menerapkan system belajar yang tuntas, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja. Apabila para pengajar di sekolah sudah menerapkan pengajaran yang benar-benar tuntas, tentunya para murid tidak perlu lagi harus mengiktui jam pelajaran tambahan di luar sekolah sepulang sekolah. Kedua, system pendidikan formal (sekolah) belum mampu untuk memenuhi tuntutan konsumen pendidikan (orang tua, dunia kerja, dan para pelajar) dan terjebak dalam perlombaan untuk mencari status, seperti akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional. Memang di satu sisi, akreditasi A, SSN, RSBI, dan sekolah berstandar internasional menunjukkan kualitas sekolah tersebut, tetapi di sisi yang lain malah menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan, secara sekilas, sekolah yang berstandar internasional justru malah menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar berstandar internasional? Siapakah yang menyatakan atau mensertifikasi staandar internasional mereka? Apakah yang mensertifikasi sekolah dengan standar internasional adalah lembaga yang bonafid atau lembaga penjamin mutu pendidikan yang terpercaya atau sekedar tempelan semata karena pesanan pihak tertentu?

Contoh kasus rumah sakit di Indonesia patut menjadi referensi kasus. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang berani menempelkan embel-embel internasional di belakang nama rumah sakit mereka (ingat kasus ibu prita dan rumah sakit OMNI internasional), tetapi ternyata hanya satu atau dua rumah sakit saja di seluruh Indonesia yang benar-benar sudah disertifikasi oleh lembaga internasional yang bonafid di bidang kesehatan, sedangkan selebihnya hanya menempelkan embel-emebel internasional karena pesanan dari pemilik saham dan dengan tujuan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Mengingat buruknya ranking human development index-nya Indonesia, adalah sangat ironis apabila kita melihat banyak sekolah di Indonesia yang merasa sudah berkualitas internasional hanya karena sudah mampu membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Padahal sekolah yang membuka kelas akselerasi atau kelas internasional belum lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah yang tidak membuka kelas akselerasi atau kelas internasional. Di negara-negara yang system pendidikannya sudah maju dan mapan, Singapore misalnya, mereka tidak mengenal variasi standarisasi kualitas sekolah seperti di Indonesia.

Memang benar bahwa standarisasi kualitas itu perlu, karena tanpa adanya proses standarisasi, maka kualiats pendidikan kita menjadi sulit diukur yang mana akibatnya usaha pengembangan kualitas menjadi tidak terarah, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah proses standarisasi pendidikan yang mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah ketimpangan kualitas sekolah yang sangat mencolok. Ketimpangan kualitas sekolah di Indonesia yang paling nyata adalah kualitas sekolah swasta. Sebagian besar sekolah yang terletak di daerah pinggiran dan benar-benar terpinggirkan adalah sekolah milik swasta. Kualitas bangunan fisik hingga pengajar dan alat belajar masih jauh dari layak atau memadai. Akan tetapi, sekolah-sekolah yang mewah dan unggul secara prestasi akademik dan non akamedik di kota-kota besar pun sebagian besar di dominasi oleh sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri yang menerapkan biaya yang cukup mahal.

Apakah layak jika ada perbedaan kualitas sekolah di mana anak-anak dari daerah pinggiran yang miskin dan sekolah-sekolah elit bersekolah? Bukankah mereka sama-sama putra-putri bangsa Indonesia yang sama-sama berhak untuk mencicipi pendidikan yang berkualitas. Memang perbedaan kualitas sekolah memang sesuatu yang perlu, bahkan mungkin harus ada, tetapi perbedaan tersebut haruslah melalui proses yang alami, yaitu berdasarkan pemanfaatan sumber daya dan potensi yang ada, bukan melalui proses yang sudah dipaksakan sejak awal dengan sengaja. Tanpa adanya perbedaan kualitas sekolah, maka hal tersebut justru akan mematikan banyak potensi peserta didik, karena yang perlu diingat adalah bahwa meskipun setiap anak memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi setiap anak dibekali oleh Tuhan dengan beragam bakat dan minat yang berbeda-beda.

Konsep multi-intelligence oleh Howard Gardner patut direkomendasikan sebagai acuan dalam pengembangan kualitas personal anak berdasarkan potensinya masing-masing, dan sampai tahap tertentu juga dapat diterapkan untuk mengembangkan kualitas sekolah atau lembaga yang memiliki spesifikasi pada bidang tertentu, seperti sekolah-sekolah kejuruan, pusat latihan olahraga (training center), dan lembaga pengembangan bakat dan minat seperti sanggar seni. Pada lembaga yang sudah bersifat kejuruan, spesifik pada minat bakat tertentu, adalah sia-sia apabila anak-anak masih harus mempelajari semua hal; lebih baik anak-anak difokuskan pada 1 kecerdasan utama dan 2 atau 3 kecerdasan lain sebagai pemberi nilai atau skill lebih. Berikut adalah kedelapan multi-intelligence yang dirumuskan oleh Howard Gardner.


Linguistic intelligence ("word smart"):

Logical-mathematical intelligence ("number/reasoning smart")

Spatial intelligence ("picture smart")

Bodily-Kinesthetic intelligence ("body smart")

Musical intelligence ("music smart")

Interpersonal intelligence ("people smart")

Intrapersonal intelligence ("self smart")

Naturalist intelligence ("nature smart")


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP