DUNIA SEBENARNYA

>> Selasa, 29 September 2009

Setiap kali melewati gerbang kampus, Diah selalu mengeluarkan uang ratusan rupiah kepada seorang laki-laki tua pengemis yang duduk di gerbang kampus setiap hari. Bahkan jika sedang memilki rezeki lebih, uang ribuan rupiah pun tak segan dikeluarkannya. Pengemis itu sungguh membikin trenyuh. Pakaiannya kumal, berjalan dengan mengesot, kakinya kecil sehingga tidak memungkinkannya untuk berjalan dengan tegak. Seorang anak kecil, yang mungkin adalah anaknya atau cucunya, selalu setia menemaninya.

“Kasihan sekali mereka. Setiap hari harus menunggu belas kasihan dari orang-orang yang lewat hanya untuk mengharapkan seratus-dua ratus rupiah. Aku harus lebih banyak bersyukur, karena orang tuaku masih bisa menyekolahkanku sampai kuliah, sedang anak kecil itu seharusnya bermain dan belajar bersama teman-temannya di sekolah, tetapi dia justru mengemis hanya untuk hidup” kata Diah dengan sedih.

Diah membandingkan kehidupan teman-teman kuliahnya. Banyak teman-temannya yang memiliki gaya hidup yang mewah. Bahkan beberapa temannya yang berasal dari luar Jawa mempunyai uang saku yang jauh lebih banyak darinya. Beberapa teman yang berasal dari Jawa pun memiliki gaya hidup yang berlebihan. Hal tersebut nampak dari model pakaian, kendaraan, HP, dan komputer mereka. Bahkan laptop pun sudah bukan hal mewah lagi bagi mereka. HP yang berharga jutaan pun sudah menjadi barang biasa, sehingga ketika salah satu temanya hilang, dengan mudahnya temannya itu membeli HP baru lagi yang harganya lebih mahal.

“Loh Nit, katanya HP mu baru saja hilang dua hari lalu di kos. Kok sudah bawa HP lagi?” Tanya Diah kepada Nita ketika melihat Nita membawa HP, padahal baru dua hari sebelumnya dia mendengar bahwa HP Nita baru saja hilang di kosnya.

“Iya, tetapi kemarin aku langsung dikirimin uang lagi ama bokap. Jadi kemarin malam aku bisa beli lagi, nggak mahal. Cuma tiga juta kok” Jawab Nita ringan.

Kata Diah dalam hati, “Nggak mahal kan buat anak pejabat kayak kamu,yang tinggal nodong orang tua setiap kehabisan duit. Buat aku yang hanya anak petani kecil yang mbayar SPP saja sering telat, jelas nggak mampu beli HP mahal kayak kamu”.

Sebagai anak petani kecil di sebuah desa kecil, Diah merasa sangat beruntung bahwa orang tuanya masih bisa membiayainya kuliah, meski dia juga mendapat beasiswa dari kampus Untuk ukuran anak kuliahan, Diah memang tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang mecolok darinya, kecuali bahwa dia memang cerdas dan menjadi asisten dosen di Fakultas Psikologi.

Diah merasa bahwa dia kuliah adalah suatu keajaiban, karena tak seorang pun dari warga desanya yang berkuliah, kecuali dia seorang. Dia bisa mendaftar kuliah karena orang tuanya sangat menginginkannya berhasil dan menjadi orang, sehingga orang tuanya merelakan sebagian tanahnya untuk membiayainya masuk kuliah.

Terkadang Diah sering merasa tidak percaya diri dan tidak pantas bergaul dengan teman-teman kuliahnya. Dia sering membandingkan dirinya sendiri dengan teman-temannya. Apabila sebagian teman-temannya mempunyai HP yang harganya jutaan rupiah, lengkap dengan kamera dan fitur-fitur lainnya yang dia tidak paham Maksudnya, dia merasa malu, karena HP nya adalah HP seri lama yang apabila dijual lagi ke counter belum tentu ada yang mau membelinya. Tetapi dia sangat sayang dengan HP nya, karena HP itu dibeli dengan honor pertamanya sebagai asisten dosen. Lagipula dia juga tidak bakal bisa menyisakan uang sakunya untuk membeli HP baru, karena selain karena keterbatasan uang saku, kebuTuhannya sebagai mahasiswa juga terus bertambah.

Apabila banyak diantara teman-temannya yang berangkat naik sepeda motor, bahkan ada yang naik mobil pribadi, dan tak sedikit pula yang diantarkan oleh pacar-pacar mereka, Maka Diah cukup berjalan kaki ke kampusnya, “Toh tidak jauh dari kampus, itung-itung olahraga” pikirnya.

“Diah, tak boncengin yuk. Bertiga bisa kok. Daripada kamu jalan kaki sendirian” kata salah satu teman kuliahnya menawarinya berangkat kuliah bareng.

“Nggak lah. Jalan kaki saja, biar sehat. Lagian kan dekat” jawabnya menolak dengan halus. Teman-teman kuliah Diah memang selalu naik motor kalau pergi ke kampus, padahal jarak kos mereka dengan kampus hanya beberapa puluh meter saja. Diah sebenarnya juga heran, bagaimana mereka mau memboncengkannya, padahal dia saja sudah memboncengkan satu orang.

Diah heran dengan sebagian teman-temannya yang sering naik satu motor untuk tiga orang, bahkan kadang dia melihat ada motor yang dikendarai oleh satu cowok dan dua cewek. Di kampungnya dahulu, jangankan pergi berboncengan anak laki dan perempuan yang belum menikah, berjalan bersama saja sudah merupakan aib, bahkan bisa jadi bahan pembicaraan masyarakat.

Sering Diah berpikir sendiri sambil tersenyum sendiri”Seandainya para orang tua yang mengkuliahkan anak-anak perempuan mereka di sini melihat bagaimana anak perempuan mereka berboncengan dan bergaul dengan lawan jenis, pasti mereka akan segera meMaksa anak perempuan mereka keluar dari bangku kuliah dan mengikatnya di rumah agar tidak keluyuran keluar rumah. Kalau ayahku sendiri melihatku seperti mereka, pasti aku langsung dipasungnya di rumah”.

Memang tidak semua teman-teman Diah berperilaku negatif, terutama di kosnya. Kosnya Diah menerapkan aturan yang cukup ketat, yaitu tamu laki-laki di larang bertamu di atas jam sembilan malam, dilarang masuk kamar dan bertemu di ruang tamu, dan hanya boleh bertamu tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Peraturan-peraturan tersebut dibuat karena dulu pernah terjadi kasus yang cukup memalukan.

Suatu hari salah satu kakak tingkat Diah yang juga tinggal di kosnya mengajak pacarnya masuk ke dalam kamarnya. Kemudian pintu pun dikunci dan sekitar dua atau tuga jam kemudian mereka baru keluar. Beberapa bulan kemudian kakak tingkatnya tiba-tiba hamil, padahal dia belum menikah. Seluruh penghuni kos pun heboh, bahkan kemudian orang tua kakak kelasnya pun datang. Sehingga terjadi sedikit keributan antara kedua orang tua kakak tingkatnya dengan ibu pemilik kos.

“Ibu itu gimana to, ngurus kos saja nggak bisa. Coba, sekarang anak saya hamil di luar nikah karena melakukan hubungan di kos ini, kos ibu. Pokoknya ibu akan kami laporkan ke kantor polisi” kata ibu kakak kelasnya sambil marah-marah. Sementara kakak kelasnya cuma diam tertunduk malu karena di lihat banyak orang, termasuk Diah dan penghuni kos lainnya yang sedang berada di kos.

“Justru anak ibu ini yang salah. Kalau ada anak laki-laki masuk ke kamar anak perempuan, yang kurang ajar itu siapa, yang perempuan atau yang laki-laki? Lagipula saya di sini itu mengurus kos, bukan mengurus anak ibu” Jawab ibu kos tak mau kalah.

Akhirnya kakak kelasnya Diah pun keluar kuliah karena malu dan menikah dengan pacar yang menghamilinya itu, tetapi anehnya pernikahan tersebut diramai-ramaikan dengan pesta besar-besaran, bahkan Diah dan teman-temannya pun diundang datang.

“Gimana, ya, sepertinya aku nggak mau datang, tapi kan nggak enak. Kan kita sudah diundang” kata Diah kepada teman-teman kos nya.

“Nggak usah datang saja. Lagian kan hamilnya di luar nikah. Ogah ah. Nanti ketularan lagi” kata salah seorang teman kosnya. Akhirnya mereka pun tidak ada yang datang, tetapi meminta Diah mengirim SMS yang isinya mengucapkan selamat menempuh hidup baru.

Diah heran dengan kehidupan yang ada di sekitarnya. Banyak pengemis yang datang ke kos mahasiswa; jumlah mereka sangat banyak, mencapai puluhan, seperti terorganisir, karena mereka datang setiap pagi naik mobil hitam dengan bak terbuka dan pulang setiap soren dengan mobil yang sama.

Oleh dosennya, Diah mendapat tugas untuk melakukan penelitian tentang para pengemis yang sering beroperasi di sekitar kampusnya. Menurut dosennya, para pengemis tersebut terorganisasi secara rapi berasal dari satu wilayah yang sama, yaitu sebuah desa di sebuah kabupaten di selatan pulau Jawa.

Diah pun berangkat pada minggu pagi bersama beberapa teman yang juga asisten dosen. Mereka pergi pada hari minggu karena pada hari itu tidak ada pengemis yang beroperasi di sekitar kampus; menurut dosen mereka, para pengemis tersebut istirahat setiap hari minggu. Mereka diberi bekal alamat seseorang yang menjadi ketua dari serikat pengemis tersebut. Mereka menempuh perjalanan selama beberapa jam dari kampusnya yang terletak di ujung barat kota Surakarta.

Begitu sampai di desa tersebut, mereka langsung mencari alamat rumah yang diberikan oleh dosennya sebelum berang. Mereka hendak menemui ketua serikat pengemis tersebut untuk mewancarainya, terkait posisinya sebagai ketua serikat pengemis dan meminta izinnya untuk mewancarai para pengemis yang menjadi anak buahnya. Mereka semua heran melihat kondisi lingkungan desa pengemis itu, karena tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Menurut bayangan mereka, desa pengemis itu pasti kondisinya memprihatinkan, ternyata bayangan mereka salah. Rumah para rata-rata bertembok, bahkan terlihat banyak rumah yang di sampingnya berdiri tegak antenna televise. Di depan beberapa rumah pun terpakir sepeda motor keluaran terbaru.

Setelah bertanya pada seorang ibu pemilik warung, mereka akhirnya menuju ke rumah yang paling mewah di desa tersebut. Rumah tersebut bertingkat dua, dengan toko kelontong yang lumayan besar di depannya. Sebuah pArabola juga menghiasi atapnya Di garasinya terparkir sebuah sepeda motor yang belum ada plat nomornya. Di sampingnya juga ada sebuah mobil hitam dengan bak terbuka yang sering dipakai untuk mengantarkan para pengemis beroperasi disekitar kampus setiap hari.

Mereka yakin bahwa ini adalah rumah sang ketua. Mereka pun segera mengetuk pintu, karena tak seorang pun yang ada di toko kelontong depan rumah.

“Assalamualaikum” kata Diah memberi salam.

“Wa’alaikum salam. Maaf, mencari siapa ya” keluar seorang ibu berusia empat puluhan menyambut kami.

“Apakah benar bahwa ini rumah Bapak Sudjarwo. Kami berkunjung ke sini untuk mewancarai beliau” Tanya Diah.

“Ya benar, ini rumah Bapak Sudjarwo. Kebetulan bapaknya ada. Saya panggilkan dulu. Silahkan duduk dulu” kata ibu tersebut. Setelah mempersilahkan duduk, ibu tersebut segera masuk dan terdengar suaranya memanggil Pak Sudjarwo.

Diah dan teman-temannya melihat isi rumah itu. Hampir semua isinya merupakan barang mewah, yang di rumah Diah pun jelas jelas tak ada, seprti keramik, kursi dari kayu jati, dan lampu gantung yang besar dan indah. Mereka semua penasaran, seperti aPakah bapak sujarwo, ketua serikat pengemis yang akan mereka wawancarai itu.

Tak lama kemudian keluarlah seorang tua naik kursi roda didorong seorang anak kecil. Diah dan teman-temannya kaget melihat mereka karena mereka sangat kenal dengan wajah kedua orang itu, bahkan setiap hari bertemu dengan mereka di gerbang kampus.

“Maaf, apa benar ini Bapak Soedjarwo…?” Tanya Diah ragu-ragu

“Benar, saya sendiri Pak Soedjarwo. Panggil saja saya Pak Djarwo. Ada yang bisa saya bantu” kata orang itu.

Diah dan teman-temannya diam; tidak ada yang mampu bertanya begitu mengetahui bahwa pengemis yang sering mengemis di depan gerbang kampus mereka sedang duduk di hadapan mereka.


Setiap kali melewati gerbang kampus, Diah selalu mengeluarkan uang ratusan rupiah kepada seorang laki-laki tua pengemis yang duduk di gerbang kampus setiap hari. Bahkan jika sedang memilki rezeki lebih, uang ribuan rupiah pun tak segan dikeluarkannya. Pengemis itu sungguh membikin trenyuh. Pakaiannya kumal, berjalan dengan mengesot, kakinya kecil sehingga tidak memungkinkannya untuk berjalan dengan tegak. Seorang anak kecil, yang mungkin adalah anaknya atau cucunya, selalu setia menemaninya.

“Kasihan sekali mereka. Setiap hari harus menunggu belas kasihan dari orang-orang yang lewat hanya untuk mengharapkan seratus-dua ratus rupiah. Aku harus lebih banyak bersyukur, karena orang tuaku masih bisa menyekolahkanku sampai kuliah, sedang anak kecil itu seharusnya bermain dan belajar bersama teman-temannya di sekolah, tetapi dia justru mengemis hanya untuk hidup” kata Diah dengan sedih.

Diah membandingkan kehidupan teman-teman kuliahnya. Banyak teman-temannya yang memiliki gaya hidup yang mewah. Bahkan beberapa temannya yang berasal dari luar Jawa mempunyai uang saku yang jauh lebih banyak darinya. Beberapa teman yang berasal dari Jawa pun memiliki gaya hidup yang berlebihan. Hal tersebut nampak dari model pakaian, kendaraan, HP, dan komputer mereka. Bahkan laptop pun sudah bukan hal mewah lagi bagi mereka. HP yang berharga jutaan pun sudah menjadi barang biasa, sehingga ketika salah satu temanya hilang, dengan mudahnya temannya itu membeli HP baru lagi yang harganya lebih mahal.

“Loh Nit, katanya HP mu baru saja hilang dua hari lalu di kos. Kok sudah bawa HP lagi?” Tanya Diah kepada Nita ketika melihat Nita membawa HP, padahal baru dua hari sebelumnya dia mendengar bahwa HP Nita baru saja hilang di kosnya.

“Iya, tetapi kemarin aku langsung dikirimin uang lagi ama bokap. Jadi kemarin malam aku bisa beli lagi, nggak mahal. Cuma tiga juta kok” Jawab Nita ringan.

Kata Diah dalam hati, “Nggak mahal kan buat anak pejabat kayak kamu,yang tinggal nodong orang tua setiap kehabisan duit. Buat aku yang hanya anak petani kecil yang mbayar SPP saja sering telat, jelas nggak mampu beli HP mahal kayak kamu”.

Sebagai anak petani kecil di sebuah desa kecil, Diah merasa sangat beruntung bahwa orang tuanya masih bisa membiayainya kuliah, meski dia juga mendapat beasiswa dari kampus Untuk ukuran anak kuliahan, Diah memang tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang mecolok darinya, kecuali bahwa dia memang cerdas dan menjadi asisten dosen di Fakultas Psikologi.

Diah merasa bahwa dia kuliah adalah suatu keajaiban, karena tak seorang pun dari warga desanya yang berkuliah, kecuali dia seorang. Dia bisa mendaftar kuliah karena orang tuanya sangat menginginkannya berhasil dan menjadi orang, sehingga orang tuanya merelakan sebagian tanahnya untuk membiayainya masuk kuliah.

Terkadang Diah sering merasa tidak percaya diri dan tidak pantas bergaul dengan teman-teman kuliahnya. Dia sering membandingkan dirinya sendiri dengan teman-temannya. Apabila sebagian teman-temannya mempunyai HP yang harganya jutaan rupiah, lengkap dengan kamera dan fitur-fitur lainnya yang dia tidak paham Maksudnya, dia merasa malu, karena HP nya adalah HP seri lama yang apabila dijual lagi ke counter belum tentu ada yang mau membelinya. Tetapi dia sangat sayang dengan HP nya, karena HP itu dibeli dengan honor pertamanya sebagai asisten dosen. Lagipula dia juga tidak bakal bisa menyisakan uang sakunya untuk membeli HP baru, karena selain karena keterbatasan uang saku, kebuTuhannya sebagai mahasiswa juga terus bertambah.

Apabila banyak diantara teman-temannya yang berangkat naik sepeda motor, bahkan ada yang naik mobil pribadi, dan tak sedikit pula yang diantarkan oleh pacar-pacar mereka, Maka Diah cukup berjalan kaki ke kampusnya, “Toh tidak jauh dari kampus, itung-itung olahraga” pikirnya.

“Diah, tak boncengin yuk. Bertiga bisa kok. Daripada kamu jalan kaki sendirian” kata salah satu teman kuliahnya menawarinya berangkat kuliah bareng.

“Nggak lah. Jalan kaki saja, biar sehat. Lagian kan dekat” jawabnya menolak dengan halus. Teman-teman kuliah Diah memang selalu naik motor kalau pergi ke kampus, padahal jarak kos mereka dengan kampus hanya beberapa puluh meter saja. Diah sebenarnya juga heran, bagaimana mereka mau memboncengkannya, padahal dia saja sudah memboncengkan satu orang.

Diah heran dengan sebagian teman-temannya yang sering naik satu motor untuk tiga orang, bahkan kadang dia melihat ada motor yang dikendarai oleh satu cowok dan dua cewek. Di kampungnya dahulu, jangankan pergi berboncengan anak laki dan perempuan yang belum menikah, berjalan bersama saja sudah merupakan aib, bahkan bisa jadi bahan pembicaraan masyarakat.

Sering Diah berpikir sendiri sambil tersenyum sendiri”Seandainya para orang tua yang mengkuliahkan anak-anak perempuan mereka di sini melihat bagaimana anak perempuan mereka berboncengan dan bergaul dengan lawan jenis, pasti mereka akan segera meMaksa anak perempuan mereka keluar dari bangku kuliah dan mengikatnya di rumah agar tidak keluyuran keluar rumah. Kalau ayahku sendiri melihatku seperti mereka, pasti aku langsung dipasungnya di rumah”.

Memang tidak semua teman-teman Diah berperilaku negatif, terutama di kosnya. Kosnya Diah menerapkan aturan yang cukup ketat, yaitu tamu laki-laki di larang bertamu di atas jam sembilan malam, dilarang masuk kamar dan bertemu di ruang tamu, dan hanya boleh bertamu tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Peraturan-peraturan tersebut dibuat karena dulu pernah terjadi kasus yang cukup memalukan.

Suatu hari salah satu kakak tingkat Diah yang juga tinggal di kosnya mengajak pacarnya masuk ke dalam kamarnya. Kemudian pintu pun dikunci dan sekitar dua atau tuga jam kemudian mereka baru keluar. Beberapa bulan kemudian kakak tingkatnya tiba-tiba hamil, padahal dia belum menikah. Seluruh penghuni kos pun heboh, bahkan kemudian orang tua kakak kelasnya pun datang. Sehingga terjadi sedikit keributan antara kedua orang tua kakak tingkatnya dengan ibu pemilik kos.

“Ibu itu gimana to, ngurus kos saja nggak bisa. Coba, sekarang anak saya hamil di luar nikah karena melakukan hubungan di kos ini, kos ibu. Pokoknya ibu akan kami laporkan ke kantor polisi” kata ibu kakak kelasnya sambil marah-marah. Sementara kakak kelasnya cuma diam tertunduk malu karena di lihat banyak orang, termasuk Diah dan penghuni kos lainnya yang sedang berada di kos.

“Justru anak ibu ini yang salah. Kalau ada anak laki-laki masuk ke kamar anak perempuan, yang kurang ajar itu siapa, yang perempuan atau yang laki-laki? Lagipula saya di sini itu mengurus kos, bukan mengurus anak ibu” Jawab ibu kos tak mau kalah.

Akhirnya kakak kelasnya Diah pun keluar kuliah karena malu dan menikah dengan pacar yang menghamilinya itu, tetapi anehnya pernikahan tersebut diramai-ramaikan dengan pesta besar-besaran, bahkan Diah dan teman-temannya pun diundang datang.

“Gimana, ya, sepertinya aku nggak mau datang, tapi kan nggak enak. Kan kita sudah diundang” kata Diah kepada teman-teman kos nya.

“Nggak usah datang saja. Lagian kan hamilnya di luar nikah. Ogah ah. Nanti ketularan lagi” kata salah seorang teman kosnya. Akhirnya mereka pun tidak ada yang datang, tetapi meminta Diah mengirim SMS yang isinya mengucapkan selamat menempuh hidup baru.

Diah heran dengan kehidupan yang ada di sekitarnya. Banyak pengemis yang datang ke kos mahasiswa; jumlah mereka sangat banyak, mencapai puluhan, seperti terorganisir, karena mereka datang setiap pagi naik mobil hitam dengan bak terbuka dan pulang setiap soren dengan mobil yang sama.

Oleh dosennya, Diah mendapat tugas untuk melakukan penelitian tentang para pengemis yang sering beroperasi di sekitar kampusnya. Menurut dosennya, para pengemis tersebut terorganisasi secara rapi berasal dari satu wilayah yang sama, yaitu sebuah desa di sebuah kabupaten di selatan pulau Jawa.

Diah pun berangkat pada minggu pagi bersama beberapa teman yang juga asisten dosen. Mereka pergi pada hari minggu karena pada hari itu tidak ada pengemis yang beroperasi di sekitar kampus; menurut dosen mereka, para pengemis tersebut istirahat setiap hari minggu. Mereka diberi bekal alamat seseorang yang menjadi ketua dari serikat pengemis tersebut. Mereka menempuh perjalanan selama beberapa jam dari kampusnya yang terletak di ujung barat kota Surakarta.

Begitu sampai di desa tersebut, mereka langsung mencari alamat rumah yang diberikan oleh dosennya sebelum berang. Mereka hendak menemui ketua serikat pengemis tersebut untuk mewancarainya, terkait posisinya sebagai ketua serikat pengemis dan meminta izinnya untuk mewancarai para pengemis yang menjadi anak buahnya. Mereka semua heran melihat kondisi lingkungan desa pengemis itu, karena tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Menurut bayangan mereka, desa pengemis itu pasti kondisinya memprihatinkan, ternyata bayangan mereka salah. Rumah para rata-rata bertembok, bahkan terlihat banyak rumah yang di sampingnya berdiri tegak antenna televise. Di depan beberapa rumah pun terpakir sepeda motor keluaran terbaru.

Setelah bertanya pada seorang ibu pemilik warung, mereka akhirnya menuju ke rumah yang paling mewah di desa tersebut. Rumah tersebut bertingkat dua, dengan toko kelontong yang lumayan besar di depannya. Sebuah pArabola juga menghiasi atapnya Di garasinya terparkir sebuah sepeda motor yang belum ada plat nomornya. Di sampingnya juga ada sebuah mobil hitam dengan bak terbuka yang sering dipakai untuk mengantarkan para pengemis beroperasi disekitar kampus setiap hari.

Mereka yakin bahwa ini adalah rumah sang ketua. Mereka pun segera mengetuk pintu, karena tak seorang pun yang ada di toko kelontong depan rumah.

“Assalamualaikum” kata Diah memberi salam.

“Wa’alaikum salam. Maaf, mencari siapa ya” keluar seorang ibu berusia empat puluhan menyambut kami.

“Apakah benar bahwa ini rumah Bapak Sudjarwo. Kami berkunjung ke sini untuk mewancarai beliau” Tanya Diah.

“Ya benar, ini rumah Bapak Sudjarwo. Kebetulan bapaknya ada. Saya panggilkan dulu. Silahkan duduk dulu” kata ibu tersebut. Setelah mempersilahkan duduk, ibu tersebut segera masuk dan terdengar suaranya memanggil Pak Sudjarwo.

Diah dan teman-temannya melihat isi rumah itu. Hampir semua isinya merupakan barang mewah, yang di rumah Diah pun jelas jelas tak ada, seprti keramik, kursi dari kayu jati, dan lampu gantung yang besar dan indah. Mereka semua penasaran, seperti aPakah bapak sujarwo, ketua serikat pengemis yang akan mereka wawancarai itu.

Tak lama kemudian keluarlah seorang tua naik kursi roda didorong seorang anak kecil. Diah dan teman-temannya kaget melihat mereka karena mereka sangat kenal dengan wajah kedua orang itu, bahkan setiap hari bertemu dengan mereka di gerbang kampus.

“Maaf, apa benar ini Bapak Soedjarwo…?” Tanya Diah ragu-ragu

“Benar, saya sendiri Pak Soedjarwo. Panggil saja saya Pak Djarwo. Ada yang bisa saya bantu” kata orang itu.

Diah dan teman-temannya diam; tidak ada yang mampu bertanya begitu mengetahui bahwa pengemis yang sering mengemis di depan gerbang kampus mereka sedang duduk di hadapan mereka.


0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP