Kenapa Anak Ramai dan Enggan Belajar di Kelas

>> Selasa, 29 September 2009

Mendidik anak-anak di sekolah formal adalah tantangan bagi para guru. Banyak guru yang tidak bisa mengendalikan anak didiknya yang masih kecil (TK atau SD) sehingga kelas mereka menjadi ramai dan mereka tidak memperhatikan pelajaran yang diberikan. Kegagalan guru dalam mengendalikan anak didiknya yang masih kecil bisa disebabkan karena salah perlakuan (mistreatment) terhadap mereka. Anak-anak yang masih kecil (TK atau SD kelas 1 dan 2) cenderung sulit dikendalikan karena mereka belum memahami urgensi bersekolah.

Menurut Harlock, anak yang berusia enam tahun digolongkan pada akhir masa kanak-kanak (late chilhood). Akhir masa kanak-kanak ini berlangsung dari usia enam tahun sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar tiga belas tahun bagi anak perempuan, dan empat belas tahun bagi anak laki-laki. Oleh orang tua disebut usia yang menyulitkan “tidak rapih”, atau usia “bertengkar”. Oleh para pendidik disebut usia “sekolah dasar”. Dan oleh para ahli psikologi disebut sebagai “usia berkelompok”, atau “usia penyesuaian”, atau ”usia kreatif ”. (Harlock, 1978:178)

Dalam masa ini, karena anak sudah sekolah dan mempunyai pekerjaan rumah, waktu untuk bermain lebih sedikit dibandingkan ketika ia masih dalam masa-masa prasekolah. Namun, bermain merupakan aktifitas yang dianggap penting bagi perkembangan fisik dan psikologis sehingga semua anak diberi waktu dan kesemptan untuk bermain dan juga didorong untuk bermain.

Masa kanak-kanak seringkali disebut usia bermain oleh ahli psikologi, bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain dari periode-periode lain-hal mana yang tidak dimungkinkan lagi apabila anak-anak sudah sekolah-melainkan karena terdapat tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain (Hurlock: 1978:148).

Secara fisik, anak kelas satu SD adalah sama dengan anak TK, tetapi mereka sudah memiliki kegiatan yang berbeda, yang mana kegiatan di TK adalah hanya bermain, sedang di SD sudah mulai mendapat beban pelajaran. Meskipun demikian, sifat-sifat dan kebiasaan yang ada sewaktu TK belum dapat dihilangkan begitu saja pengaruhnya dari diri anak.

Dalam dunia anak, sebenarnya antara belajar dan bermain adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan. Karena sebenarnya mereka bisa belajar dari bermain itu sendiri. Tidak ada bisa memaksakan mereka seperti dunia orang dewasa seperti mengatakan ini waktu untuk bermain, ini waktu untuk belajar. Peran orang tua dan guru yang sangat penting sehingga mampu menyelipkan pelajaran dalam permainan itu sendiri.

Anak-anak mempunyai karakter dan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri anak pada masa akhir anak-anak (Sujanto, 1984: 44-45) adalah sebagai berikut:

  1. Egosentris, artinya segala sesuatu ingin dipusatkan kepada dirinya, dan demi kepentingannya. Ia menuntut agar seluruh li ngkungn dibawah kekuasaannya.

  2. Selalu menentang, membantah segala permintaan, suruhan, larangan, anjuran, dsb yang dating dari siapapun.

  3. Selalu berusaha menarik perhatian. Semua orang yang ada disekitarnya harus memperhatikannya.

  4. Selalu meminta untuk dihargai, dipuji, dan tidak mau dicela dan dipersalahkan atau dianggap tidak mampu.

  5. Selalu menuntut adanya kebebasan.

  6. Keberanian bertambah dan rasa takut mulai berkurang.

Pola emosi yang umum terbentuk dalam akhir masa kanak-kanak ini, adalah anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar. Ledakan amarah menjadi jarng karena anak mengetahui bahwa tindakan semacam itu dianggap seperti perilku bayi. Anak-anak pun menunjukkan perilaku yang bermacam terhadap lingkungan dan tugas, ada yang rendah diri dan sebaliknya ada yang sangat percaya diri.


Karena dalam satu kelas anak-anaknya mempunyai sifat dan kebiasaan yang heterogen, maka guru tidak boleh memberikan perlakuan yang sama. Akan tetapi kebanyak guru tidak memahami hal tersebut yang cenderung menangap bahwa semua persoalan di kelas adalah sama dan cukup diselesaikan dengan satu cara atau metode. Hal tersebut sebenarnya juga berkaitan dengan kekurangpahaman para guru untuk bergaul dengan anak didiknya yang masih terlalu kecil.

Persepsi umum atau pandangan konvensional yang masih dianut oleh sebagian besar sistem pendidikan di Indonesia adalah pengajar sebagai sumber ilmu utama (main source) sehingga kelas bersifat pasif dan hal ini mempengaruhi kedinamisan kelas (Jumali, 2004:9). Kondisi kelas yang monoton dan membosankan karena guru yang kurang dinamis dan inovasi dapat mempengaruhi minat anak-anak untuk belajar secara seksama dan penuh perhatian sehingga pelajaran yang diberikan menjadi tidak terserap secara maksimal.

Secara umum, hal yang menjadi faktor penghambat dalam mengajar adalah ketidaksesuaian antara metode pembelajaran dengan kondisi anak-anak di kelas, yang mana hal tersebut bisa mempengaruhi minat anak-anak untuk datang ke sekolah (D. Gunarsa, 1988:126).

Guru yang terlalu kaku dan textbookish dalam mengajar akan menyebabkan anak-anak menjadi tidak leluasa dalam mengekspresikan dirinya di dalam kelas secara bebas sesuai dengan karakteristiknya. Pada dasarnya, anak-anak mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu, yang mana hal ini berkaitan erat dengan faktor psikologis mereka (Jumali, 2004:11).

Pada dasarnya, setiap anak harus didorong untuk memaksimalkan potensi mereka (Wall, 2003:1). Anak-anak yang tidak leluasa dalam mengekspresikan dirinya di dalam kelas secara bebas akan mempunyai kepercayaan diri yang rendah.




Mendidik anak-anak di sekolah formal adalah tantangan bagi para guru. Banyak guru yang tidak bisa mengendalikan anak didiknya yang masih kecil (TK atau SD) sehingga kelas mereka menjadi ramai dan mereka tidak memperhatikan pelajaran yang diberikan. Kegagalan guru dalam mengendalikan anak didiknya yang masih kecil bisa disebabkan karena salah perlakuan (mistreatment) terhadap mereka. Anak-anak yang masih kecil (TK atau SD kelas 1 dan 2) cenderung sulit dikendalikan karena mereka belum memahami urgensi bersekolah.

Menurut Harlock, anak yang berusia enam tahun digolongkan pada akhir masa kanak-kanak (late chilhood). Akhir masa kanak-kanak ini berlangsung dari usia enam tahun sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar tiga belas tahun bagi anak perempuan, dan empat belas tahun bagi anak laki-laki. Oleh orang tua disebut usia yang menyulitkan “tidak rapih”, atau usia “bertengkar”. Oleh para pendidik disebut usia “sekolah dasar”. Dan oleh para ahli psikologi disebut sebagai “usia berkelompok”, atau “usia penyesuaian”, atau ”usia kreatif ”. (Harlock, 1978:178)

Dalam masa ini, karena anak sudah sekolah dan mempunyai pekerjaan rumah, waktu untuk bermain lebih sedikit dibandingkan ketika ia masih dalam masa-masa prasekolah. Namun, bermain merupakan aktifitas yang dianggap penting bagi perkembangan fisik dan psikologis sehingga semua anak diberi waktu dan kesemptan untuk bermain dan juga didorong untuk bermain.

Masa kanak-kanak seringkali disebut usia bermain oleh ahli psikologi, bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain dari periode-periode lain-hal mana yang tidak dimungkinkan lagi apabila anak-anak sudah sekolah-melainkan karena terdapat tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain (Hurlock: 1978:148).

Secara fisik, anak kelas satu SD adalah sama dengan anak TK, tetapi mereka sudah memiliki kegiatan yang berbeda, yang mana kegiatan di TK adalah hanya bermain, sedang di SD sudah mulai mendapat beban pelajaran. Meskipun demikian, sifat-sifat dan kebiasaan yang ada sewaktu TK belum dapat dihilangkan begitu saja pengaruhnya dari diri anak.

Dalam dunia anak, sebenarnya antara belajar dan bermain adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan. Karena sebenarnya mereka bisa belajar dari bermain itu sendiri. Tidak ada bisa memaksakan mereka seperti dunia orang dewasa seperti mengatakan ini waktu untuk bermain, ini waktu untuk belajar. Peran orang tua dan guru yang sangat penting sehingga mampu menyelipkan pelajaran dalam permainan itu sendiri.

Anak-anak mempunyai karakter dan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri anak pada masa akhir anak-anak (Sujanto, 1984: 44-45) adalah sebagai berikut:

  1. Egosentris, artinya segala sesuatu ingin dipusatkan kepada dirinya, dan demi kepentingannya. Ia menuntut agar seluruh li ngkungn dibawah kekuasaannya.

  2. Selalu menentang, membantah segala permintaan, suruhan, larangan, anjuran, dsb yang dating dari siapapun.

  3. Selalu berusaha menarik perhatian. Semua orang yang ada disekitarnya harus memperhatikannya.

  4. Selalu meminta untuk dihargai, dipuji, dan tidak mau dicela dan dipersalahkan atau dianggap tidak mampu.

  5. Selalu menuntut adanya kebebasan.

  6. Keberanian bertambah dan rasa takut mulai berkurang.

Pola emosi yang umum terbentuk dalam akhir masa kanak-kanak ini, adalah anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar. Ledakan amarah menjadi jarng karena anak mengetahui bahwa tindakan semacam itu dianggap seperti perilku bayi. Anak-anak pun menunjukkan perilaku yang bermacam terhadap lingkungan dan tugas, ada yang rendah diri dan sebaliknya ada yang sangat percaya diri.


Karena dalam satu kelas anak-anaknya mempunyai sifat dan kebiasaan yang heterogen, maka guru tidak boleh memberikan perlakuan yang sama. Akan tetapi kebanyak guru tidak memahami hal tersebut yang cenderung menangap bahwa semua persoalan di kelas adalah sama dan cukup diselesaikan dengan satu cara atau metode. Hal tersebut sebenarnya juga berkaitan dengan kekurangpahaman para guru untuk bergaul dengan anak didiknya yang masih terlalu kecil.

Persepsi umum atau pandangan konvensional yang masih dianut oleh sebagian besar sistem pendidikan di Indonesia adalah pengajar sebagai sumber ilmu utama (main source) sehingga kelas bersifat pasif dan hal ini mempengaruhi kedinamisan kelas (Jumali, 2004:9). Kondisi kelas yang monoton dan membosankan karena guru yang kurang dinamis dan inovasi dapat mempengaruhi minat anak-anak untuk belajar secara seksama dan penuh perhatian sehingga pelajaran yang diberikan menjadi tidak terserap secara maksimal.

Secara umum, hal yang menjadi faktor penghambat dalam mengajar adalah ketidaksesuaian antara metode pembelajaran dengan kondisi anak-anak di kelas, yang mana hal tersebut bisa mempengaruhi minat anak-anak untuk datang ke sekolah (D. Gunarsa, 1988:126).

Guru yang terlalu kaku dan textbookish dalam mengajar akan menyebabkan anak-anak menjadi tidak leluasa dalam mengekspresikan dirinya di dalam kelas secara bebas sesuai dengan karakteristiknya. Pada dasarnya, anak-anak mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu, yang mana hal ini berkaitan erat dengan faktor psikologis mereka (Jumali, 2004:11).

Pada dasarnya, setiap anak harus didorong untuk memaksimalkan potensi mereka (Wall, 2003:1). Anak-anak yang tidak leluasa dalam mengekspresikan dirinya di dalam kelas secara bebas akan mempunyai kepercayaan diri yang rendah.




0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP