ANTI DE-SAKRALISASI AL QURAN

>> Kamis, 01 Oktober 2009

Salah satu wacana yang dikembangkan oleh para penganut Islam liberal dewasa ini adalah tentang desakralisasi Al Qur’an. Banyak tokoh Islam liberal, yang sering menganggap dirinya sebagai Islam modern, bahwa sebagian hukum syariat Islam dan Al Qur’an bersifat teksual’ sebagai misal, hukum Islam yang sudah masyhur mengenai kewajiban menutup aurot bagi wanita, hijab, dan hukuman had dalam Islam (Al Qur’an dan Sunnah) adalah bersifat kearaban atau terpengaruh oleh tradisi Arab. Hal tersebut karena disebabkan (dalam pandangan Liberalis, Sekuleris, dan Pluralis) bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diturunkan di Jazirah Arab, sehingga konteksnya pun kearab-araban. Karena Islam diturunkan di Arab dan bersifat kearab-araban, maka, Islam yang berada di luar jazirah arab tidak perlu mengikuti ‘kebiasaan’ tersebut, padahal Islam adalah agama yang bersifat universal (rahmatan lil ‘alamin), maka, segala perkara yang ‘dianggap’ bersifat temporal dan kedaerahan, harus disingkirkan atau di’revisi’, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat universalitas Islam itu sendiri. Demikian adalah logikanya bagi orang yang hendak merubah syariat Islam yang sudah qoth’i ini.
Bagi orang-orang yang berpikir ala orientalis dan beranggapan bahwa orang-orang Islam saat ini adalah kaku dan tidak kreatif dalam menafsirkan ayat Al Qur’an, sehingga mereka berani menafsirkan ayat Allah sesuai dengan hawa nafsu mereka sendiri, Islam yang sekarang sudah tidak representative dan tidak bisa mengikuti perkembangan jaman (ala barat) dan memberi solusi terhdap kehidupan (ala barat).
Di dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 3 Allah ta’ala berfirman:
“…pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu”…. Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir II terkait dengan ayat ini dikatakan“…maka ridhailah Islam untuk untuk dirimu karena ia merupakan agama yang diridhai Allah dan dibawa oleh rasul yang paling utama dan dikandung oleh kitab-Nya yang paling mulia. Setelah turun ayat ini, kaum mukmin yang muslim tidak memerlukan tambahan apa pun. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan Islam maka jangan pernah kamu menguranginya. Sesungguhnya Dia telah meridhainya maka jangan pernah kamu membencinya. Ayat ini diturunkan pada Hari Arafah. Setelah ayat itu, tidak ditrunkan lagi ayat yang menyangkut hokum halal dan haram…” (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya Muhamad Nasib Ar Rifai, Hal 36-37). Apabila ada orang Islam yang berani mengubah syariat Islam atau mengatakan bahwa syariat Islam sudah tidak sesuai, maka ada satu ungkapan untuk menjawab pernyataan tersebut, yaitu apakah manusia yang menuruti hukum (agama) atau hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Dengan melihat kecenderungan tokoh-tokoh yang berani mengubah Islam atau mengatakan bahwa Islam sudah tidak sesuai dan harus direvisi, maka ungkapan yang tepat bagi mereka adalah hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Apabila diruntut mengenai adanya pengaruh tradisi Arab dalam syariat Islam, seperti masalah menutup aurot (jilbab dan cadar), maupun hukum had seperti rajam dan potong tangan sebagai pengaruh dari ‘Arab”, akan muncul pertanyaan, apakah sebelum Islam datang, ‘tradisi’ tersebut sudah ada sebelumnya?
Sebelum Islam datang, bukan rahasia umum apabila dulu, di jaman Jahiliah, para wanita bertelanjang ketika berthawaf di Baitullah, bahkan mereka pun dalam kesehariannya tidak mengenakan jilbab. Sesudah Islam datang, maka kebiasaan yang jahil itu pun dirubah dengan tuntutan syri’at Islam, tidak ada lagi wanita yang thawaf dengan telanjang dan mereka pun menjulurkan jilbabnya hingga menutupi dada mereka.
Orientalis mungkin menganggap bahwa Tuhan mungkin terlalu subjektif dengan menjadikan kiblat sholat orang Islam adalah berada di Jazirah Arab (Makkah) atau kenapa kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab, atau nabi dan rasul terakhir dari kalangan Arab, sehingga menghasilkan rumusan bahwa Islam adalah berbau Arab, kelihatannya sangat logis. Tetapi, pertanyaan yang kelihatannya logis ini sebenarnya mengandung kelemahan yang fatal, karena nantinya akan muncul pula pertanyaan lain yang menggelitik akal manusia, seperti kenapa Yesus harus dilahirkan dari wanita yang bernama maria, lalu kenapa harus hidup dan besar dengan cara orang-orang Yahudi, berbicara dalam bahasa orang Yahudi, lalu kemudian mempunyai murid (12 orang) yang “bertugas” di kalangan Yahudi saja. Bukankah semua itu juga subjektif. Kemudian orang Yahudi berkeyakinan bahwa mereka merupakan ras yang terunggul dan berhak atas tanah Palestina, bukankah keyakinan seperti itu juga bersifat subjektif. Apabila pertanyaan seperti diatas diterapkan pada semua perkara, maka akan muncul pertanyaan kenapa air harus mendidih pada suhu 100 derajat celcius, atau kenapa satu hari adalah 24 jam, kenapa gula adalah manis, kenapa udara tersusun 79% Nitrogen dan 20% Oksigen.
Apakah Tuhan juga subjektif ketika menentukan itu semua?
Kepuasan akal manusia dalam bertanya tidak akan pernah tercapai sampai ia menemui kematiannya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan akal manusia tidak akan cukup untuk memahami rahasia firman Tuhan.. Apabila dipertanyakan kenapa Al Qur’an turun di Arab dan berbahasa Arab, maka, seandainya Al Quran diturunkan dalam bahasa Inggris dan di Tanah Inggris pun (padahal tidak mungkin), bagi orang-orang yang tidak memilki hakikat keimanan, tetap saja akan mempertanyakannya.
Orang liberal adalah orang yang menganggap dirinya obejkitf dalam memandang hukum Islam, padahal, kalau mereka mau memperhatikan diri mereka sendiri, mereka sebenarnya juga termasuk orang yang sangat subjektif.. Apabila mereka menganggap bahwa sebagian syariat islam dan konteks Al Quran adalan bersifat Arab, sehingga mereka yang tinggal di masa yang berbeda dengan masa dahulu dan berada di luar Arab, bisa mengambil Islam yang tidak berbau Arab, maka pertanyaanya adalah, metode apa yang mereka gunakan untuk mengatakan bahwa bagian syariat ‘ini’ bersifat kearab-araban, sedangkan syariat yang ‘itu’ bersifat universal. Tidak ada bedanya mereka dengan orang Arab jahiliah dulu yang menetapkan atau mengharamkan unta-unta tertentu karena untuk Allah, atau mengatakan bahwa bagi mereka adalah anak laki-laki, sedang bagi Allah adalah anak perempuan.
Apabila mereka sekarang sudah berani mengatakan jilbab atau rajam bersifat Arab, jangan-jangan mereka nanti berani mengatakan bahwa sholat, puasa, zakat, dan juga haji juga bersifat kearab-araban. Apakah mereka mempunyai otoritas untuk mengubah syariat? Tentu saja tidak. Mungkin mereka berargumen bahwa dahulu, Nabi Muhammad datng untuk membawa perubahan, sehingga kita sebagai umatnya juga harus melakukan perubahan, tidak boleh hanya terikat pada ajaran atau teks-teks al qur’an, tidak kreatif dalam beritjihad, taklid kepada ulama terdahulu yang hidup dalam kondisi yang berebeda dengan kondisi sekarang. Ironisnya lagi, mereka sering memuji nabi Muhammad sebagai revolusioner sejati. Sebenarnya yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar mencari topeng (jusitfikasi) saja, karena apabila mereka “merasa” dengan merubah syariat yang sudah baku ini sebagi suatu terobosan yang luar biasa, maka, sebenarnya mereka telah menghina Nabi Muhamad Saw, karena mereka berarti mengingkari ajaran yang sudah disampaikannya.
Renungan terhadap pernyataan seperti diatas haruslah ditimbang dengan pikiran yang masak. Mungkin mereka mengira bahwa dengan belajar Islam ke Barat, maka mereka akan mempelajari Islam dengan objektif, karena ilmuwan barat mempelajari islam dalam kapasitasnya sebagai ilmu pengetahuan saja. Padahal, apabila disimak lebih lanjut, mereka, orang Barat orientalis yang mempelajari Islam dan mengajarkan islam kepada orang Islam di unversitas-universitas Barat terkemuka, mempunyai masalah yang serius dengan keimanan. Mereka mempelajari Islam bukan atas dasar keimanan, tetapi atas dasar ingin tahu atau keilmuan saja. Misal, mereka membicarakan masalah junub, tetapi apakah mereka pernah mandi junub, bahkan mungkin tidak menyakini kewajiban mandi junub. Mereka membicarakan, mengajarkan, dan bahkan mungkin berusaha menyakinkan seseorang dengan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut sebenarnya tidak pernah mereka menyakininya.
Dan bagi orang Islam yang belajar Islam kepada orang semacam mereka, apakah mereka akan menjadi objektif dalam mempelajri hukum Islam. Tentu saja tidak, kenapa, karena hukum Islam itu bukan sekedar masalah penilaian subjektif atau objektif, tetapi adalah masalah keimanan (perintah Tuhan). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, buat apa seseorang mempelajari Islam apabila tidak digunakan untuk menambah keimanan dalam menjalankan syariat. Apabila mengatakan dengan alasan objektifitas, objektifitas itu tidaklah diukur dengan cara belajar kepada orang yang tidak menyakini islam. objektifitas seharusya diukur dengan sebuah patokan, dan kemudian ketika muncul masalah dan berbagai pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat yang paling mendekati kepada patokan. Dan yang pantas untuk dijadikan sebagai patokan dalam Islam adalah Nabi Muhammad saw, para Shahabat, kemudia para Tabi’in (Generasi Salaf). Tidak logis kalau Islam munculnya di Timur Tengah, tetapi kita mencarinya di Barat.
Contoh orang yang objektif dalam berislam adalah, misal, seorang yang bermadhab Syafii, terbuka terhadap pemirikran madhab lain, sehingga ketika mendapai suatu hujjah yang digunakan madhab lain ternyata lebih kuat (rojih)dan lebih mendekati kepada rasul daripada yang digunakan Madhab Syafii, maka diapun menerimanya, karena, pada dasarnya, tak seorang ulama madhab pun yang berniat menyelisihi Rasulullah, sebagai patokan utama dalam Islam.

Salah satu wacana yang dikembangkan oleh para penganut Islam liberal dewasa ini adalah tentang desakralisasi Al Qur’an. Banyak tokoh Islam liberal, yang sering menganggap dirinya sebagai Islam modern, bahwa sebagian hukum syariat Islam dan Al Qur’an bersifat teksual’ sebagai misal, hukum Islam yang sudah masyhur mengenai kewajiban menutup aurot bagi wanita, hijab, dan hukuman had dalam Islam (Al Qur’an dan Sunnah) adalah bersifat kearaban atau terpengaruh oleh tradisi Arab. Hal tersebut karena disebabkan (dalam pandangan Liberalis, Sekuleris, dan Pluralis) bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diturunkan di Jazirah Arab, sehingga konteksnya pun kearab-araban. Karena Islam diturunkan di Arab dan bersifat kearab-araban, maka, Islam yang berada di luar jazirah arab tidak perlu mengikuti ‘kebiasaan’ tersebut, padahal Islam adalah agama yang bersifat universal (rahmatan lil ‘alamin), maka, segala perkara yang ‘dianggap’ bersifat temporal dan kedaerahan, harus disingkirkan atau di’revisi’, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat universalitas Islam itu sendiri. Demikian adalah logikanya bagi orang yang hendak merubah syariat Islam yang sudah qoth’i ini.
Bagi orang-orang yang berpikir ala orientalis dan beranggapan bahwa orang-orang Islam saat ini adalah kaku dan tidak kreatif dalam menafsirkan ayat Al Qur’an, sehingga mereka berani menafsirkan ayat Allah sesuai dengan hawa nafsu mereka sendiri, Islam yang sekarang sudah tidak representative dan tidak bisa mengikuti perkembangan jaman (ala barat) dan memberi solusi terhdap kehidupan (ala barat).
Di dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 3 Allah ta’ala berfirman:
“…pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu”…. Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir II terkait dengan ayat ini dikatakan“…maka ridhailah Islam untuk untuk dirimu karena ia merupakan agama yang diridhai Allah dan dibawa oleh rasul yang paling utama dan dikandung oleh kitab-Nya yang paling mulia. Setelah turun ayat ini, kaum mukmin yang muslim tidak memerlukan tambahan apa pun. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan Islam maka jangan pernah kamu menguranginya. Sesungguhnya Dia telah meridhainya maka jangan pernah kamu membencinya. Ayat ini diturunkan pada Hari Arafah. Setelah ayat itu, tidak ditrunkan lagi ayat yang menyangkut hokum halal dan haram…” (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya Muhamad Nasib Ar Rifai, Hal 36-37). Apabila ada orang Islam yang berani mengubah syariat Islam atau mengatakan bahwa syariat Islam sudah tidak sesuai, maka ada satu ungkapan untuk menjawab pernyataan tersebut, yaitu apakah manusia yang menuruti hukum (agama) atau hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Dengan melihat kecenderungan tokoh-tokoh yang berani mengubah Islam atau mengatakan bahwa Islam sudah tidak sesuai dan harus direvisi, maka ungkapan yang tepat bagi mereka adalah hukum (agama) yang mengikuti kemauan keinginan (nafsu) manusia.
Apabila diruntut mengenai adanya pengaruh tradisi Arab dalam syariat Islam, seperti masalah menutup aurot (jilbab dan cadar), maupun hukum had seperti rajam dan potong tangan sebagai pengaruh dari ‘Arab”, akan muncul pertanyaan, apakah sebelum Islam datang, ‘tradisi’ tersebut sudah ada sebelumnya?
Sebelum Islam datang, bukan rahasia umum apabila dulu, di jaman Jahiliah, para wanita bertelanjang ketika berthawaf di Baitullah, bahkan mereka pun dalam kesehariannya tidak mengenakan jilbab. Sesudah Islam datang, maka kebiasaan yang jahil itu pun dirubah dengan tuntutan syri’at Islam, tidak ada lagi wanita yang thawaf dengan telanjang dan mereka pun menjulurkan jilbabnya hingga menutupi dada mereka.
Orientalis mungkin menganggap bahwa Tuhan mungkin terlalu subjektif dengan menjadikan kiblat sholat orang Islam adalah berada di Jazirah Arab (Makkah) atau kenapa kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab, atau nabi dan rasul terakhir dari kalangan Arab, sehingga menghasilkan rumusan bahwa Islam adalah berbau Arab, kelihatannya sangat logis. Tetapi, pertanyaan yang kelihatannya logis ini sebenarnya mengandung kelemahan yang fatal, karena nantinya akan muncul pula pertanyaan lain yang menggelitik akal manusia, seperti kenapa Yesus harus dilahirkan dari wanita yang bernama maria, lalu kenapa harus hidup dan besar dengan cara orang-orang Yahudi, berbicara dalam bahasa orang Yahudi, lalu kemudian mempunyai murid (12 orang) yang “bertugas” di kalangan Yahudi saja. Bukankah semua itu juga subjektif. Kemudian orang Yahudi berkeyakinan bahwa mereka merupakan ras yang terunggul dan berhak atas tanah Palestina, bukankah keyakinan seperti itu juga bersifat subjektif. Apabila pertanyaan seperti diatas diterapkan pada semua perkara, maka akan muncul pertanyaan kenapa air harus mendidih pada suhu 100 derajat celcius, atau kenapa satu hari adalah 24 jam, kenapa gula adalah manis, kenapa udara tersusun 79% Nitrogen dan 20% Oksigen.
Apakah Tuhan juga subjektif ketika menentukan itu semua?
Kepuasan akal manusia dalam bertanya tidak akan pernah tercapai sampai ia menemui kematiannya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan akal manusia tidak akan cukup untuk memahami rahasia firman Tuhan.. Apabila dipertanyakan kenapa Al Qur’an turun di Arab dan berbahasa Arab, maka, seandainya Al Quran diturunkan dalam bahasa Inggris dan di Tanah Inggris pun (padahal tidak mungkin), bagi orang-orang yang tidak memilki hakikat keimanan, tetap saja akan mempertanyakannya.
Orang liberal adalah orang yang menganggap dirinya obejkitf dalam memandang hukum Islam, padahal, kalau mereka mau memperhatikan diri mereka sendiri, mereka sebenarnya juga termasuk orang yang sangat subjektif.. Apabila mereka menganggap bahwa sebagian syariat islam dan konteks Al Quran adalan bersifat Arab, sehingga mereka yang tinggal di masa yang berbeda dengan masa dahulu dan berada di luar Arab, bisa mengambil Islam yang tidak berbau Arab, maka pertanyaanya adalah, metode apa yang mereka gunakan untuk mengatakan bahwa bagian syariat ‘ini’ bersifat kearab-araban, sedangkan syariat yang ‘itu’ bersifat universal. Tidak ada bedanya mereka dengan orang Arab jahiliah dulu yang menetapkan atau mengharamkan unta-unta tertentu karena untuk Allah, atau mengatakan bahwa bagi mereka adalah anak laki-laki, sedang bagi Allah adalah anak perempuan.
Apabila mereka sekarang sudah berani mengatakan jilbab atau rajam bersifat Arab, jangan-jangan mereka nanti berani mengatakan bahwa sholat, puasa, zakat, dan juga haji juga bersifat kearab-araban. Apakah mereka mempunyai otoritas untuk mengubah syariat? Tentu saja tidak. Mungkin mereka berargumen bahwa dahulu, Nabi Muhammad datng untuk membawa perubahan, sehingga kita sebagai umatnya juga harus melakukan perubahan, tidak boleh hanya terikat pada ajaran atau teks-teks al qur’an, tidak kreatif dalam beritjihad, taklid kepada ulama terdahulu yang hidup dalam kondisi yang berebeda dengan kondisi sekarang. Ironisnya lagi, mereka sering memuji nabi Muhammad sebagai revolusioner sejati. Sebenarnya yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar mencari topeng (jusitfikasi) saja, karena apabila mereka “merasa” dengan merubah syariat yang sudah baku ini sebagi suatu terobosan yang luar biasa, maka, sebenarnya mereka telah menghina Nabi Muhamad Saw, karena mereka berarti mengingkari ajaran yang sudah disampaikannya.
Renungan terhadap pernyataan seperti diatas haruslah ditimbang dengan pikiran yang masak. Mungkin mereka mengira bahwa dengan belajar Islam ke Barat, maka mereka akan mempelajari Islam dengan objektif, karena ilmuwan barat mempelajari islam dalam kapasitasnya sebagai ilmu pengetahuan saja. Padahal, apabila disimak lebih lanjut, mereka, orang Barat orientalis yang mempelajari Islam dan mengajarkan islam kepada orang Islam di unversitas-universitas Barat terkemuka, mempunyai masalah yang serius dengan keimanan. Mereka mempelajari Islam bukan atas dasar keimanan, tetapi atas dasar ingin tahu atau keilmuan saja. Misal, mereka membicarakan masalah junub, tetapi apakah mereka pernah mandi junub, bahkan mungkin tidak menyakini kewajiban mandi junub. Mereka membicarakan, mengajarkan, dan bahkan mungkin berusaha menyakinkan seseorang dengan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut sebenarnya tidak pernah mereka menyakininya.
Dan bagi orang Islam yang belajar Islam kepada orang semacam mereka, apakah mereka akan menjadi objektif dalam mempelajri hukum Islam. Tentu saja tidak, kenapa, karena hukum Islam itu bukan sekedar masalah penilaian subjektif atau objektif, tetapi adalah masalah keimanan (perintah Tuhan). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, buat apa seseorang mempelajari Islam apabila tidak digunakan untuk menambah keimanan dalam menjalankan syariat. Apabila mengatakan dengan alasan objektifitas, objektifitas itu tidaklah diukur dengan cara belajar kepada orang yang tidak menyakini islam. objektifitas seharusya diukur dengan sebuah patokan, dan kemudian ketika muncul masalah dan berbagai pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat yang paling mendekati kepada patokan. Dan yang pantas untuk dijadikan sebagai patokan dalam Islam adalah Nabi Muhammad saw, para Shahabat, kemudia para Tabi’in (Generasi Salaf). Tidak logis kalau Islam munculnya di Timur Tengah, tetapi kita mencarinya di Barat.
Contoh orang yang objektif dalam berislam adalah, misal, seorang yang bermadhab Syafii, terbuka terhadap pemirikran madhab lain, sehingga ketika mendapai suatu hujjah yang digunakan madhab lain ternyata lebih kuat (rojih)dan lebih mendekati kepada rasul daripada yang digunakan Madhab Syafii, maka diapun menerimanya, karena, pada dasarnya, tak seorang ulama madhab pun yang berniat menyelisihi Rasulullah, sebagai patokan utama dalam Islam.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP