ISLAM ABU-ABU

>> Kamis, 01 Oktober 2009

Perdebatan apakah Islam hanya mengurusi masalah akhirat saja atau juga mengurusi masalah dunia telah menjadi wacana yang serius untuk dicermati, karena dalam sejarah Islam sebenarnya tidak ada pemisahan antara agama dan Negara. Istilah theokrasi yang diartikan sebagai Negara agama di barat hanya tepat jika untuk menjelaskan Negara agama dalam terminology barat saja, seperti Negara gereja vatikan. Bentuk daulah atau khilafah Islamiyah tidak bisa disebut dengan nama Negara agama atau theokrasi dalam pengertian barat, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara konsep Negara gereja dan daulah atau khilafah Islamiyah.
Dalam Negara gereja, agama menjadi senjata untuk menjustifikasi keputusan-keputusan yang dibuat oleh gereja dan dianggap sebagai hukum, padahal gereja sebenarnya tidak punya referansi atau landasan jurisprudensi dari alkitab mengenai masalah tersebut, sebut saja masalah selibat. Semua keputusan gereja adalah atas nama agama; gereja adalah otoritas tunggal dalam menentukan benar atau salah terhadap sesuatu, sehingga gereja bisa bersifat semena (arbitrary) dalam menentukan suatu masalah.
Dalam Islam, konsep pembuatan hukum seperti di Negara gereja tidak dikenal, meski hukum yang dibuat diatasnamakan agama, tetapi dalam proses penentuannya harus berlandaskan suatu referensi utama yang disepakati bersama oleh umat Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah, sehingga hasil keputusan pemerintah Islam bisa dipertanggungjawabkan secara theologies.
Menurut Dr.Emad Eldin Shahin dalam disertasinya yang berjudul “Through Muslim Eyes: M Rashid Rida and The West” (1993) ada tiga golongan umat Islam, yaitu kelompok orthodox yang hanya membanggakan masa lalu umat Islam dan menolak apapun dari barat, yang kedua kelompok sekular yang menolak hukum Islam karena dianggap menghambat kemajuan dan berusaha mengadopsi nilai-nilai barat tanpa kritik, dan ketiga, kelompok reformis yang berusaha menghidupkan kembali kejayaan umat Islam dan bersedia mengadopsi nilai-nilai dari barat yang positif.
Untuk masyarakat muslim di Indonesia, perlu dibuat entitas baru lagi, yaitu kelompok tradisional dan progressif sekuler. Kedua kelompok ini berasal dari kultur yang berbeda, tetapi mempunyai pandangan yang sama mengenai formalisasi syariah Islam di Indonesia. Mereka menolak formalisasi syariah Islam dan hanya menginginkan agar umat Islam hanya mengadopsi nilai-nilai positif dari hokum Islam saja, seperti kasih sayang, persamaan dan keadilan. Meksipun mereka menolak formalisasi syariah Islam, tetapi mereka tetap menekankan pelaksanaan ritual Islam, bahkan sampai menjurus kepada bid’ah, meski tetap dilakukan dengan alasan budaya warisan. Biasanya yang berpandangan seperti ini adalah kalangan tradisional secular yang berasal dari organisasi dengan basis utama pesantren tradisional. Mereka pun tidak segan mendirikan partai dengan basis pendukung utamanya adalah masyarakat Islam meski mereka sendiri tidak memperjuangkan syariah Islam. Bahkan slogan dan symbol-simbol Islam pun sering diusung untuk meningkatkan daya tarik masyarakat.
Kelompok kedua adalah kelompok progressif sekuler. Mereka berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi dan cendekiawan. Phobia terhadap syariat Islam oleh kalangan ini disebabkan karena adanya sintesis terhadap pola pemikiran barat yang menganggap bahwa agama hanya akan menghambat kemajuan, yang mana pemikiran tersebut masuk melalui proses pendidikan. Menurut Peter School Latour, wartawan dan juga penulis kenamaan Jerman (Syafiq Basri, 1987), dengan menilik sejarah umat Islam pada masa lalu, adalah sangat mungkin bagi umat Islam untuk meraih kejayaannya lagi dengan manjadikan syariat Islam sebagai dasar Negara; barat tidak bisa mencerna pemikiran bahwa agama Islam dapat menjadi landasan kemajuan negara Islam karena tata cara dan tata nilainya sangat berbeda. Apabila peradaban Islam dapat unggul tanpa peraaban barat di masa lalu, kenapa tidak mungkin umat Islam mengulangi kejayaannya lagi tanpa kehadiran barat di masa kini.
Kejayaan umat Islam tidak boleh diukur dari kemajuan fisik semata, sebagaiman kejayaan barat sekarang ini. Nilai-nilai moral haruslah menjadi patokan utama, karena sekaya dan semodern apapun suatu bangsa dan Negara, apabila moralnya telah runtuh, seperti free sex, maka kehancurannya sudah dapat diperkirakan kapan terjadi, sebagaimana revolusi sex di amerika pada decade 60’an telah memberikan gambaran dengan jelas kehancuran masyarakat amerika, yang mana sekarang ini beragam penyakit telah terjadi di amerika, bahkan para pastor pelayan tuhan pun banyak yang terlibat pedophilia, bahkan incest pun banyak terjadi di keluarga di amerika. Bahkan di bidang ekonomi, inflansi di amerika telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, karena amerika semakin terdesak oleh produk Negara-negara industri dari Asia, seperti Korea, China, dan Jepang.
Proses sintesis terhadap pemikiran barat akan menjalar sampai bidang gaya hidup dan semua yang bersifat barat akan ditiru oleh para pemuja materialisme, padahal kemajuan barat bukanlah prestasi barat sendiri, tetapi juga sumbangsih peradaban-peradaban sebelumnya, termasuk peradaban Islam. Di Indonesia, yang terlibat dalam proses sintesis terhadap pemikiran barat bukan hanya dari kalangan yang berpendidikan barat saja, tetapi telah melebar sampai institusi pendidikan Islam. Apabila bebarapa decade silam yang terjadi hanya sintesis terhadap pemikiran dan ideology barat saja, sekarang bisa disaksikan bahwa umat Islam juga sudah mulai mengadopsi kemerosotan moral barat.
Salah satu bukti betapa gagalnya paham materialisme barat adalah meskipun banyak lulusan barat di Indonesia, bahkan banyak pula para pejabat atau ekonom lulusan barat di Indonesia, tetapi mereka tetap saja gagal memakmurkan Indonesia dan membebaskan dari kemiskinan dan hutang internasional. Paham materialisme memang mendorong manusia untuk leboh produktif dan kreatif, tetapi semua itu hanya ditujuakan untuk mencari keuntungan duniawi semata, bahkan bukan untuk kemaslahatan semua umat manusia, tetapi hanya untuk kelompok tertentu saja; meskipun barat mengagungkan persamaan hak dan kebebasan, eksploitasi ekonomi terhadap masyarakat tetap terjadi, terutama kepada para buruh.
Peradaban bersifat linier; suatu saat dapat mencapai puncak kejayaan, sedangkan di masa yang lain dapat mencapai titik terendah. Apabila sekarang ini peradaban barat sedang di puncak kejayaan dan peradaban Islam sedang berada di titik terendah, sangat mungkin apabila kondisi tersebut segera berubah 180 derajat. Apabila sekarang banyak cendekiawan muslim yang ragu-ragu terhadap Islam itu sendiri dan cenderung untuk mengadopsi pemikiran barat, yang mana hal tersebut berarti bahwa mereka tidak pernah belajar dari sejarah bahwa dulu peradaban barat, di era kegelapan (age of darkness) sebelum masa renaissance, mereka justru tanpa ragu-ragu berkiblat kepada peradaban Islam.
Para tokoh dan cendekiawan umat Islam bersifat tidak tegas dan setengah-setengah; di satu sisi mereka berusaha mempertahankan identitas keIslaman mereka dan mengangkat isu-isu keIslaman, tetapi mereka juga takut terhadap aplikasi syariah Islam secara komprehensif. Sudah tiba saatnya bagi semua umat Islam agar kembali menghidupkan kejayaan peradaban Islam dengan fondasi Islam, sedang untuk masalah sarana untuk meraih kejayaan, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada salahnya untuk mengadopsinya dari barat, sebagaimana barat dulu juga mengadopsi teknologi dan ilmu pengetahuan dari Islam. Syariat Islam dan teknologi dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, tetapi dapat menjadi sinergi untuk mewujudkan masyarakat madani (civilized society).

Perdebatan apakah Islam hanya mengurusi masalah akhirat saja atau juga mengurusi masalah dunia telah menjadi wacana yang serius untuk dicermati, karena dalam sejarah Islam sebenarnya tidak ada pemisahan antara agama dan Negara. Istilah theokrasi yang diartikan sebagai Negara agama di barat hanya tepat jika untuk menjelaskan Negara agama dalam terminology barat saja, seperti Negara gereja vatikan. Bentuk daulah atau khilafah Islamiyah tidak bisa disebut dengan nama Negara agama atau theokrasi dalam pengertian barat, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara konsep Negara gereja dan daulah atau khilafah Islamiyah.
Dalam Negara gereja, agama menjadi senjata untuk menjustifikasi keputusan-keputusan yang dibuat oleh gereja dan dianggap sebagai hukum, padahal gereja sebenarnya tidak punya referansi atau landasan jurisprudensi dari alkitab mengenai masalah tersebut, sebut saja masalah selibat. Semua keputusan gereja adalah atas nama agama; gereja adalah otoritas tunggal dalam menentukan benar atau salah terhadap sesuatu, sehingga gereja bisa bersifat semena (arbitrary) dalam menentukan suatu masalah.
Dalam Islam, konsep pembuatan hukum seperti di Negara gereja tidak dikenal, meski hukum yang dibuat diatasnamakan agama, tetapi dalam proses penentuannya harus berlandaskan suatu referensi utama yang disepakati bersama oleh umat Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah, sehingga hasil keputusan pemerintah Islam bisa dipertanggungjawabkan secara theologies.
Menurut Dr.Emad Eldin Shahin dalam disertasinya yang berjudul “Through Muslim Eyes: M Rashid Rida and The West” (1993) ada tiga golongan umat Islam, yaitu kelompok orthodox yang hanya membanggakan masa lalu umat Islam dan menolak apapun dari barat, yang kedua kelompok sekular yang menolak hukum Islam karena dianggap menghambat kemajuan dan berusaha mengadopsi nilai-nilai barat tanpa kritik, dan ketiga, kelompok reformis yang berusaha menghidupkan kembali kejayaan umat Islam dan bersedia mengadopsi nilai-nilai dari barat yang positif.
Untuk masyarakat muslim di Indonesia, perlu dibuat entitas baru lagi, yaitu kelompok tradisional dan progressif sekuler. Kedua kelompok ini berasal dari kultur yang berbeda, tetapi mempunyai pandangan yang sama mengenai formalisasi syariah Islam di Indonesia. Mereka menolak formalisasi syariah Islam dan hanya menginginkan agar umat Islam hanya mengadopsi nilai-nilai positif dari hokum Islam saja, seperti kasih sayang, persamaan dan keadilan. Meksipun mereka menolak formalisasi syariah Islam, tetapi mereka tetap menekankan pelaksanaan ritual Islam, bahkan sampai menjurus kepada bid’ah, meski tetap dilakukan dengan alasan budaya warisan. Biasanya yang berpandangan seperti ini adalah kalangan tradisional secular yang berasal dari organisasi dengan basis utama pesantren tradisional. Mereka pun tidak segan mendirikan partai dengan basis pendukung utamanya adalah masyarakat Islam meski mereka sendiri tidak memperjuangkan syariah Islam. Bahkan slogan dan symbol-simbol Islam pun sering diusung untuk meningkatkan daya tarik masyarakat.
Kelompok kedua adalah kelompok progressif sekuler. Mereka berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi dan cendekiawan. Phobia terhadap syariat Islam oleh kalangan ini disebabkan karena adanya sintesis terhadap pola pemikiran barat yang menganggap bahwa agama hanya akan menghambat kemajuan, yang mana pemikiran tersebut masuk melalui proses pendidikan. Menurut Peter School Latour, wartawan dan juga penulis kenamaan Jerman (Syafiq Basri, 1987), dengan menilik sejarah umat Islam pada masa lalu, adalah sangat mungkin bagi umat Islam untuk meraih kejayaannya lagi dengan manjadikan syariat Islam sebagai dasar Negara; barat tidak bisa mencerna pemikiran bahwa agama Islam dapat menjadi landasan kemajuan negara Islam karena tata cara dan tata nilainya sangat berbeda. Apabila peradaban Islam dapat unggul tanpa peraaban barat di masa lalu, kenapa tidak mungkin umat Islam mengulangi kejayaannya lagi tanpa kehadiran barat di masa kini.
Kejayaan umat Islam tidak boleh diukur dari kemajuan fisik semata, sebagaiman kejayaan barat sekarang ini. Nilai-nilai moral haruslah menjadi patokan utama, karena sekaya dan semodern apapun suatu bangsa dan Negara, apabila moralnya telah runtuh, seperti free sex, maka kehancurannya sudah dapat diperkirakan kapan terjadi, sebagaimana revolusi sex di amerika pada decade 60’an telah memberikan gambaran dengan jelas kehancuran masyarakat amerika, yang mana sekarang ini beragam penyakit telah terjadi di amerika, bahkan para pastor pelayan tuhan pun banyak yang terlibat pedophilia, bahkan incest pun banyak terjadi di keluarga di amerika. Bahkan di bidang ekonomi, inflansi di amerika telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, karena amerika semakin terdesak oleh produk Negara-negara industri dari Asia, seperti Korea, China, dan Jepang.
Proses sintesis terhadap pemikiran barat akan menjalar sampai bidang gaya hidup dan semua yang bersifat barat akan ditiru oleh para pemuja materialisme, padahal kemajuan barat bukanlah prestasi barat sendiri, tetapi juga sumbangsih peradaban-peradaban sebelumnya, termasuk peradaban Islam. Di Indonesia, yang terlibat dalam proses sintesis terhadap pemikiran barat bukan hanya dari kalangan yang berpendidikan barat saja, tetapi telah melebar sampai institusi pendidikan Islam. Apabila bebarapa decade silam yang terjadi hanya sintesis terhadap pemikiran dan ideology barat saja, sekarang bisa disaksikan bahwa umat Islam juga sudah mulai mengadopsi kemerosotan moral barat.
Salah satu bukti betapa gagalnya paham materialisme barat adalah meskipun banyak lulusan barat di Indonesia, bahkan banyak pula para pejabat atau ekonom lulusan barat di Indonesia, tetapi mereka tetap saja gagal memakmurkan Indonesia dan membebaskan dari kemiskinan dan hutang internasional. Paham materialisme memang mendorong manusia untuk leboh produktif dan kreatif, tetapi semua itu hanya ditujuakan untuk mencari keuntungan duniawi semata, bahkan bukan untuk kemaslahatan semua umat manusia, tetapi hanya untuk kelompok tertentu saja; meskipun barat mengagungkan persamaan hak dan kebebasan, eksploitasi ekonomi terhadap masyarakat tetap terjadi, terutama kepada para buruh.
Peradaban bersifat linier; suatu saat dapat mencapai puncak kejayaan, sedangkan di masa yang lain dapat mencapai titik terendah. Apabila sekarang ini peradaban barat sedang di puncak kejayaan dan peradaban Islam sedang berada di titik terendah, sangat mungkin apabila kondisi tersebut segera berubah 180 derajat. Apabila sekarang banyak cendekiawan muslim yang ragu-ragu terhadap Islam itu sendiri dan cenderung untuk mengadopsi pemikiran barat, yang mana hal tersebut berarti bahwa mereka tidak pernah belajar dari sejarah bahwa dulu peradaban barat, di era kegelapan (age of darkness) sebelum masa renaissance, mereka justru tanpa ragu-ragu berkiblat kepada peradaban Islam.
Para tokoh dan cendekiawan umat Islam bersifat tidak tegas dan setengah-setengah; di satu sisi mereka berusaha mempertahankan identitas keIslaman mereka dan mengangkat isu-isu keIslaman, tetapi mereka juga takut terhadap aplikasi syariah Islam secara komprehensif. Sudah tiba saatnya bagi semua umat Islam agar kembali menghidupkan kejayaan peradaban Islam dengan fondasi Islam, sedang untuk masalah sarana untuk meraih kejayaan, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada salahnya untuk mengadopsinya dari barat, sebagaimana barat dulu juga mengadopsi teknologi dan ilmu pengetahuan dari Islam. Syariat Islam dan teknologi dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, tetapi dapat menjadi sinergi untuk mewujudkan masyarakat madani (civilized society).

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP