UANG BERGANDA

>> Selasa, 29 September 2009

Mbah Suro Digdoyo, dukun yang terkenal dari Desa Karangseneng. Meskipun namanya Karangseneng, tetapi sebagian besar penduduknya tetap saja miskin; mereka bekerja berladang dan bertani. Begitu juga Mbah Suro, meskipun bekerja sebagai dukun, tetapi tetap berladang dan bertani, bahkan dia juga pernah ikut menerima sumbangan langsung tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, karena rumah Mbah Suro memang masih papan dengan berlantai tanah. Bahkan TV pun tidak punya, hanya radio yang biasanya disetel untuk mendengar lagu-lagu campur sari atau wayang.

Sebagai dukun yang tersohor, Mbah Suro sangat ditakuti dan disegani orang di kampungnya. Hampir setiap hari banyak orang yang datang untuk meminta pertolongan ke Mbah Suro. Umumnya mereka datang untuk meramal nasib, mencari pekerjaan, menyembuhkan penyakit gaib, mencari jodoh, bahkan konon ada yang datang ke Mbah Suro untuk mengirim santet.

Pasien Mbah Suro bukan hanya dari kampung, tetapi juga dari kota, bahkan ada yang datang dari Jakarta. Tidak hanya miskin, tetapi juga orang kaya yang datang ke rumahnya. Konon, banyak pejabat yang ingin agar terpilih lagi yang menjadi pasien Mbah Suro.


“Jadi, Pak Sarmin ini ingin terpilih lagi naik pangkat menjadi bupati, terpilih pada pemilu tahun ini.” Kata Mbah Suro suatu hari ketika kedatangan salah satu pasien lamanya yang sudah sukses menjadi pejabat.

Inggih mbah. Pripun mbah. Masalah biaya, mboten sah kuatos, sebut kemawon, Mbah Suro pinginipun pinten” kata Pak Sarmin. Pak sarmin sudah berulang kali datang ke rumah Mbah Suro yang terletak di pinggir kampung yang miskin.

“Gampang, gampang. Saya tidak minta bayaran kok, tetapi uang maharnya mahal untuk urusan seperti ini. Kalau untuk urusan biasanya hanya satu juta, untuk kali lima juta, karena tirakatnya berat. Uang ini bukan untuk saya, tetapi sebagai pengganti tirakat yang seharusnya Pak Sarmin jalani.” Kata Mbah Suro.

Biasanya orang-orang yang datang memang disuruh melakukan ritual tertentu yang sulit dan berat, seperti berendam tengah malam di bak mandi yang dipenuhi dengan bunga tujuh rupa, nyepi ke kuburan, dan puasa ngebleng selama tiga hari. Biasanya mereka enggan, kemudian mereka akan ditawari agar tirakat yang yang seharusnya dijalani akan digantikan oleh Mbah Suro , tetapi dengan syarat, mereka harus membayar uang mahar atau pengganti tirakat.


Meskipun sudah lama berprofesi sebagai dukun yang tersohor, tetapi Mbah Suro tetap saja seperti kebanyakan tetangganya, miskin. Mbah Suro masih harus berladang dan bertani untuk memenuhi kebuTuhan sehari-hari. Bahkan uang dari para pasiennya yang kadang-kadang mencapai jutaan rupiah pun langsung habis tak tentu rimbanya. Istrinya pun sering mengeluh karena sering kekuarangan uang belanja.

Pak, piye tho Pak. Duit lagi ge blonjo seminggu kok wis enthek. Mbok piye carane men lek sugih, ora rekoso koyo ngene. Nek si Sarmin sing wis sugih kae mrene mbok njaluk duit sing akeh sisan” kata istrinya suatu hari sambil mengeluh karena uang belanja yang tidak cukup.

Yo engko tak pikirke sek piye carane men lek sugih. Tak tirakatane sik neng kuburan jombor engko bengi” kata Mbah Suro. Mbah Suro biasanya memang pergi ke kuburan jombor yang merupakan kuburan Desa Karangseneng yang terletak satu kilometer di sebelah utara desa. Kuburan itu terkenal angker sehingga tak seorang pun yang berani melewatinya selepas Maghrib, kecuali Mbah Suro sendiri, dan terkadang dengan pasiennya.

Malam itu Mbah Suro akhirnya terlihat keluar oleh istrinya pergi keluar dengan membawa bermacam barang seprti dupa, bunga dan kemenyan seperti biasanya. Biasanya Mbah Suro pergi seperti itu paling tidak seminggu dua kali, terutama jika siang baru ada pasien. Meski sedang tidak ada pasien pun Mbah Suro tetap pergi secara rutin, dengan alasan untuk menemui sing baurekso kuburan jombor yang telah memberinya kemampuan sebagai dukun selama ini. Menjelang matahari terbit biasanya Mbah Suro baru kembali.

Istrinya pun yakin bahwa dia akan pergi ke kuburan untuk mencari wangsit agar mereka segara cepat kaya. Tetapi sebenarnya hanya Mbah Suro sendiri yang tahu ke mana dia pergi malam itu. Istrinya memang tahu bahwa pasien suAminya sebagian memang orang kaya, tetapi dia tidak pernah tahu tentang uangnya.


Suatu hari, datang seorang pemuda ke rumah sederhana Mbah Suro. Dari tampangnya, pemuda itu jelas berpendidikan. Dia datang dengan wajah kusut. Setelah mengenalkan dirinya, Sobur , pun mulai berbasa-basi kepada Mbah Suro. Tetapi Mbah Suro langsung mengetahu Maksud kedatangan Sobur , sebagaimana terjadi pada pasien-pasiennya yang lain.

“Ada masalah apa Nak Sobur” Kata Mbah Suro bertanya kepada anak muda itu.

“Lo, kok mbah tahu bahwa saya sedang mempunyai masalah” kaget anak muda itu. Katanya dalam hati, “hebat juga dukun ini, sampai bisa membaca pikiran saya, berarti saya memang datang ke orang yang tepat”.

“Ya tahu, mbah ini kan dukun. Jadi bisa melihat bahwa kamu itu sedang mempunyai masalah yang berat, karena auramu kelihatan gelap. Sekarang, coba ceritakan, apa masalahmu?” kata Mbah Suro sambil merokok bikinan sendiri dengan nikmatnya. Bau menyan terus menyebar di ruangan sehingga menimbulkan kesan tersendiri, terlebih Mbah Sobur memakai baju hitam dan blangkon. Batu-batu akik menghiasi tangannya menambah kesan angker, padahal wajah Mbah Suro pun sudah berhiaskan kumis tebal yang sudah memberi kesan galak.

“Begini, saya ini habis di PHK dari kantor tempat saya bekerja. Jadi, saya ke sini mau minta tolong agar mbah membantu saya biar saya cepat dapat pekerjaan lagi” kata Sobur agak memelas suaranya. Sobur datang ke Mbah Suro untuk minta tolong karena mendengar berita dari salah seorang temannya bahwa ada dukun di karangseneng yang bisa membantunya, meski tidak semua yang datang ke sana berhasil, tetapi itu kan yang penting dicoba dulu, usaha, begitu kata temannya.

“PHK, sebentar, PHK itu apa Nak Sobur, kok Mbah baru kali ini dengar kata itu?” Tanya Mbah Suro. Sebagai orang kampung yang jarang membaca Koran atau atau mendengar siaran radio atau menonton TV, jelas istilah PHK tersebut masih terengar asing di telinga Mbah Suro.

“Anu Mbah, PHK itu sama saja dengan dipecat” Jawab Sobur dengan ragu-ragu pada Mbah Suro.

“Oo, dipecat. Begini Nak Sobur , apa Nak Sobur mau Mbah kasih jalan pintas agar cepat kaya dan mempunyai uang banyak, sehingga tak perlu repot-repot bekerja, tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah, uang datang sendiri.” kata Mbah Suro sambil tersenyum, tetapi hanya dia yang tahu apa arti senyuman itu, meski Sobur mungkin menafsirkannya bahwa Mbah Suro memang benar-benar mampu menyelesaikannya masalahnya.

“Bagaimana Mbah, caranya? Apa dengan pesugihan? Apa memelihara tuyul? Apa babi ngepet? Apa memelihara jin?” Tanya Sobur dengan antusias. Kehilangan pekerjaan telah membuatnya kehilangan alur berpikir logisnya.

“Tidak, tidak. Ini mudah, karena kamu tidak memelihara semua itu, atau mencarai tumbal yang akan dikorbankan. Cara ini baru saja diwangsitkan ke Mbah beberapa hari lalu, dan karena kamu yang datang pertama setelah wangsit itu, Maka kamu berhak atas cara menjadi kaya seperti yang diwangsitkan kemarin kepada mbah. Caranya adalah dengan menggandakan uang” kata Mbah Suro dengan intonasi suara tinggi yang dapat menyakinkan semua orang yang mendengarnya.

“Maksudnya apa Mbah, menggandakan uang?” Tanya Sobur.

Sobur memang sudah pernah mendengar tentang uang yang tiba-tiba berganda dengan sendirinya. Sebenarnya dia agak curiga, karena dia sering mendengar bahwa sering terjadi kasus penipuan dengan kedok dukun mampu menggandakan uang, tetapi ternyata gagal, bahkan ada yang kemudian melarikan diri dengan membawa uang dari para pasiennya.

“Maksudnya, kamu menitipkan kepada Mbah Suro uang dalam kotak kayu yang dibungkus klawon. Kemudian kamu puasa muteh setiap hari Selasa dan Kamis selama selapan dan setiap malam Selasa dan Kamis harus bertapa di kuburan jombor, di utara kampung ini agar awakmu resek tur suci, sehingga sing baurekso Kuburan Jombor kerso nompo penjalukanmu. Setelah selapan, kamu datang lagi ke sini mengambil uangmu. Uangmu akan berlipat enam kali” Kata Mbah Suro menjelaskan cara-caranya.

“Wah, kalo puasa puasa muteh Selasa Kamis, saya bisa Mbah, tapi kalau bertapa, itu berat Mbah” kata Sobur keberatan.

“Begini saja, untuk puasanya, kamu lakukan sendiri, tapi bertapa, biar mbah saja yang menggantikanmu, tapi kamu harus membayar uang mahar pengganti tirakat, 500 ribu” kata Mbah Suro memberi solusi atas keberatan Sobur.

“Baik Mbah, saya setuju. Tapi bagaimana jika saya menyerahkan uang yang akan digandakan itu dua hari lagi, soalnya sekarang saya belum membawa uangnya”


Sobur pun akhirnya pamit dan kembali keesokan harinya membawa uang 2, 5 juta, dua juta adalah uang yang akan digandakan, dan 500 ribu uang maharnya. Sebenarnya Sobur masih setengah percaya, karena banyak orang yang sudah tertipu hingga ratusan juta karena penipuan penggandaan uang semacam itu, tetapi Sobur juga merasa penasaran ingin mencobanya, kalau-kalau memang berhasil. Oleh karena itu dia hanya menyerahkan uang dua juta untuk digandakan, biar kalau Mbah Suro menipu, dia tidak tertipu banyak dan kalau memang berhasil uangnya berganda enam kali lipat, nanti kan bisa minta tolong ke Mbah Suro untuk menggandakannya lagi.


“Bagimana nak Sobur, uangnya sudah dibawa?” Tanya Mbah Suro ketika Sobur datang dua hari kemudian.

Inggih mbah, sampun. Niki Mbah. Kalih yuto” Jawab Sobur sambil menyerahkan kotak kayu yang terbungkus kain putih.

“Kok cuma dua juta. Apa tidak sayang, ini nanti cuma bisa menjadi dua belas juta lo. Kan semakin banyak uangnya, nanti akan berganda menjadi semakin banyak” kata Mbah Suro.

“Maaf Mbah, saya baru dipecat Mbah, jadinya uangnya hanya segitu. Kalau nanti sudah punya uang kan bisa menggandakannya lagi Mbah” kata Sobur memberi dalih agar alasan sebenarnya kenapa hanya dua juta tidak terbongkar.

“O, ya, ya. Nak Sobur, setelah hari ini Nak Sobur harus puasa muteh setiap hari Kamis dan Selasa karena Mbah akan bertapa pada malam harinya selama selapan. Kalau sudah genap selapan, Nak Sobur boleh ke sini untuk mengambil uang nak Sobur yang sudah berlipat ganda. Nak Sobur sudah siap.” Tanya Mbah Suro agar Sobur lebih yakin lagi.

Sampun Mbah, kulo sampun siap” Jawab Sobur.


Semenjak hari itu Sobur pun rutin berpuasa muteh setiap hari Selasa dan Kamis. Setalah genap selapan, akhrinya Sobur pun datang ke tempat Mbah Suro menagih uangnya.

“Wah, Nak Sobur, selamat. Tadi malam Mbah dapat wangsit dari yang baurekso Kuburan Jombor bahwa upaya kita sudah berhasil. Uangmu kini sudah benar-benar telah berganda menjadi dua belas juta Nak Sobur” kata Mbah Suro dengan senyum lebar.

Bener Mbah, saestu. Terima kasih Mbah” kata Sobur dengan senang sekali. Uang 12 juta dalam kotak itupun diterimanya dengan tangan gemetar. Ketika hendak pulang, entah berapa kali tangan Mbah Suro diciumnya. Sobur pun berjanji akan segera ke tempat Mbah Suro lagi untuk menggandakan uangnya.

Mbah Suro pun mengantarkan Sobur sampai depan rumah. Dia, sambil tersenyum memandang menerawang jauh, membayangkan apa yang akan terjadi tidak lama lagi.


Berita tentang Mbah Suro yang berhasil menggandakan uang miik Sobur hingga enam kali lipat pun menyebar dengan cepat. Banyak yang percaya, tetapi yang tidak percaya juga banyak. Tetapi buktinya memang ada, yaitu uangnya Sobur memang telah berlipat dari dua juta menjadi 12 juta. Bahkan Sobur pun sempat diwawancarai oleh sebuah koran lokal, sehingga tersebut menjadi lebih tersebar lagi.


Sobur pun beberapa hari kemudian datang lagi ke tempat Mbah Suro. Tetapi kali ini dia membawa uang lebih banyak karena dia baru saja menjual tanah, motor dan semua perhiasan milik ibu dan istrinya. Tidak kurang dari 60 juta yang dibawanya, dengan harapan bahwa nanti uangnya akan berlipat menjadi 360 juta. Sobur pun sudah membayangkan uang sebanyak itu akan digunakan untuk membeli rumah dan mobil, serta membangun toko kelontong yang besar di kampungnya nanti.

Orang-orang dari kota dan desa yang sudah mendengar berita berhasilnya Sobur menggandakan uang dua juta menjadi 12 juta akhirnya atang berbondong-bondong ke rumah Mbah Suro untuk menggandakan uangnya. Hampir setiap hari puluhan orang datang, bahkan kadang-kadang sampai larut malam. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang membawa uang puluhan juta untuk digandakan. Bahkan beberapa tamunya pun datang dengan mobil sedan mewah berplat Jakarta.

Mbah Suro pun kelihatan sumringah dengan banyaknya pasien yang datang untuk menggandakan uang. Apabila semua uang dari pasiennya yang datang untuk menggandakan uang dikumpulkan, mungkin jumlahnya lebih dari enam milyar. Kebanyakan dari mereka juga diberi syarat seperti Sobur dahulu, puasa muteh setiap Selasa dan Kamis selama selapan dan bertapa di Kuburan Jombor, dan seperti biasa pula, mereka puasa muteh, tetapi yang tirakat adalah Mbah Sobur, dan mereka diminta membayar uang mahar pengganti tirakat. Mereka pun disuruh datang lagi setelah 35 hari untuk mengambil uangnya.


35 hari kemudian.

Rumah Mbah Suro selalu dipenuhi olah orang-orang yang hendak mengambil uangnya, akan tetapi Mbah Suro sudah tidak ada. Tak seorangpun warga Desa Karangseseng yang tahu Mbah Suro ada di mana, bahkan termasuk istrinya sendiri. Bahkan beberapa orang sudah datang berkali-kali mencari, tetapi selalu dijawab tidak tahu oleh istrinya, karena memang Mbah Suro belum kembali sejak pergi beberapa hari sebelumnya.

Karena tidak sabar, beberapa orang mulai marah-marah, sehingga mucnul keributan kecil, bahkan beberapa orang mengancam akan membakar rumah Mbah Suro yang memang terbuat dari kayu dan kelihatan sudah lapuk dimakan usia. Istri Mbah Suro pun ketakutan karena rumahnya akan dibakar.

“Bakar, bakar, bakar” orang-orang mulai marah dan kondisi sudah mencekam, karena terlihat beberapa orang sudah ada yang datang membaya minyak tanah.

“Jangan, jangan bakar rumah saya. Ampun, tolong, tolong” tangis istri Mbah Suro karena saking takutnya. Karena kericuhan semakin ramai, akhirnya beberapa pamong desa karangseneng pun datang untuk menentramkan suasan dan mencegah hal yang lebih buruk terjadi.

“Bapak, Bapak. Mohon tenang, jangan sampai ada kekerasan di sini. Apabila ada yang berani membakar runah ini, Maka semua yang ada di sini akan berurusan dengan polisi” kata Pak bayan dengan keras. Semua orang pun akhirnya terdiam dan mendengarkan Pak bayan berbicara.

“Saya mengerti kenapa bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua yang ada di sini marah, tetapi marah itu juga tidak menyelesaikan persoalan. Persoalan ini hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin. Atau laporkan saja Mbah Suro ke kantor polisi, biar pak polisi yang mencarinya.” Kata Pak Bayan dengan tegas.


Tiba-tiba seorang berpakaian rapi datang bersama dua orang polisi.

“Maaf Pak, kami dari bank, apa ini rumah Mbah Suro Digdoyo? Kami ke sini hendak menagih beliau karena belum melunasi pinjaman beliau sebesar dua belas juta 40 hari yang lalu. Beliau menipu kami karena surat tanah yang Mbah Suro gunakan sebagai jAminan ternyata asli tapi palsu” kata petugas bank kepada Pak Bayan.

“Maaf Pak, semua orang di sini juga sedang mencari Mbah Suro untuk menagih uang mereka juga” kata Pak Bayan. Kemudian Pak bayan pun menjelaskan kepada dua polisi tersebut. Beberapa kali mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Kemudian salah seorang polisi itu pun maju ke depan orang-orang dan mulai berbicara.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu semua yang ada di sini, tadi Pak Bayan sudah menjelaskan duduk perkaranya kepada kami, dan kami berjanji akan menyelesaikan masalah ini dan mencari Mbah Suro untuk bertanggung Jawab mengembalikan semua uang bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. Kasus seperti ini sudah sering terjadi. Maaf, tetapi kami kira bapak-bapak dan ibu-ibu juga salah, kenapa bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian percaya bahwa Mbah Suro bisa menggandakan uang sampai enam kali lipat. Seandainya Mbah Suro memang bisa menggandakan uang sampai sebanyak itu, tentu saja rumahnya tidak akan seperti itu” kata Pak polisi sambil menunjuk ke rumah papan berlantai tanah yang hampir roboh di belakangnya. Orang-orang pun akhirnya tertunduk malu karena merasa dapat dibodohi.

Tiba-tiba datang Pak Carik datang tergesa-gesa menuju ke Pak Bayan.

“Gawat, Pak bayan, gawat. Ini bener-bener gawat” kata Pak Carik sambil terengah-engah.

“Gawat apa Pak?” Kata Pak Bayan. “Ada masalah apa lagi hari ini” kata Pak Bayan dalam hati.

“Orang-orang kampung sebelah mau ngluruk ke sini Pak. Mereka mau mencari Mbah Suro. Mbah Suro membawa lari istri orang kampung sebelah Pak” kata Pak cari menjelaskan kepada Pak Bayan.

“huuuuuuuuuu”.


Mbah Suro Digdoyo, dukun yang terkenal dari Desa Karangseneng. Meskipun namanya Karangseneng, tetapi sebagian besar penduduknya tetap saja miskin; mereka bekerja berladang dan bertani. Begitu juga Mbah Suro, meskipun bekerja sebagai dukun, tetapi tetap berladang dan bertani, bahkan dia juga pernah ikut menerima sumbangan langsung tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, karena rumah Mbah Suro memang masih papan dengan berlantai tanah. Bahkan TV pun tidak punya, hanya radio yang biasanya disetel untuk mendengar lagu-lagu campur sari atau wayang.

Sebagai dukun yang tersohor, Mbah Suro sangat ditakuti dan disegani orang di kampungnya. Hampir setiap hari banyak orang yang datang untuk meminta pertolongan ke Mbah Suro. Umumnya mereka datang untuk meramal nasib, mencari pekerjaan, menyembuhkan penyakit gaib, mencari jodoh, bahkan konon ada yang datang ke Mbah Suro untuk mengirim santet.

Pasien Mbah Suro bukan hanya dari kampung, tetapi juga dari kota, bahkan ada yang datang dari Jakarta. Tidak hanya miskin, tetapi juga orang kaya yang datang ke rumahnya. Konon, banyak pejabat yang ingin agar terpilih lagi yang menjadi pasien Mbah Suro.


“Jadi, Pak Sarmin ini ingin terpilih lagi naik pangkat menjadi bupati, terpilih pada pemilu tahun ini.” Kata Mbah Suro suatu hari ketika kedatangan salah satu pasien lamanya yang sudah sukses menjadi pejabat.

Inggih mbah. Pripun mbah. Masalah biaya, mboten sah kuatos, sebut kemawon, Mbah Suro pinginipun pinten” kata Pak Sarmin. Pak sarmin sudah berulang kali datang ke rumah Mbah Suro yang terletak di pinggir kampung yang miskin.

“Gampang, gampang. Saya tidak minta bayaran kok, tetapi uang maharnya mahal untuk urusan seperti ini. Kalau untuk urusan biasanya hanya satu juta, untuk kali lima juta, karena tirakatnya berat. Uang ini bukan untuk saya, tetapi sebagai pengganti tirakat yang seharusnya Pak Sarmin jalani.” Kata Mbah Suro.

Biasanya orang-orang yang datang memang disuruh melakukan ritual tertentu yang sulit dan berat, seperti berendam tengah malam di bak mandi yang dipenuhi dengan bunga tujuh rupa, nyepi ke kuburan, dan puasa ngebleng selama tiga hari. Biasanya mereka enggan, kemudian mereka akan ditawari agar tirakat yang yang seharusnya dijalani akan digantikan oleh Mbah Suro , tetapi dengan syarat, mereka harus membayar uang mahar atau pengganti tirakat.


Meskipun sudah lama berprofesi sebagai dukun yang tersohor, tetapi Mbah Suro tetap saja seperti kebanyakan tetangganya, miskin. Mbah Suro masih harus berladang dan bertani untuk memenuhi kebuTuhan sehari-hari. Bahkan uang dari para pasiennya yang kadang-kadang mencapai jutaan rupiah pun langsung habis tak tentu rimbanya. Istrinya pun sering mengeluh karena sering kekuarangan uang belanja.

Pak, piye tho Pak. Duit lagi ge blonjo seminggu kok wis enthek. Mbok piye carane men lek sugih, ora rekoso koyo ngene. Nek si Sarmin sing wis sugih kae mrene mbok njaluk duit sing akeh sisan” kata istrinya suatu hari sambil mengeluh karena uang belanja yang tidak cukup.

Yo engko tak pikirke sek piye carane men lek sugih. Tak tirakatane sik neng kuburan jombor engko bengi” kata Mbah Suro. Mbah Suro biasanya memang pergi ke kuburan jombor yang merupakan kuburan Desa Karangseneng yang terletak satu kilometer di sebelah utara desa. Kuburan itu terkenal angker sehingga tak seorang pun yang berani melewatinya selepas Maghrib, kecuali Mbah Suro sendiri, dan terkadang dengan pasiennya.

Malam itu Mbah Suro akhirnya terlihat keluar oleh istrinya pergi keluar dengan membawa bermacam barang seprti dupa, bunga dan kemenyan seperti biasanya. Biasanya Mbah Suro pergi seperti itu paling tidak seminggu dua kali, terutama jika siang baru ada pasien. Meski sedang tidak ada pasien pun Mbah Suro tetap pergi secara rutin, dengan alasan untuk menemui sing baurekso kuburan jombor yang telah memberinya kemampuan sebagai dukun selama ini. Menjelang matahari terbit biasanya Mbah Suro baru kembali.

Istrinya pun yakin bahwa dia akan pergi ke kuburan untuk mencari wangsit agar mereka segara cepat kaya. Tetapi sebenarnya hanya Mbah Suro sendiri yang tahu ke mana dia pergi malam itu. Istrinya memang tahu bahwa pasien suAminya sebagian memang orang kaya, tetapi dia tidak pernah tahu tentang uangnya.


Suatu hari, datang seorang pemuda ke rumah sederhana Mbah Suro. Dari tampangnya, pemuda itu jelas berpendidikan. Dia datang dengan wajah kusut. Setelah mengenalkan dirinya, Sobur , pun mulai berbasa-basi kepada Mbah Suro. Tetapi Mbah Suro langsung mengetahu Maksud kedatangan Sobur , sebagaimana terjadi pada pasien-pasiennya yang lain.

“Ada masalah apa Nak Sobur” Kata Mbah Suro bertanya kepada anak muda itu.

“Lo, kok mbah tahu bahwa saya sedang mempunyai masalah” kaget anak muda itu. Katanya dalam hati, “hebat juga dukun ini, sampai bisa membaca pikiran saya, berarti saya memang datang ke orang yang tepat”.

“Ya tahu, mbah ini kan dukun. Jadi bisa melihat bahwa kamu itu sedang mempunyai masalah yang berat, karena auramu kelihatan gelap. Sekarang, coba ceritakan, apa masalahmu?” kata Mbah Suro sambil merokok bikinan sendiri dengan nikmatnya. Bau menyan terus menyebar di ruangan sehingga menimbulkan kesan tersendiri, terlebih Mbah Sobur memakai baju hitam dan blangkon. Batu-batu akik menghiasi tangannya menambah kesan angker, padahal wajah Mbah Suro pun sudah berhiaskan kumis tebal yang sudah memberi kesan galak.

“Begini, saya ini habis di PHK dari kantor tempat saya bekerja. Jadi, saya ke sini mau minta tolong agar mbah membantu saya biar saya cepat dapat pekerjaan lagi” kata Sobur agak memelas suaranya. Sobur datang ke Mbah Suro untuk minta tolong karena mendengar berita dari salah seorang temannya bahwa ada dukun di karangseneng yang bisa membantunya, meski tidak semua yang datang ke sana berhasil, tetapi itu kan yang penting dicoba dulu, usaha, begitu kata temannya.

“PHK, sebentar, PHK itu apa Nak Sobur, kok Mbah baru kali ini dengar kata itu?” Tanya Mbah Suro. Sebagai orang kampung yang jarang membaca Koran atau atau mendengar siaran radio atau menonton TV, jelas istilah PHK tersebut masih terengar asing di telinga Mbah Suro.

“Anu Mbah, PHK itu sama saja dengan dipecat” Jawab Sobur dengan ragu-ragu pada Mbah Suro.

“Oo, dipecat. Begini Nak Sobur , apa Nak Sobur mau Mbah kasih jalan pintas agar cepat kaya dan mempunyai uang banyak, sehingga tak perlu repot-repot bekerja, tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah, uang datang sendiri.” kata Mbah Suro sambil tersenyum, tetapi hanya dia yang tahu apa arti senyuman itu, meski Sobur mungkin menafsirkannya bahwa Mbah Suro memang benar-benar mampu menyelesaikannya masalahnya.

“Bagaimana Mbah, caranya? Apa dengan pesugihan? Apa memelihara tuyul? Apa babi ngepet? Apa memelihara jin?” Tanya Sobur dengan antusias. Kehilangan pekerjaan telah membuatnya kehilangan alur berpikir logisnya.

“Tidak, tidak. Ini mudah, karena kamu tidak memelihara semua itu, atau mencarai tumbal yang akan dikorbankan. Cara ini baru saja diwangsitkan ke Mbah beberapa hari lalu, dan karena kamu yang datang pertama setelah wangsit itu, Maka kamu berhak atas cara menjadi kaya seperti yang diwangsitkan kemarin kepada mbah. Caranya adalah dengan menggandakan uang” kata Mbah Suro dengan intonasi suara tinggi yang dapat menyakinkan semua orang yang mendengarnya.

“Maksudnya apa Mbah, menggandakan uang?” Tanya Sobur.

Sobur memang sudah pernah mendengar tentang uang yang tiba-tiba berganda dengan sendirinya. Sebenarnya dia agak curiga, karena dia sering mendengar bahwa sering terjadi kasus penipuan dengan kedok dukun mampu menggandakan uang, tetapi ternyata gagal, bahkan ada yang kemudian melarikan diri dengan membawa uang dari para pasiennya.

“Maksudnya, kamu menitipkan kepada Mbah Suro uang dalam kotak kayu yang dibungkus klawon. Kemudian kamu puasa muteh setiap hari Selasa dan Kamis selama selapan dan setiap malam Selasa dan Kamis harus bertapa di kuburan jombor, di utara kampung ini agar awakmu resek tur suci, sehingga sing baurekso Kuburan Jombor kerso nompo penjalukanmu. Setelah selapan, kamu datang lagi ke sini mengambil uangmu. Uangmu akan berlipat enam kali” Kata Mbah Suro menjelaskan cara-caranya.

“Wah, kalo puasa puasa muteh Selasa Kamis, saya bisa Mbah, tapi kalau bertapa, itu berat Mbah” kata Sobur keberatan.

“Begini saja, untuk puasanya, kamu lakukan sendiri, tapi bertapa, biar mbah saja yang menggantikanmu, tapi kamu harus membayar uang mahar pengganti tirakat, 500 ribu” kata Mbah Suro memberi solusi atas keberatan Sobur.

“Baik Mbah, saya setuju. Tapi bagaimana jika saya menyerahkan uang yang akan digandakan itu dua hari lagi, soalnya sekarang saya belum membawa uangnya”


Sobur pun akhirnya pamit dan kembali keesokan harinya membawa uang 2, 5 juta, dua juta adalah uang yang akan digandakan, dan 500 ribu uang maharnya. Sebenarnya Sobur masih setengah percaya, karena banyak orang yang sudah tertipu hingga ratusan juta karena penipuan penggandaan uang semacam itu, tetapi Sobur juga merasa penasaran ingin mencobanya, kalau-kalau memang berhasil. Oleh karena itu dia hanya menyerahkan uang dua juta untuk digandakan, biar kalau Mbah Suro menipu, dia tidak tertipu banyak dan kalau memang berhasil uangnya berganda enam kali lipat, nanti kan bisa minta tolong ke Mbah Suro untuk menggandakannya lagi.


“Bagimana nak Sobur, uangnya sudah dibawa?” Tanya Mbah Suro ketika Sobur datang dua hari kemudian.

Inggih mbah, sampun. Niki Mbah. Kalih yuto” Jawab Sobur sambil menyerahkan kotak kayu yang terbungkus kain putih.

“Kok cuma dua juta. Apa tidak sayang, ini nanti cuma bisa menjadi dua belas juta lo. Kan semakin banyak uangnya, nanti akan berganda menjadi semakin banyak” kata Mbah Suro.

“Maaf Mbah, saya baru dipecat Mbah, jadinya uangnya hanya segitu. Kalau nanti sudah punya uang kan bisa menggandakannya lagi Mbah” kata Sobur memberi dalih agar alasan sebenarnya kenapa hanya dua juta tidak terbongkar.

“O, ya, ya. Nak Sobur, setelah hari ini Nak Sobur harus puasa muteh setiap hari Kamis dan Selasa karena Mbah akan bertapa pada malam harinya selama selapan. Kalau sudah genap selapan, Nak Sobur boleh ke sini untuk mengambil uang nak Sobur yang sudah berlipat ganda. Nak Sobur sudah siap.” Tanya Mbah Suro agar Sobur lebih yakin lagi.

Sampun Mbah, kulo sampun siap” Jawab Sobur.


Semenjak hari itu Sobur pun rutin berpuasa muteh setiap hari Selasa dan Kamis. Setalah genap selapan, akhrinya Sobur pun datang ke tempat Mbah Suro menagih uangnya.

“Wah, Nak Sobur, selamat. Tadi malam Mbah dapat wangsit dari yang baurekso Kuburan Jombor bahwa upaya kita sudah berhasil. Uangmu kini sudah benar-benar telah berganda menjadi dua belas juta Nak Sobur” kata Mbah Suro dengan senyum lebar.

Bener Mbah, saestu. Terima kasih Mbah” kata Sobur dengan senang sekali. Uang 12 juta dalam kotak itupun diterimanya dengan tangan gemetar. Ketika hendak pulang, entah berapa kali tangan Mbah Suro diciumnya. Sobur pun berjanji akan segera ke tempat Mbah Suro lagi untuk menggandakan uangnya.

Mbah Suro pun mengantarkan Sobur sampai depan rumah. Dia, sambil tersenyum memandang menerawang jauh, membayangkan apa yang akan terjadi tidak lama lagi.


Berita tentang Mbah Suro yang berhasil menggandakan uang miik Sobur hingga enam kali lipat pun menyebar dengan cepat. Banyak yang percaya, tetapi yang tidak percaya juga banyak. Tetapi buktinya memang ada, yaitu uangnya Sobur memang telah berlipat dari dua juta menjadi 12 juta. Bahkan Sobur pun sempat diwawancarai oleh sebuah koran lokal, sehingga tersebut menjadi lebih tersebar lagi.


Sobur pun beberapa hari kemudian datang lagi ke tempat Mbah Suro. Tetapi kali ini dia membawa uang lebih banyak karena dia baru saja menjual tanah, motor dan semua perhiasan milik ibu dan istrinya. Tidak kurang dari 60 juta yang dibawanya, dengan harapan bahwa nanti uangnya akan berlipat menjadi 360 juta. Sobur pun sudah membayangkan uang sebanyak itu akan digunakan untuk membeli rumah dan mobil, serta membangun toko kelontong yang besar di kampungnya nanti.

Orang-orang dari kota dan desa yang sudah mendengar berita berhasilnya Sobur menggandakan uang dua juta menjadi 12 juta akhirnya atang berbondong-bondong ke rumah Mbah Suro untuk menggandakan uangnya. Hampir setiap hari puluhan orang datang, bahkan kadang-kadang sampai larut malam. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang membawa uang puluhan juta untuk digandakan. Bahkan beberapa tamunya pun datang dengan mobil sedan mewah berplat Jakarta.

Mbah Suro pun kelihatan sumringah dengan banyaknya pasien yang datang untuk menggandakan uang. Apabila semua uang dari pasiennya yang datang untuk menggandakan uang dikumpulkan, mungkin jumlahnya lebih dari enam milyar. Kebanyakan dari mereka juga diberi syarat seperti Sobur dahulu, puasa muteh setiap Selasa dan Kamis selama selapan dan bertapa di Kuburan Jombor, dan seperti biasa pula, mereka puasa muteh, tetapi yang tirakat adalah Mbah Sobur, dan mereka diminta membayar uang mahar pengganti tirakat. Mereka pun disuruh datang lagi setelah 35 hari untuk mengambil uangnya.


35 hari kemudian.

Rumah Mbah Suro selalu dipenuhi olah orang-orang yang hendak mengambil uangnya, akan tetapi Mbah Suro sudah tidak ada. Tak seorangpun warga Desa Karangseseng yang tahu Mbah Suro ada di mana, bahkan termasuk istrinya sendiri. Bahkan beberapa orang sudah datang berkali-kali mencari, tetapi selalu dijawab tidak tahu oleh istrinya, karena memang Mbah Suro belum kembali sejak pergi beberapa hari sebelumnya.

Karena tidak sabar, beberapa orang mulai marah-marah, sehingga mucnul keributan kecil, bahkan beberapa orang mengancam akan membakar rumah Mbah Suro yang memang terbuat dari kayu dan kelihatan sudah lapuk dimakan usia. Istri Mbah Suro pun ketakutan karena rumahnya akan dibakar.

“Bakar, bakar, bakar” orang-orang mulai marah dan kondisi sudah mencekam, karena terlihat beberapa orang sudah ada yang datang membaya minyak tanah.

“Jangan, jangan bakar rumah saya. Ampun, tolong, tolong” tangis istri Mbah Suro karena saking takutnya. Karena kericuhan semakin ramai, akhirnya beberapa pamong desa karangseneng pun datang untuk menentramkan suasan dan mencegah hal yang lebih buruk terjadi.

“Bapak, Bapak. Mohon tenang, jangan sampai ada kekerasan di sini. Apabila ada yang berani membakar runah ini, Maka semua yang ada di sini akan berurusan dengan polisi” kata Pak bayan dengan keras. Semua orang pun akhirnya terdiam dan mendengarkan Pak bayan berbicara.

“Saya mengerti kenapa bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua yang ada di sini marah, tetapi marah itu juga tidak menyelesaikan persoalan. Persoalan ini hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin. Atau laporkan saja Mbah Suro ke kantor polisi, biar pak polisi yang mencarinya.” Kata Pak Bayan dengan tegas.


Tiba-tiba seorang berpakaian rapi datang bersama dua orang polisi.

“Maaf Pak, kami dari bank, apa ini rumah Mbah Suro Digdoyo? Kami ke sini hendak menagih beliau karena belum melunasi pinjaman beliau sebesar dua belas juta 40 hari yang lalu. Beliau menipu kami karena surat tanah yang Mbah Suro gunakan sebagai jAminan ternyata asli tapi palsu” kata petugas bank kepada Pak Bayan.

“Maaf Pak, semua orang di sini juga sedang mencari Mbah Suro untuk menagih uang mereka juga” kata Pak Bayan. Kemudian Pak bayan pun menjelaskan kepada dua polisi tersebut. Beberapa kali mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Kemudian salah seorang polisi itu pun maju ke depan orang-orang dan mulai berbicara.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu semua yang ada di sini, tadi Pak Bayan sudah menjelaskan duduk perkaranya kepada kami, dan kami berjanji akan menyelesaikan masalah ini dan mencari Mbah Suro untuk bertanggung Jawab mengembalikan semua uang bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. Kasus seperti ini sudah sering terjadi. Maaf, tetapi kami kira bapak-bapak dan ibu-ibu juga salah, kenapa bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian percaya bahwa Mbah Suro bisa menggandakan uang sampai enam kali lipat. Seandainya Mbah Suro memang bisa menggandakan uang sampai sebanyak itu, tentu saja rumahnya tidak akan seperti itu” kata Pak polisi sambil menunjuk ke rumah papan berlantai tanah yang hampir roboh di belakangnya. Orang-orang pun akhirnya tertunduk malu karena merasa dapat dibodohi.

Tiba-tiba datang Pak Carik datang tergesa-gesa menuju ke Pak Bayan.

“Gawat, Pak bayan, gawat. Ini bener-bener gawat” kata Pak Carik sambil terengah-engah.

“Gawat apa Pak?” Kata Pak Bayan. “Ada masalah apa lagi hari ini” kata Pak Bayan dalam hati.

“Orang-orang kampung sebelah mau ngluruk ke sini Pak. Mereka mau mencari Mbah Suro. Mbah Suro membawa lari istri orang kampung sebelah Pak” kata Pak cari menjelaskan kepada Pak Bayan.

“huuuuuuuuuu”.


1 komentar:

Anonim 1 Oktober 2009 pukul 02.44  

wah bagus juga cerpenyya.

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP