HADIAH DARI AMRIK

>> Selasa, 29 September 2009

“Hallo, selamat Pak. Sekolah bapak diberi kepercayaan dari departemen dalam negeri Amerika untuk ikut pertukaran pelajar selama dua bulan” begitu bunyi telepon singkat dari diknas kepada kepala sekolah kami.

Sekolah kami meskipun terletak di kota kecil, tetapi cukup diperhitungkan prestasinya. Sekolah kami adalah SMA negeri terbaik di Kota S. aku bangga bisa mengajar di SMA ini karena SMA ini adalah SMAku dulu. Aku mengajar bahasa inggris di kelas tiga, dan menjadi wali di kelas bahasa. Memang selain mempunyai Jurusan IPA dan IPS, sekolah kami juga membuka Kelas Bahasa, dengan orientasi ke Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, dan juga Jerman.

Sebagai guru yang masih muda, aku cukup dekat murid-muridku yang sudah mulai dewasa. Banyak di antara mereka yang sering curhat kalau sedang ada masalah. Bahkan banyak pula yang sering datang ke rumah, dan istriku juga senang dengan kehadiran mereka. Istriku yang juga seorang guru di sebuah tk sangat senang kalau dikunjungi, terlebih kami belum dikaruniai anak, tetapi istriku sedang hamil besar, dan tidak lama lagi melahirkan, dan itu sangat membuat kami merasa gembira.


“Pak Ari, murid yang akan belajar di sekolah kita akan masuk di kelas bahasa. Namanya Nancy McO’neill. Dia akan datang dua hari lagi. Saya harap saya bisa menitipkannya kepada Pak Ari selama dia berada di sini, karena dia harus dibantu agar bisa segera beradaptasi dengan budaya di Indonesia” kata Pak kepala sekolah dengan memohon.

“Maaf Pak, bukannya saya menolak, tetapi kan dia perempuan. Apa dititipkan kepada guru yang perempuan saja” Jawabku. Aku kaget ketika mendengar Pak kepala ingin agar anak dari Amerika itu tinggal di rumahku.

“Begini Pak. Pak Ari kan guru bahasa inggris, jadi akan sangat membantu Nancy, karena dia belum bisa berbahasa Indonesia. Lagipula Pak ari kan suah menikah, jadi saya kira tidak ada masalah. Saya mohon Pak Ari bisa membantu, karena kesempatan emas seperti kali ini belum tentu akan datang lagi kalau kita mengecewakan Diknas dan Kedubes Amerika. Kalau masalah biaya, jangan khawatir, karena pihak Diknas sudah menyediakan dananya” kata Pak kepala sekali lagi dengan memohon.


Aku pun merasa tidak enak. Aku memutuskan untuk bermusyawarah terlebih ahulu dengan istriku. Istriku sebenarnya juga merasa ragu-ragu untuk menerima seorang wanita asing di rumah, tetapi aku memberi pertimbangan tentang perkembangan karirku di sekolah nanti.

“Apa Mas yakin bahwa kedatangan orang asing di rumah kita tidak akan menimbulkan masalah?” Tanya istriku.

“Ya gimana ya Dik, kalau kita menolak, saya takut nanti dapat masalah dengan kepala sekolah, karena ini kan menyangkut nama baik sekolah. Lagipula ini kan cuma dua bulan” kataku kepada istriku. Dia masih terlihat ragu-ragu. Lagipula kan nanti kamu bisa belajar bahasa inggris secara langsung darinya” tambahku untuk menyakinkannya.

Setelah mengemukakan beberapa alasan, akhirnya istriku pun bisa menerima. Bahkan kemudian dia menyiapkan sebuah kamar yang biasanya kami Pakai untuk sholat, agar digunakan untuk tamu kami nanti.


Dua hari kemudian, tibalah tamu sekolah kami. Semuanya menunggu dengan penasaran, seperti apakah rupanya. Rupanya dia diantar oleh pihak Kedubes Amerika dan Kepala Diknas. Setelah rombongan pengantar pergi, aku pun dipanggil agar datang ke ruang kepala sekolah.

“Hello, Pak Ari. My name is Nancy McO’neill. I come from Detroit, The United States. You may to call me Nancy.” Katanya ketika mengenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Hei, how do you my name?” aku pun kaget ketika dia sudah tahu tentangku.ternyata kepala sekolah sudah menerangkan padanya tentangku yang akan menjadi induk semangnya selama di Indonesia.

Kami pun cepat akrab meski baru sebentar berkenalan. Ketika dia kuperkenalkan di kelas, dia sangat antusias ketika mengenal teman-teman barunya. Dia pun duduk memilih di depan sendiri ketika kuberi kesempatan untuk memilih tempat duduknya sendiri.

Sepertinya orang Amerika sangat percaya diri, berbeda dengan anak-anak Indonesia yang suka duduk di belakang, terutama di pojok belakang. Aku langsung mendapat kesan positif sejak berkenalan dengan Nancy. Selain orang supel, mudah bergaul Nancy juga cantik dan terlihat seperti orang yang sudah kuliah, padahal di Amerika dia masih setingkat SMA. Rambutnya pun tidak pirang, seperti bayanganku tentang wanita-wanita Amerika semula, tetapi hitam, meskipun tidak kelam. Badannya lebih tinggi dari pada ukuran anak-anak Indonesia yang seumur dengannya.


Setelah sekolah usai, kami pun pulang ke rumah mungilku. Baru kali ini aku memboncengkan perempuan selain ibu, istri, dan adikku, orang asing lagi. Aku pun sebenarnya tidak nyaman ketika memboncengkannya, tetapi akhirnya aku bisa mengendalikan pikiranku.

Istriku sedang memasak ketika kami datang. Untunglah barang bawaan Nancy tidak banyak, karena dia hanya membawa satu tas ransel saja, sehingga dia tidak membutuhkan lemari besar. Aku pun kemudian mengenalkannya kepada istriku. Istriku bisa Bahasa Inggris sedikit-sedikit, jadi aku tidak terlalu khawatir tentang bagaimana nanti dia berkomunikasi.

Kami pun kemudian mulai menjelaskan tentang cara hidup kami, orang Indonesia. Kami mengenalkan tentang bagaimana cara kami mandi memakai gayung. Dia pun terheran-heran melihat gayung, karena di Amerika orang mandi memakai shower. Kemudian kami membawanya ke dapur, memperlihatkan dapur kami yang mungil. Dia sangat senang apabila diperbolehkan untuk ikut memasak, karena, katanya di Amerika dia terbiasan masakn untuk dirinya sendiri tidak tinggal serumah dengan orang tuanya semenjak setahun yang lalu. Bahkan dia pun bercerita bahwa dia sudah bekerja di sebuah restoran untuk menghidupi dirinya sendiri, selain memang dia mendapat beasiswa dari pemerintah.

Dia terheran-heran ada begitu banyak sepeda motor di Indonesia. Katanya, orang Amerika lebih suka naik kereta atau untuk menempuh perjalanan jauh, atau berjalan kaki atau naik sepeda. Akhirnya dia bilang bahwa dia ingin naik sepeda saja kalau pergi ke sekolah. Kami pun kaget mendengar rencananya itu, tetapi kami pun lantas menyetujuinya, karena naik sepeda sudah menjadi budayanya, karena hal tersebut juga tidak akan menambah repot kami nanti.

Akhirnya hari itu aku mengantarkanya ke toko sepeda. Itu adalah kali kedua aku memboncengkannya, dan kali kedua juga aku memboncengkan wanita selain istri, ibu, dan adikku.

Dia memilih sebuah sepeda bermerk dan harganya lumayan mahal untuk ukuran gaji pegawai negeri seperti aku. Dia memang anak yang unik. Dia pun pulang dengan naik sepedanya sendiri, sementara aku naik sepeda motor pelan-pelan di depannya.


Istriku pun kelihatan senang dengan kehadirannya di rumah. Setiap pagi dia selalu membantu istriku memasak. Katanya dia ingin mempelajari masakan Indonesia. Ketika makan pagi pertama kali, dia agak kikuk mengambil nasi, karena di Amerika dia belum pernah melihat nasi. Porsi makannya pun melebihi kami, mungkin karena orang Amerika makannya banyak.

“Nancy, do you know why Indonesian is physically smaller than American?” kata istriku suatu hari ketika kami Makan Soto.

“No, I don’t” Jawab Nancy penuh tanda Tanya.

“Kamu lihat di atas Soto ini adalah daging. Ayam yang kamu makan di Amerika bisa kami gunakan untuk puluhan Soto. Oleh karena itu, tubuh kami lebih kecil dari kalian” Nancy pun hanya tersenyum mendengar canda istriku.

Dia sering kepedasan kalau makan. Tetapi lama-kelamaan dia bisa menyesuaikan dengan lidah Indonesia, bahkan dia sangat suka makan nasi goreng di campur sayur kol mentah, mentimun, dan saus. Katanya, di Amerika orang biasa makan sayur mentah lapis daging dan roti. Bahkan setelah beberapa kali belajar masak pada istriku, akhirnya dia bisa memasak nasi goreng sendiri, sehingga kami tidak khawatir jika kami sedang ada acara dia bisa memasak buat dirinya sendiri, karena dia tidak menyukai masakan warung di Indonesia, katanya tidak higienis.

Setelah satu bulan tinggal di rumah kami, aku dan istriku merasakan keakraban teresndiri dengan Nancy. Hampir setiap malam kami mengobrol banyak sambil melatih Nancy Bahasa Indonesia, sedang aku dan istriku belajar Bahasa Inggris kepada Nancy. Terkadang kami tertawa mendengar pelafalan bahasa Indonesia Nancy yang terengar lucu, seperti mengatakan “saya tahu”, padahal harusnya dibaca kata “tahu” dibaca “tau”. Nancy juga belum bisa membedakan penggunaan kata yang mempunyai makna yang sama, seperti mengatakan “mobil itu melaju dengan deras”, padahal seharusnya mengatakan “mobil itu melaju dengan kencang”.

Menurut Nancy, kehidupan di Indonesia itu unik. Orang-orang di Indonesia sangat ramah dan akrab satu sama lain, tidak seperti di Amerika yang individualis. Nancy bercerita bahwa di tidak mengenal semua orang yang tinggal di gedung apartemen tempat dia tinggal, sedang kami di sini biasa mengenal bukan hanya orang satu RT, satu kampung pun kami kenal.

Untuk ukuran orang yang baru belajar bahasa Indonesia dari nol, Nancy tergolong anak yang cerdas, sehingga dia sudah bisa mulai bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia meski dengan intonasi dan susunan kata yang kadang-kadang masih belum pas, karena Nancy selalu berusaha untuk berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, baik di rumah maupun di sekolah teman-temannya.

Ketika melihat kami Sholat Shubuh di kamar, karena kami lupa menutupnya, Nancy heran dengan apa yang kami lakukan.

“Pak Ari, tadi anda sedang berbuat apa di kamar? Kenapa gerakannya aneh, apa tadi itu yoga untuk terapi kesehatan?” Tanya Nancy heran.

Akhirnya kami berdua menjelaskan dengan detail bahwa kami, sebagai orang Islam, mempunyai kewajiban beribadah kepada Tuhan lima kali sehari. Nancy pun heran, betapa seringnya orang Islam menghadap Tuhan, karena di Amerika Nancy hampir tidak pernah datang ke gereja, meskipun kedua orang tuanya penganut Gereja Prebysterian yang taat dan sering membawa Nancy ke gereja sewaktu masih kecil dahulu. Menurut Nancy, orang ke Amerika sekarang hanya ke gereja untuk menikah, membaptis anak, dan untuk menghadiri misa kematian. Kata Nancy, meski orang Amerika sering bilang “Oh my God”, tetapi sudah tidak percaya lagi “God” mereka.


Suatu pagi istriku merasa hampir melahirkan, kami pun segera bergegas ke rumah sakit. Nancy sebenarnya ingin ikut, tetapi kami melarangnya, lagipula rumah tidak ada yang menjaga. Setelah sampai di rumah sakit, istriku pun langsung di tangani oleh dokter di ruang melahirkan.

Malam harinya istriku pun melahirkan bayi perempuan yang cantik. Kami semua merasa bahagia. Malam itu aku hampir tidak tidur, karena banyak hal yang harus aku lakukan. Pagi harinya aku juga tidak masuk sekolah. Aku harus menjaga istriku karena ibu mertuaku belum datang, karena baru setelah istriku melahirkan, aku memberitahunya.

Siang harinya ibu mertuaku datang, sehingga aku pun lega sehingga aku bisa beristirahat malam harinya. Nancy pun tiba-tiba datang menengok sore hari sepulang sekolah. Aku sempat kaget, karena dia tahu kami berada di mana, ternyata dia bertanya kepada pihak sekolah yang memang sudah kuberitahu. Karena letak rumah sakit yang cukup jauh dengan rumah kami, istriku pun melarang Nancy pulang naik sepeda sendiri. Dia menyarankan agar aku pulang dengan Nancy naik sepeda motor. Pada awalnya Nancy menolak, tetapi karena dibujuk oleh istriku, karena memang hari sudah sore dan khawatir kalau di bersepeda sendirian ada apa-apa di jalan, akhirnya Nancy pun pulang denganku sebelum Maghrib. Sepedanya aku titipkan di Pos Satpam, dan akan diambil keesokan harinya.

Berarti itu adalah kali ketiga aku memboncengkan Nancy. Ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Aku merasa was-was. “Mungkin ini adalah karena aku kecapekan saja” kataku dalam hati untuk menghibur diriku sendiri.


Setelah sampai di rumah, aku pun segera mengambil handuk dan mandi agar segar, kemudian Sholat Maghrib. Aku beristirahat sambil tiduran sebentar di kamar sambil menunggu waktu Isya’ datang. Sempat kulihat Nancy memasak sesuatu di dapur, tapi tidak kutanya, soalnya aku sudah terlalu capai; ingin bersitirahat sebentar.

Begitu waktu adzan Sholat Isya’, aku pun bergegas ke mushola untuk sholat berjamaah. Selesai sholat, aku langsung pulang karena merasa aku belum makan apa-apa sejak siang hari tadi. Ketika aku masuk, aku melihat lampu sudah dimatikan. Aku pikir Nancy sudah tidur. Tetapi tiba-tiba ada nyala korek api dan lilin pun menyala di meja makan. Nasi goreng dengan kol mentah dan mentimun sudah terhidang di meja Makan.

“Pak Ari, saya ingin berterima kasih atas kebaikan Pak Ari selama saya di sini. Saya ingin Pak Ari malam ini menikmati masakan saya sebagai ucapan terima kasih saya” kata Nancy.

“Terima kasih Nancy, tetapi ini saya kira terlalu berlebihan” aku pun mempunyi firasat tidak enak.

“Tidak Pak, ini adalah ucapan terima kasih saya. Pak Ari telah berbuat baik kepada saya, jadi tidak boleh menolak permohonan saya ini” kata Nancy, kemudian dia pun mempersilakan agar aku duduk. Dia pun lantas mengambil priring dan mengambilkan nasi. Dia melayaniku mengambil nasi persis seperti bagaimana istriku melayaniku.

“Pak Ari, saya ingin malam ini adalah malam paling mengesankan bagi saya tinggal selama di Indonesia, di rumah ini” kata Nancy sambil tersenyum melihatku.

Aku pun hanya bisa diam sambil termenung. Aku tidak tahu apakah aku tahu yang bakal terjadi nanti. Aku diam tanpa tahu apa masih mampu mengeluarkan kata-kata, seang suasana terasana dingin.

Aku hanya bertanya dalam hati “Ya Allah, apakah malam ini aku akan mengkhianatimu, istriku, dan putri kecilku?”


“Hallo, selamat Pak. Sekolah bapak diberi kepercayaan dari departemen dalam negeri Amerika untuk ikut pertukaran pelajar selama dua bulan” begitu bunyi telepon singkat dari diknas kepada kepala sekolah kami.

Sekolah kami meskipun terletak di kota kecil, tetapi cukup diperhitungkan prestasinya. Sekolah kami adalah SMA negeri terbaik di Kota S. aku bangga bisa mengajar di SMA ini karena SMA ini adalah SMAku dulu. Aku mengajar bahasa inggris di kelas tiga, dan menjadi wali di kelas bahasa. Memang selain mempunyai Jurusan IPA dan IPS, sekolah kami juga membuka Kelas Bahasa, dengan orientasi ke Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, dan juga Jerman.

Sebagai guru yang masih muda, aku cukup dekat murid-muridku yang sudah mulai dewasa. Banyak di antara mereka yang sering curhat kalau sedang ada masalah. Bahkan banyak pula yang sering datang ke rumah, dan istriku juga senang dengan kehadiran mereka. Istriku yang juga seorang guru di sebuah tk sangat senang kalau dikunjungi, terlebih kami belum dikaruniai anak, tetapi istriku sedang hamil besar, dan tidak lama lagi melahirkan, dan itu sangat membuat kami merasa gembira.


“Pak Ari, murid yang akan belajar di sekolah kita akan masuk di kelas bahasa. Namanya Nancy McO’neill. Dia akan datang dua hari lagi. Saya harap saya bisa menitipkannya kepada Pak Ari selama dia berada di sini, karena dia harus dibantu agar bisa segera beradaptasi dengan budaya di Indonesia” kata Pak kepala sekolah dengan memohon.

“Maaf Pak, bukannya saya menolak, tetapi kan dia perempuan. Apa dititipkan kepada guru yang perempuan saja” Jawabku. Aku kaget ketika mendengar Pak kepala ingin agar anak dari Amerika itu tinggal di rumahku.

“Begini Pak. Pak Ari kan guru bahasa inggris, jadi akan sangat membantu Nancy, karena dia belum bisa berbahasa Indonesia. Lagipula Pak ari kan suah menikah, jadi saya kira tidak ada masalah. Saya mohon Pak Ari bisa membantu, karena kesempatan emas seperti kali ini belum tentu akan datang lagi kalau kita mengecewakan Diknas dan Kedubes Amerika. Kalau masalah biaya, jangan khawatir, karena pihak Diknas sudah menyediakan dananya” kata Pak kepala sekali lagi dengan memohon.


Aku pun merasa tidak enak. Aku memutuskan untuk bermusyawarah terlebih ahulu dengan istriku. Istriku sebenarnya juga merasa ragu-ragu untuk menerima seorang wanita asing di rumah, tetapi aku memberi pertimbangan tentang perkembangan karirku di sekolah nanti.

“Apa Mas yakin bahwa kedatangan orang asing di rumah kita tidak akan menimbulkan masalah?” Tanya istriku.

“Ya gimana ya Dik, kalau kita menolak, saya takut nanti dapat masalah dengan kepala sekolah, karena ini kan menyangkut nama baik sekolah. Lagipula ini kan cuma dua bulan” kataku kepada istriku. Dia masih terlihat ragu-ragu. Lagipula kan nanti kamu bisa belajar bahasa inggris secara langsung darinya” tambahku untuk menyakinkannya.

Setelah mengemukakan beberapa alasan, akhirnya istriku pun bisa menerima. Bahkan kemudian dia menyiapkan sebuah kamar yang biasanya kami Pakai untuk sholat, agar digunakan untuk tamu kami nanti.


Dua hari kemudian, tibalah tamu sekolah kami. Semuanya menunggu dengan penasaran, seperti apakah rupanya. Rupanya dia diantar oleh pihak Kedubes Amerika dan Kepala Diknas. Setelah rombongan pengantar pergi, aku pun dipanggil agar datang ke ruang kepala sekolah.

“Hello, Pak Ari. My name is Nancy McO’neill. I come from Detroit, The United States. You may to call me Nancy.” Katanya ketika mengenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Hei, how do you my name?” aku pun kaget ketika dia sudah tahu tentangku.ternyata kepala sekolah sudah menerangkan padanya tentangku yang akan menjadi induk semangnya selama di Indonesia.

Kami pun cepat akrab meski baru sebentar berkenalan. Ketika dia kuperkenalkan di kelas, dia sangat antusias ketika mengenal teman-teman barunya. Dia pun duduk memilih di depan sendiri ketika kuberi kesempatan untuk memilih tempat duduknya sendiri.

Sepertinya orang Amerika sangat percaya diri, berbeda dengan anak-anak Indonesia yang suka duduk di belakang, terutama di pojok belakang. Aku langsung mendapat kesan positif sejak berkenalan dengan Nancy. Selain orang supel, mudah bergaul Nancy juga cantik dan terlihat seperti orang yang sudah kuliah, padahal di Amerika dia masih setingkat SMA. Rambutnya pun tidak pirang, seperti bayanganku tentang wanita-wanita Amerika semula, tetapi hitam, meskipun tidak kelam. Badannya lebih tinggi dari pada ukuran anak-anak Indonesia yang seumur dengannya.


Setelah sekolah usai, kami pun pulang ke rumah mungilku. Baru kali ini aku memboncengkan perempuan selain ibu, istri, dan adikku, orang asing lagi. Aku pun sebenarnya tidak nyaman ketika memboncengkannya, tetapi akhirnya aku bisa mengendalikan pikiranku.

Istriku sedang memasak ketika kami datang. Untunglah barang bawaan Nancy tidak banyak, karena dia hanya membawa satu tas ransel saja, sehingga dia tidak membutuhkan lemari besar. Aku pun kemudian mengenalkannya kepada istriku. Istriku bisa Bahasa Inggris sedikit-sedikit, jadi aku tidak terlalu khawatir tentang bagaimana nanti dia berkomunikasi.

Kami pun kemudian mulai menjelaskan tentang cara hidup kami, orang Indonesia. Kami mengenalkan tentang bagaimana cara kami mandi memakai gayung. Dia pun terheran-heran melihat gayung, karena di Amerika orang mandi memakai shower. Kemudian kami membawanya ke dapur, memperlihatkan dapur kami yang mungil. Dia sangat senang apabila diperbolehkan untuk ikut memasak, karena, katanya di Amerika dia terbiasan masakn untuk dirinya sendiri tidak tinggal serumah dengan orang tuanya semenjak setahun yang lalu. Bahkan dia pun bercerita bahwa dia sudah bekerja di sebuah restoran untuk menghidupi dirinya sendiri, selain memang dia mendapat beasiswa dari pemerintah.

Dia terheran-heran ada begitu banyak sepeda motor di Indonesia. Katanya, orang Amerika lebih suka naik kereta atau untuk menempuh perjalanan jauh, atau berjalan kaki atau naik sepeda. Akhirnya dia bilang bahwa dia ingin naik sepeda saja kalau pergi ke sekolah. Kami pun kaget mendengar rencananya itu, tetapi kami pun lantas menyetujuinya, karena naik sepeda sudah menjadi budayanya, karena hal tersebut juga tidak akan menambah repot kami nanti.

Akhirnya hari itu aku mengantarkanya ke toko sepeda. Itu adalah kali kedua aku memboncengkannya, dan kali kedua juga aku memboncengkan wanita selain istri, ibu, dan adikku.

Dia memilih sebuah sepeda bermerk dan harganya lumayan mahal untuk ukuran gaji pegawai negeri seperti aku. Dia memang anak yang unik. Dia pun pulang dengan naik sepedanya sendiri, sementara aku naik sepeda motor pelan-pelan di depannya.


Istriku pun kelihatan senang dengan kehadirannya di rumah. Setiap pagi dia selalu membantu istriku memasak. Katanya dia ingin mempelajari masakan Indonesia. Ketika makan pagi pertama kali, dia agak kikuk mengambil nasi, karena di Amerika dia belum pernah melihat nasi. Porsi makannya pun melebihi kami, mungkin karena orang Amerika makannya banyak.

“Nancy, do you know why Indonesian is physically smaller than American?” kata istriku suatu hari ketika kami Makan Soto.

“No, I don’t” Jawab Nancy penuh tanda Tanya.

“Kamu lihat di atas Soto ini adalah daging. Ayam yang kamu makan di Amerika bisa kami gunakan untuk puluhan Soto. Oleh karena itu, tubuh kami lebih kecil dari kalian” Nancy pun hanya tersenyum mendengar canda istriku.

Dia sering kepedasan kalau makan. Tetapi lama-kelamaan dia bisa menyesuaikan dengan lidah Indonesia, bahkan dia sangat suka makan nasi goreng di campur sayur kol mentah, mentimun, dan saus. Katanya, di Amerika orang biasa makan sayur mentah lapis daging dan roti. Bahkan setelah beberapa kali belajar masak pada istriku, akhirnya dia bisa memasak nasi goreng sendiri, sehingga kami tidak khawatir jika kami sedang ada acara dia bisa memasak buat dirinya sendiri, karena dia tidak menyukai masakan warung di Indonesia, katanya tidak higienis.

Setelah satu bulan tinggal di rumah kami, aku dan istriku merasakan keakraban teresndiri dengan Nancy. Hampir setiap malam kami mengobrol banyak sambil melatih Nancy Bahasa Indonesia, sedang aku dan istriku belajar Bahasa Inggris kepada Nancy. Terkadang kami tertawa mendengar pelafalan bahasa Indonesia Nancy yang terengar lucu, seperti mengatakan “saya tahu”, padahal harusnya dibaca kata “tahu” dibaca “tau”. Nancy juga belum bisa membedakan penggunaan kata yang mempunyai makna yang sama, seperti mengatakan “mobil itu melaju dengan deras”, padahal seharusnya mengatakan “mobil itu melaju dengan kencang”.

Menurut Nancy, kehidupan di Indonesia itu unik. Orang-orang di Indonesia sangat ramah dan akrab satu sama lain, tidak seperti di Amerika yang individualis. Nancy bercerita bahwa di tidak mengenal semua orang yang tinggal di gedung apartemen tempat dia tinggal, sedang kami di sini biasa mengenal bukan hanya orang satu RT, satu kampung pun kami kenal.

Untuk ukuran orang yang baru belajar bahasa Indonesia dari nol, Nancy tergolong anak yang cerdas, sehingga dia sudah bisa mulai bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia meski dengan intonasi dan susunan kata yang kadang-kadang masih belum pas, karena Nancy selalu berusaha untuk berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, baik di rumah maupun di sekolah teman-temannya.

Ketika melihat kami Sholat Shubuh di kamar, karena kami lupa menutupnya, Nancy heran dengan apa yang kami lakukan.

“Pak Ari, tadi anda sedang berbuat apa di kamar? Kenapa gerakannya aneh, apa tadi itu yoga untuk terapi kesehatan?” Tanya Nancy heran.

Akhirnya kami berdua menjelaskan dengan detail bahwa kami, sebagai orang Islam, mempunyai kewajiban beribadah kepada Tuhan lima kali sehari. Nancy pun heran, betapa seringnya orang Islam menghadap Tuhan, karena di Amerika Nancy hampir tidak pernah datang ke gereja, meskipun kedua orang tuanya penganut Gereja Prebysterian yang taat dan sering membawa Nancy ke gereja sewaktu masih kecil dahulu. Menurut Nancy, orang ke Amerika sekarang hanya ke gereja untuk menikah, membaptis anak, dan untuk menghadiri misa kematian. Kata Nancy, meski orang Amerika sering bilang “Oh my God”, tetapi sudah tidak percaya lagi “God” mereka.


Suatu pagi istriku merasa hampir melahirkan, kami pun segera bergegas ke rumah sakit. Nancy sebenarnya ingin ikut, tetapi kami melarangnya, lagipula rumah tidak ada yang menjaga. Setelah sampai di rumah sakit, istriku pun langsung di tangani oleh dokter di ruang melahirkan.

Malam harinya istriku pun melahirkan bayi perempuan yang cantik. Kami semua merasa bahagia. Malam itu aku hampir tidak tidur, karena banyak hal yang harus aku lakukan. Pagi harinya aku juga tidak masuk sekolah. Aku harus menjaga istriku karena ibu mertuaku belum datang, karena baru setelah istriku melahirkan, aku memberitahunya.

Siang harinya ibu mertuaku datang, sehingga aku pun lega sehingga aku bisa beristirahat malam harinya. Nancy pun tiba-tiba datang menengok sore hari sepulang sekolah. Aku sempat kaget, karena dia tahu kami berada di mana, ternyata dia bertanya kepada pihak sekolah yang memang sudah kuberitahu. Karena letak rumah sakit yang cukup jauh dengan rumah kami, istriku pun melarang Nancy pulang naik sepeda sendiri. Dia menyarankan agar aku pulang dengan Nancy naik sepeda motor. Pada awalnya Nancy menolak, tetapi karena dibujuk oleh istriku, karena memang hari sudah sore dan khawatir kalau di bersepeda sendirian ada apa-apa di jalan, akhirnya Nancy pun pulang denganku sebelum Maghrib. Sepedanya aku titipkan di Pos Satpam, dan akan diambil keesokan harinya.

Berarti itu adalah kali ketiga aku memboncengkan Nancy. Ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Aku merasa was-was. “Mungkin ini adalah karena aku kecapekan saja” kataku dalam hati untuk menghibur diriku sendiri.


Setelah sampai di rumah, aku pun segera mengambil handuk dan mandi agar segar, kemudian Sholat Maghrib. Aku beristirahat sambil tiduran sebentar di kamar sambil menunggu waktu Isya’ datang. Sempat kulihat Nancy memasak sesuatu di dapur, tapi tidak kutanya, soalnya aku sudah terlalu capai; ingin bersitirahat sebentar.

Begitu waktu adzan Sholat Isya’, aku pun bergegas ke mushola untuk sholat berjamaah. Selesai sholat, aku langsung pulang karena merasa aku belum makan apa-apa sejak siang hari tadi. Ketika aku masuk, aku melihat lampu sudah dimatikan. Aku pikir Nancy sudah tidur. Tetapi tiba-tiba ada nyala korek api dan lilin pun menyala di meja makan. Nasi goreng dengan kol mentah dan mentimun sudah terhidang di meja Makan.

“Pak Ari, saya ingin berterima kasih atas kebaikan Pak Ari selama saya di sini. Saya ingin Pak Ari malam ini menikmati masakan saya sebagai ucapan terima kasih saya” kata Nancy.

“Terima kasih Nancy, tetapi ini saya kira terlalu berlebihan” aku pun mempunyi firasat tidak enak.

“Tidak Pak, ini adalah ucapan terima kasih saya. Pak Ari telah berbuat baik kepada saya, jadi tidak boleh menolak permohonan saya ini” kata Nancy, kemudian dia pun mempersilakan agar aku duduk. Dia pun lantas mengambil priring dan mengambilkan nasi. Dia melayaniku mengambil nasi persis seperti bagaimana istriku melayaniku.

“Pak Ari, saya ingin malam ini adalah malam paling mengesankan bagi saya tinggal selama di Indonesia, di rumah ini” kata Nancy sambil tersenyum melihatku.

Aku pun hanya bisa diam sambil termenung. Aku tidak tahu apakah aku tahu yang bakal terjadi nanti. Aku diam tanpa tahu apa masih mampu mengeluarkan kata-kata, seang suasana terasana dingin.

Aku hanya bertanya dalam hati “Ya Allah, apakah malam ini aku akan mengkhianatimu, istriku, dan putri kecilku?”


0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP